Share

(Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan
(Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan
Author: Dinis Selmara

1. Tidak Diinginkan

Author: Dinis Selmara
last update Last Updated: 2025-09-13 11:47:16

“Gimana, Abra, enak nggak sup iganya?” tanya Riani, sang ibu, sambil menatap anak sulungnya yang tengah makan dengan lahap. Siang akhir pekan itu, beliau sengaja datang tanpa kabar ke apartemen putranya untuk makan siang bersama.

“Enak,” jawab Abra singkat. Senyum pun merekah di wajah Riani mendengar jawaban itu.

Serayu, sang istri, ikut menoleh ke arah Abra. Ia mengangguk pelan tanda setuju, lalu tersenyum kaku saat bahunya dirangkul hangat oleh sang suami.

Tatapan Riani jatuh pada tangan putranya yang tengah membelai lengan menantunya dengan lembut. Seketika beliau mengangkat pandangan, menatap Serayu tajam. Serayu dapat menangkap arti dari tatapan itu—sejak awal pertemuan, Serayu sudah dapat merasakan aura ketidaksukaan itu. Bahkan senyum yang sesekali dilemparkan sang mertua pun seakan menyimpan ejekan yang tak terucapkan.

“Memang enak sekali. Ini masakan Aileen,” ucap Riani tiba-tiba, sengaja menyebut nama mantan kekasih Abra.

Abra sontak tersedak begitu nama itu meluncur, setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi. Serayu refleks meraih segelas air dan menyodorkannya pada sang suami. Namun sebelum sempat diterima, tangannya ditepis kasar oleh Riani. Dengan tatapan dingin, sang mertua menyodorkan gelas lain pada Abra.

Tidak sampai di situ, Riani melanjutkan, “Tadi Aileen mampir ke rumah. Dia bilang sekarang pindah tugas ke sini. Tambah cantik dia,” ujar Riani. “Sudah cantik, pintar masak … karirnya pun bagus,” lanjutnya seakan lupa pada keberadaan Serayu. “Harusnya dulu itu kamu sabar menunggu dia S2. Mama lebih cocok dia jadi istri kamu—”

“Mama,” potong Abra cepat, menghentakkan sendok ke piring, menandai berakhirnya selera makan siangnya.

‘Kamu selalu membela istrimu ini,’ begitu ujar Riani, kalimat yang terasa serupa bergema dalam batin Serayu, karena hampir selalu dilontarkan setiap kali mereka berjumpa.

Serayu Naumira—biasa disapa Serayu—adalah seorang mahasiswi yang tengah menjalani koas di rumah sakit ternama di kotanya. Terlahir dari keluarga sederhana, ia menempuh pendidikan berbekal beasiswa. Menikah muda sebenarnya tidak pernah ada dalam rencana Serayu, hingga takdir mempertemukannya dengan Abra, lelaki yang kini menjadi suaminya.

Semua berawal dari hari pertama koas Serayu yang berubah menjadi awal malapetaka. Ia terlibat kecelakaan dengan mobil mewah milik Abra, dokter bedah arogan—yang sialnya— sekaligus pewaris rumah sakit tempatnya bertugas. Serayu berniat bertanggung jawab, tapi Abra justru melihat kesungguhan Serayu sebagai kesempatan. Tuntutan sang ayah membuatnya harus segera menikah demi menduduki jabatan tertinggi di rumah sakit keluarga.

Abra menawarkan jalan keluar yaitu pernikahan kontrak. Sebagai gantinya, ia menghapus tuntutan atas kecelakaan itu. Serayu menolak, masih ingin berusaha menebusnya. Namun ia tertampar kenyataan bahwa usaha ayahnya saja tengah merosot. Terhimpit waktu dan keadaan, Serayu akhirnya tak punya pilihan selain menerima tawaran tersebut—tentu saja tidak ada yang tahu perihal perjanjian itu.

Berbanding terbalik dengan sang ayah, pernikahan itu tidak pernah mendapat restu penuh dari ibu Abra. Riani dengan statusnya sebagai istri pendiri rumah sakit swasta ternama, terbiasa hidup di lingkaran orang-orang terpandang. Ia ingin menantu yang sepadan dengan keluarganya: berpendidikan tinggi, bersosialisasi di kalangan elit, dan tentunya berasal dari keluarga berada. Semua itu tidak ada dalam diri Serayu. Tidak ada kebanggaan sedikit pun, Serayu, di hati ibu mertuanya. Bagaimana mungkin perempuan seperti itu mendampingi Abra, calon penerus rumah sakit keluarga yang selama ini dibangun dengan kerja keras dan nama besar?

