LOGINPagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.
[Foto]
Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.
[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]
Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.
Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di hadapan sang mertua. Serayu akhirnya memilih tenggelam dalam rutinitas hari ini, meski suasana hatinya sudah lebih dulu porak-poranda.
Malam harinya, tepat pukul delapan, Serayu baru tiba di rumah. Seharian penuh ia tenggelam dalam kesibukan hingga tak melihat Abra di rumah sakit. Pulang larut pun, bayangan sang suami masih tak terlihat.
Serayu menjatuhkan tubuhnya ke sofa, bersandar lelah sambil memejamkan mata dalam ruangan remang yang hanya ditemani cahaya temaram dari luar gedung.
Jujur saja, hari ini fokusnya terpecah. Ia berusaha keras menyingkirkan bayangan foto yang dikirim mertuanya, agar tetap bisa melewati hari dengan profesional. Namun entah mengapa, dorongan untuk kembali membuka foto itu datang lagi.
Ia kembali meraih ponselnya, mendapati pesan dari mertuanya ternyata masih berlanjut—ada foto lain. Usaha apa lagi yang mertuanya lakukan untuk menghancurkan perasaannya? Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya membuka.
Dalam foto itu, wanita yang sama tampak memeluk Abra dari belakang. Mereka berdiri di samping mobil, kali ini di lokasi berbeda, tapi tempat itu terasa tidak asing bagi Serayu. Logikanya berkata mungkin semua itu hanya kebetulan, tapi hatinya berontak.
“Jadi ini wanita itu?” gumamnya.
Wajah memang tak terlihat, tetapi gestur sederhana itu sudah cukup menghujam dada. Tepat di bawah foto, pesan singkat mertuanya menyusul:
[Masa lalu akan selalu menjadi pemenangnya. Sepertinya kalimat itu benar adanya.]
Serayu cepat-cepat melempar ponselnya ke samping saat merasakan darahnya kian berdesir.
“Apa yang kamu pikirkan Serayu?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia menggeleng cepat—salah tingkah—merapikan rambutnya yang tidak berantakan.
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu terbuka diikuti cahaya lampu yang menyingkirkan remang. Pandangan Serayu dan Abra langsung bertemu.
“Kenapa lampunya dibiarkan mati?” tanya Abra dengan nada datar, tak merasa bersalah sama sekali. Ia berjalan santai ke arah kitchen island, menuang air, lalu menegaknya tanpa tergesa.
Serayu buru-buru meraih ponselnya, memastikan sesuatu. Hatinya tercekat ketika menyadari pakaian yang dikenakan Abra malam ini sama persis dengan yang terlihat dalam foto kiriman mertuanya.
Untuk sesaat ruangan hening hingga mulut Serayu lancang bertanya, “Kenapa kamu tidak pulang?”
Gerakan Abra sempat terhenti sesaat. Namun, ia kembali meneguk habis isi gelas sebelum meletakkannya di atas meja.
“Ada panggilan dari rumah sakit. Tindakan berlangsung sampai larut malam,” jawabnya tenang, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Serayu.
Jawaban itu justru membuat dada Serayu terasa sesak, tak sanggup ingin melepaskan tawa getir.
‘Bohong,’ tuduh Serayu dalam hati, meski bibirnya terkatup rapat.
“Bagaimana dengan hari ini? Sibuk juga?” tanyanya, berusaha terdengar biasa.
Abra mengerutkan kening, menoleh. Tatapan Serayu terasa berbeda malam ini—terlalu dalam dan penuh selidik.
“Tentu saja. Saya lelah, ingin segera beristirahat,” jawabnya singkat, lalu melangkah menuju kamar.
“Oh, ya? Lelah? Kamu baru saja bersenang-senang bersama wanita itu?” tanya Serayu semakin lancang.
Langkah Abra terhenti. Ia berbalik, menatap Serayu lurus tanpa berkedip. Sorot mata keduanya beradu, sarat ketegangan. Perlahan Abra mendekat, suaranya dingin. “Apa maksudmu?”
Serayu menggigit bibir. Kata-kata yang awalnya ingin ia simpan rapat, kini meluncur tanpa bisa ditahan. Melihat wajah Abra tanpa rasa bersalah itu, Serayu ingin sekali melemparkan ponselnya, memperlihatkan bukti foto kiriman mertuanya. Tapi… untuk apa?
Akhirnya ia hanya mengedikkan bahu, memilih bersikap acuh dan melangkah pergi—meninggalkan Abra dengan tatapan penuh tanya. Namun, tangan Serayu tiba-tiba ditahan.
“Ada apa dengan kamu?” suara Abra terdengar tegas.