Gadis sederhana yang dibesarkan dengan penuh keterbatasan itu, kini harus menghadapi pandangan rendah sang mertua setiap kali berhadapan. Tak jarang sang mertua membanding-bandingkan menantunya dengan Aileen—mantan kekasih Abra yang dianggap jauh lebih sempurna. Pencapaiannya selalu disanjung, penampilannya pun sering dijadikan bahan pujian. Semua itu dilakukan di hadapan Serayu, tanpa peduli betapa perihnya hati sang menantu mendengarnya.

Abra sering mencoba menengahi, membela istrinya di hadapan ibunya sendiri. Tetapi sikap itu justru membuat Riani semakin yakin bahwa Serayu telah mempengaruhi anaknya.

Tatapan Riani selalu tajam setiap kali menyorot Serayu. “Apa sebenarnya yang sudah kamu lakukan sampai seorang anak berani melawan ibunya sendiri?” Pertanyaan itu Riani tujukan langsung pada Serayu, nadanya tajam penuh tuduhan. “Sampai detik ini Mama masih tidak bisa menerima pernikahan kalian! Kamu sadar nggak, kalau istri kecilmu ini hanya mengincar hartamu, memanfaatkan popularitasmu di dunia kedokteran!”

Benalu dalam keluarga. Mendompleng nama besar suami untuk memudahkan kelulusan. Mengincar harta. Dan masih banyak lagi kalimat yang hampir selalu dilontarkan Riani setiap kali berhadapan dengan Serayu.

Namun, Serayu tidak lagi mengambil hati atas ucapan-ucapan kasar itu. Bukankah setiap pernikahan memiliki ujiannya sendiri? Demikian ia menenangkan diri. Ia memilih menganggap semua itu hanya kerikil kecil yang harus ia lewati dalam rumah tangganya. Meski begitu, setiap kali kata ‘pernikahan’ terlintas dalam hati dan pikirannya, ada getir yang tak pernah bisa ia sembunyikan.

“Abra, antar Mama pulang—” potong Abra. Namun sebelum sempat melanjutkan ucapannya, Riani sudah lebih dulu bersuara lantang.

“Kamu berubah sejak menikah dengannya,” tuduh Riani dengan nada dingin.

Abra tidak menanggapi, hanya menghela napas lalu menoleh pada istrinya. “Masuklah dulu, Saya akan antar Mama pulang,” titahnya berbisik, meminta Serayu masuk ke dalam kamar.

Serayu menurut, tapi belum genap langkahnya tiba-tiba suara Riani membelah keheningan.

“Ceraikan Serayu, Abra!”

***

Abra akhirnya memutuskan mengantar ibunya pulang, menyisakan ketegangan yang masih tertinggal.

Bohong kalau hati Serayu tidak terluka mendengar semua ucapan mertuanya, tapi ia menahan diri untuk tidak larut dalam kesedihan. Serayu tetap berusaha menghormati mertuanya.

Tidur di kamar terpisah, ia memilih kembali ke kamarnya—menumpahkan perhatiannya pada tumpukan buku dan catatan selama koas. Besok pagi ia harus sudah kembali ke rumah sakit. Jadwalnya padat, menjadi calon dokter hampir tak memberi ruang baginya untuk bernapas jika sudah beraktivitas.

Ia membaca berlembar-lembar halaman, menyoroti teks dengan stabilo, mencatat ulang poin penting, hingga kepalanya terasa berat. Di tengah kesibukannya, denting ponsel terdengar. Serayu refleks meraihnya, hanya pesan dari grup kampus. Senyum getir pun tersungging, disertai tanya yang bahkan enggan ia akui—apa yang sebenarnya ia tunggu? Apakah diam-diam ia berharap ada pesan untuknya dari Abra?

Tubuh dan pikirannya lelah, kepala Serayu tertunduk di meja hingga akhirnya tertidur.

Saat terbangun, ruangan kamar sudah temaram. Ia mengucek mata, lalu melirik jam di ponsel—pukul sepuluh malam. Ia refleks melangkah keluar kamar. Apartemen itu gelap, hanya cahaya lampu dari balik jendela yang masuk, menorehkan bayangan panjang di lantai.

“Mas Abra… belum pulangkah?” bisiknya sendiri, sepi menjawab.

Sunyi menemani Serayu saat ia menyantap makan malam seorang diri, jemarinya sibuk membalas riuh ramai pesan di grup kampus, tapi tidak mengusir sepi. Hingga detik berikutnya, layar ponsel menampilkan notifikasi baru—sebuah pesan dari Abra. Serayu terpaku menatap kalimat singkat yang suaminya tuliskan. Ruangan yang sunyi semakin terasa mencekam membuat matanya memanas.

[Saya tidak pulang malam ini.]

Dinis Selmara

Hi, salam kenal dari Serayu. Monggo masukin ke daftar pustaka yaaw supaya selalu dapat notif update-nya. Yuk, temani aku lagi menulis perjalanan kisah Serayu.

| 17
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (28)
goodnovel comment avatar
aya
siap siap,, bakalan banjir airmata gak nih
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Abra jahat banget, demi tahta mengorbankan hati Serayu
goodnovel comment avatar
aku ini siapaaa?
mencium bau" Abra di pihak emak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   78. Mempertahankan

    Aileen pulang dari pesta ulang tahun temannya. Dalam keadaan frustrasi, ia meneguk alkohol—tidak banyak, tapi kadar toleransinya memang rendah, sehingga mudah mabuk. Ia bahkan tak sadar bagaimana akhirnya bisa berada di apartemen Abra. Memang belakangan ini dalam pikirannya kalut, hanya Abra dan Abra saja—berharap lelaki itu kembali padanya karena sungguh ia mencintainya. Aileen mengikuti seseorang ke dalam lift—meminta bantuan karena tidak mempunyai kartu akses lalu menyebutkan lantai tempat unit Abra berada. Langkahnya terhuyung, matanya sedikit kabur mencari nomor unit lelaki itu. Hingga seseorang melangkah mendekat ke arahnya. Aileen tersenyum melihat Abra berdiri di hadapannya. Dalam hatinya ia yakin, takdir memang selalu menuntun Abra padanya, pikirnya. Seperti dini hari ini, tangan Aileen terulur mengusap lembut pipi lelaki di hadapannya. Sentuhan hangatnya membuat si lelaki menggeliat pelan dan membuka mata. Ia mengerang kecil, menoleh ke arah lain—meraih ponsel di atas naka

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   77. Pertanda?

    Serayu bertemu dengan Amalia dalam briefing siang itu. Wanita itu mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace sambil meringis kecil. Amalia sudah menduga, Serayu pasti sudah tahu kalau dirinya mata-mata Abra. Serayu hanya membalas ringisan itu dengan senyum dan mata memicing dari kejauhan.Usai briefing, Amalia menghampiri Serayu dan duduk di sampingnya. Serayu menoleh kanan-kiri, memastikan sekitar yang sepi, lalu berbisik pelan, “Duh, takut banget dilaporin,” sindirnya, bercanda. Amalia refleks memeluk Serayu dari samping.“Maafkan aku…,” lirihnya penuh rasa bersalah. Amalia akhirnya mengakui semuanya—permintaan Abra hari itu. Ia juga yakin kedatangan Abra tempo hari karena ia tak sengaja mengirim kebersamaan Serayu dan Ryan.Serayu hanya mengangguk kecil. “Mas Abra memang nggak suka saya terlalu dekat sama laki-laki lain. Takut istrinya dicuri, kayaknya,” katanya bercanda, Serayu terkekeh geli sendiri. Sementara Amalia terdiam.Ia tak menanggapi. Sepertinya ada hal yang Serayu belu

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   76. Terpisah

    Sampai keesokan harinya, Abra masih enggan berpisah dari Serayu. Entah mengapa, menjelang hari keberangkatannya, suasana terasa begitu berat. Besok pagi Abra akan berangkat lebih dulu bersama beberapa tim, sementara Serayu dijadwalkan pulang seminggu kemudian.Ada rasa syukur, karena jarak hanya akan memisahkan mereka selama seminggu saja. Namun, dengan keterbatasan sinyal di lokasi, waktu yang singkat itu tetap terasa seperti ujian panjang karena rindu yang tak bisa disampaikan setiap saat.Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu bahwa esok dan beberapa hari ke depan mereka tak lagi terlelap di bawah atap yang sama. Abra masih belum juga melepaskan pelukannya.“Saya nggak mau pisah dari kamu,” bisiknya lirih, suaranya serak karena emosi yang ditahan.Serayu menoleh sedikit menatap wajah suaminya dari jarak sedekat itu hanya mampu mengangguk. “Saya juga, Mas… makin berat rasanya,” aku Serayu membuat Abra tersenyum karena apa yang ia rasakan, Serayu juga