“Ada apa dengan saya? Apa tidak salah pertanyaannya? Kamu yang kenapa, kenapa kamu berbohong saat menemui wanita itu?” Itu adalah kalimat terpanjang yang meluncur begitu saja dari bibir Serayu membuat Abra kian mengernyit.
“Kamu mengikuti saya?” tuduhnya dingin. “Kamu tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan saya,” tekan Abra, tatapannya menusuk.
Serayu terdiam. Ia tertampar kenyataan bahwa ia tidak boleh menuntut apa pun. Bukankah sejak awal mereka sepakat, pernikahan ini hanya kontrak? Abra benar, tak seorang pun dari mereka berhak menuntut atau mengurusi urusan pribadi masing-masing.
“Kenapa diam?” tanya Abra pada Serayu. “Jangan lupa, Serayu,” suaranya rendah, tapi tegas dan menusuk, “pernikahan kita ada batasannya. Sebagaimana dalam pasal perjanjian kita. Saya tidak akan menjelaskan apa-apa.”
Serayu membeku. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada apa pun. Dan di titik itu, ia baru sadar—ia sudah melangkah terlalu jauh.
“Well, kalau begitu, jangan lupakan pula pasal bahwa dalam pernikahan ini tidak boleh ada skandal orang ketiga. Bukankah dokter Abra Wijaya Utomo yang terhormat tidak ingin personal branding-nya rusak?” ujarnya, mendekat lalu mengusap pundak Abra seolah membersihkan sesuatu, sebelum berlalu meninggalkan lelaki itu yang terpaku di tempatnya.
“Kamu tidak diizinkan mengintervensi saya, Serayu!” pekik Abra, egonya tersentil.
Serayu tak menanggapi. Sesampainya di kamar, ia bersandar pada pintu dengan jantung yang berdegup tak karuan. Ia akui, dirinya lancang kali ini. Namun bukankah ia juga manusia yang memiliki hati? Tidak bisakah, setidaknya sekali saja, ibu dan anak itu berhenti menekannya? Ia menanggung beban dan tuntutan, lantas siapa yang menanggung hatinya?
dr. Abra dengan personal brandingnya ceunah :)
Malam itu, Abra menjeling jengah saat Aileen tiba-tiba memeluknya. Ia yakin sekali wanita itu sedang mabuk karena mencium aroma alkohol.Abra pusing sendiri, membawa wanita itu masuk ke dalam unit apartemennya jelas bukan pilihan bijak—itu sama saja seperti menggali kubur sendiri. Dengan enggan, Abra menopang tubuh Aileen yang limbung, langkahnya tertatih menuju lobi. Ia mencoba mencari petunjuk di dalam tas tangan wanita itu—alamat, kartu, atau apa pun yang bisa menunjukkan ke mana ia harus mengantarkannya pulang. Abra memang tahu lokasi apartemen Aileen, tapi tidak tahu unit dan sistem apartemen tersebut.Saat sedang menunduk, suara seseorang terdengar memecah keheningan malam itu.“Ada yang bisa aku bantu?”Abra menoleh. Di depannya berdiri Ryan, masih mengenakan jaket dan membawa ransel serta koper. Tatapan lelaki itu beralih pada Aileen yang kini duduk lemah di sofa lobi, wajahnya setengah tersembunyi di balik rambut yang kusut. Tanpa banyak bicara, Abra menyodorkan tas Aileen ke
Aileen pulang dari pesta ulang tahun temannya. Dalam keadaan frustrasi, ia meneguk alkohol—tidak banyak, tapi kadar toleransinya memang rendah, sehingga mudah mabuk. Ia bahkan tak sadar bagaimana akhirnya bisa berada di apartemen Abra. Memang belakangan ini dalam pikirannya kalut, hanya Abra dan Abra saja—berharap lelaki itu kembali padanya karena sungguh ia mencintainya. Aileen mengikuti seseorang ke dalam lift—meminta bantuan karena tidak mempunyai kartu akses lalu menyebutkan lantai tempat unit Abra berada. Langkahnya terhuyung, matanya sedikit kabur mencari nomor unit lelaki itu. Hingga seseorang melangkah mendekat ke arahnya. Aileen tersenyum melihat Abra berdiri di hadapannya. Dalam hatinya ia yakin, takdir memang selalu menuntun Abra padanya, pikirnya. Seperti dini hari ini, tangan Aileen terulur mengusap lembut pipi lelaki di hadapannya. Sentuhan hangatnya membuat si lelaki menggeliat pelan dan membuka mata. Ia mengerang kecil, menoleh ke arah lain—meraih ponsel di atas naka