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   75. Kasmaran #2

    Pagi itu udara lebih segar dari biasanya dan langit mulai menampakkan rona cerah menyapa pasangan muda yang menyempatkan diri olahraga bersama—jogging mengitari desa. “Istirahat di situ, Sayang,” tunjuk Abra pada sisi sungai. Meski sudah sering dipanggil ‘sayang’ tetap saja hati Serayu dagdigdug mendengarnya. Dan wanita itu belum pernah memanggil Abra dengan sebutan yang sama. Keduanya melakukan pendinginan ringan usai berolahraga. Semilir suara aliran air menjadi latar yang menenangkan. “Sini, Sayang,” panggil Abra meminta Serayu mendekat. Ia memberikan ponselnya memperlihatkan surat tugas pulang ke rumah sakit asal mereka. “Lusa saya harus kembali,” katanya pelan, menatap Serayu dalam. Tak terasa dua minggu sudah Abra bertugas, sementara Serayu masuk minggu keempat. Jadwal kepulangan mereka berbeda, Abra lebih dulu. “Saya bisa minta tambahan waktu, biar kita pulang bareng.” Serayu mengangkat pandangannya menggeleng tidak setuju. “Tidak perlu, Mas. Ini penugasan. Harus p

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   74. Abracadabra

    Serayu meremang saat Abra berbisik nakal di telinganya, “Kenapa harus?” Kini bibir nakal itu ikut menggerayangi lehernya. “Saya salah apa sampai wajah kamu ditekuk begitu?”“Salah. Pokoknya Mas selalu salah,” sahut Serayu kesal.Abra mengerutkan kening. Ia memutar tubuh wanitanya membuat Serayu menelan ludah. Menatap dada bidang Abra saja sudah salah, apalagi saat mata mereka akhirnya bertemu. Serayu benar-benar tak kuasa.“Tolong jelaskan. Saya tidak bisa menebak hanya dari raut wajah kamu,” ucap Abra sambil mencubit lembut dagu Serayu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.“Kalau mau dijelasin, pakai baju dulu minimal,” gumam Serayu, menatap ke arah lain sambil memegangi ponsel di depan dadanya.Abra tidak mengindahkan. Tangannya terulur meraih ponsel itu dan pandangannya langsung jatuh pada layar yang masih terbuka pada ruang obrolan—pesan berisi beberapa foto. Tatapannya terangkat, menelusuri wajah Serayu.“Setelah saya jauh-jauh ke sini, kamu masih percaya hal beginian?” tanyanya

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   73. Panggilan Sayang

    “Kamu istri saya, Rayu,” ujar Abra mengingatkan. “Semua orang juga sudah tahu kalau saya istri Mas Abra,” sahut Serayu. “Sangat tahu, bahkan sampai ke masa lalu—” “Sayang…,” panggil Abra tatapannya seolah tak setuju, membuat Serayu spontan menghentikan kalimatnya. Tangan lelaki itu terulur, menggenggam jemari Serayu, lalu menggeleng perlahan—tak ingin istrinya kembali menyinggung masa lalu wanita itu yang sudah lama dikubur. Abra menunduk, mengecup punggung tangan Serayu. Panggilan itu ‘sayang’ kali ini Serayu dapatkan bukan lagi bagian dari sandiwara. Jangan tanyakan bagaimana jantung Serayu berdetak saat mendengarnya. Kali ini, sebutan itu nyata bukan bagian dari drama. Abra menuntun Serayu duduk. Ia membuka kotak nasi dan meletakkannya di hadapan wanita itu. “Mas,” panggil Serayu pelan. “Hmm,” sahut Abra tanpa menoleh, masih sibuk menyiapkan makanan mereka. “Panggil lagi,” ucap Serayu malu-malu. Nada suaranya kecil, hampir tak terdengar. Malu tapi mau. Abra mengangkat pandan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status