Serayu bertemu dengan Amalia dalam briefing siang itu. Wanita itu mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace sambil meringis kecil. Amalia sudah menduga, Serayu pasti sudah tahu kalau dirinya mata-mata Abra. Serayu hanya membalas ringisan itu dengan senyum dan mata memicing dari kejauhan.Usai briefing, Amalia menghampiri Serayu dan duduk di sampingnya. Serayu menoleh kanan-kiri, memastikan sekitar yang sepi, lalu berbisik pelan, “Duh, takut banget dilaporin,” sindirnya, bercanda. Amalia refleks memeluk Serayu dari samping.“Maafkan aku…,” lirihnya penuh rasa bersalah. Amalia akhirnya mengakui semuanya—permintaan Abra hari itu. Ia juga yakin kedatangan Abra tempo hari karena ia tak sengaja mengirim kebersamaan Serayu dan Ryan.Serayu hanya mengangguk kecil. “Mas Abra memang nggak suka saya terlalu dekat sama laki-laki lain. Takut istrinya dicuri, kayaknya,” katanya bercanda, Serayu terkekeh geli sendiri. Sementara Amalia terdiam.Ia tak menanggapi. Sepertinya ada hal yang Serayu belu
Sampai keesokan harinya, Abra masih enggan berpisah dari Serayu. Entah mengapa, menjelang hari keberangkatannya, suasana terasa begitu berat. Besok pagi Abra akan berangkat lebih dulu bersama beberapa tim, sementara Serayu dijadwalkan pulang seminggu kemudian.Ada rasa syukur, karena jarak hanya akan memisahkan mereka selama seminggu saja. Namun, dengan keterbatasan sinyal di lokasi, waktu yang singkat itu tetap terasa seperti ujian panjang karena rindu yang tak bisa disampaikan setiap saat.Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu bahwa esok dan beberapa hari ke depan mereka tak lagi terlelap di bawah atap yang sama. Abra masih belum juga melepaskan pelukannya.“Saya nggak mau pisah dari kamu,” bisiknya lirih, suaranya serak karena emosi yang ditahan.Serayu menoleh sedikit menatap wajah suaminya dari jarak sedekat itu hanya mampu mengangguk. “Saya juga, Mas… makin berat rasanya,” aku Serayu membuat Abra tersenyum karena apa yang ia rasakan, Serayu juga
Pagi itu udara lebih segar dari biasanya dan langit mulai menampakkan rona cerah menyapa pasangan muda yang menyempatkan diri olahraga bersama—jogging mengitari desa. “Istirahat di situ, Sayang,” tunjuk Abra pada sisi sungai. Meski sudah sering dipanggil ‘sayang’ tetap saja hati Serayu dagdigdug mendengarnya. Dan wanita itu belum pernah memanggil Abra dengan sebutan yang sama. Keduanya melakukan pendinginan ringan usai berolahraga. Semilir suara aliran air menjadi latar yang menenangkan. “Sini, Sayang,” panggil Abra meminta Serayu mendekat. Ia memberikan ponselnya memperlihatkan surat tugas pulang ke rumah sakit asal mereka. “Lusa saya harus kembali,” katanya pelan, menatap Serayu dalam. Tak terasa dua minggu sudah Abra bertugas, sementara Serayu masuk minggu keempat. Jadwal kepulangan mereka berbeda, Abra lebih dulu. “Saya bisa minta tambahan waktu, biar kita pulang bareng.” Serayu mengangkat pandangannya menggeleng tidak setuju. “Tidak perlu, Mas. Ini penugasan. Harus p
Serayu meremang saat Abra berbisik nakal di telinganya, “Kenapa harus?” Kini bibir nakal itu ikut menggerayangi lehernya. “Saya salah apa sampai wajah kamu ditekuk begitu?”“Salah. Pokoknya Mas selalu salah,” sahut Serayu kesal.Abra mengerutkan kening. Ia memutar tubuh wanitanya membuat Serayu menelan ludah. Menatap dada bidang Abra saja sudah salah, apalagi saat mata mereka akhirnya bertemu. Serayu benar-benar tak kuasa.“Tolong jelaskan. Saya tidak bisa menebak hanya dari raut wajah kamu,” ucap Abra sambil mencubit lembut dagu Serayu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.“Kalau mau dijelasin, pakai baju dulu minimal,” gumam Serayu, menatap ke arah lain sambil memegangi ponsel di depan dadanya.Abra tidak mengindahkan. Tangannya terulur meraih ponsel itu dan pandangannya langsung jatuh pada layar yang masih terbuka pada ruang obrolan—pesan berisi beberapa foto. Tatapannya terangkat, menelusuri wajah Serayu.“Setelah saya jauh-jauh ke sini, kamu masih percaya hal beginian?” tanyanya







