Share

2. Bayangan Masa Lalu

Author: Dinis Selmara
last update Last Updated: 2025-09-13 11:48:41

Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.

[Foto]

Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.

[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]

Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.

Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri di hadapan sang mertua. Serayu akhirnya memilih tenggelam dalam rutinitas hari ini, meski suasana hatinya sudah lebih dulu porak-poranda.

Malam harinya, tepat pukul delapan, Serayu baru tiba di rumah. Seharian penuh ia tenggelam dalam kesibukan hingga tak melihat Abra di rumah sakit. Pulang larut pun, bayangan sang suami masih tak terlihat.

Serayu menjatuhkan tubuhnya ke sofa, bersandar lelah sambil memejamkan mata dalam ruangan remang yang hanya ditemani cahaya temaram dari luar gedung.

Jujur saja, hari ini fokusnya terpecah. Ia berusaha keras menyingkirkan bayangan foto yang dikirim mertuanya, agar tetap bisa melewati hari dengan profesional. Namun entah mengapa, dorongan untuk kembali membuka foto itu datang lagi.

Ia kembali meraih ponselnya, mendapati pesan dari mertuanya ternyata masih berlanjut—ada foto lain. Usaha apa lagi yang mertuanya lakukan untuk menghancurkan perasaannya? Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya membuka.

Dalam foto itu, wanita yang sama tampak memeluk Abra dari belakang. Mereka berdiri di samping mobil, kali ini di lokasi berbeda, tapi tempat itu terasa tidak asing bagi Serayu. Logikanya berkata mungkin semua itu hanya kebetulan, tapi hatinya berontak.

“Jadi ini wanita itu?” gumamnya.

Wajah memang tak terlihat, tetapi gestur sederhana itu sudah cukup menghujam dada. Tepat di bawah foto, pesan singkat mertuanya menyusul:

[Masa lalu akan selalu menjadi pemenangnya. Sepertinya kalimat itu benar adanya.]

Serayu cepat-cepat melempar ponselnya ke samping saat merasakan darahnya kian berdesir.

“Apa yang kamu pikirkan Serayu?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia menggeleng cepat—salah tingkah—merapikan rambutnya yang tidak berantakan.

Sesaat kemudian, terdengar suara pintu terbuka diikuti cahaya lampu yang menyingkirkan remang. Pandangan Serayu dan Abra langsung bertemu.

“Kenapa lampunya dibiarkan mati?” tanya Abra dengan nada datar, tak merasa bersalah sama sekali. Ia berjalan santai ke arah kitchen island, menuang air, lalu menegaknya tanpa tergesa.

Serayu buru-buru meraih ponselnya, memastikan sesuatu. Hatinya tercekat ketika menyadari pakaian yang dikenakan Abra malam ini sama persis dengan yang terlihat dalam foto kiriman mertuanya.

Untuk sesaat ruangan hening hingga mulut Serayu lancang bertanya, “Kenapa kamu tidak pulang?”

Gerakan Abra sempat terhenti sesaat. Namun, ia kembali meneguk habis isi gelas sebelum meletakkannya di atas meja.

“Ada panggilan dari rumah sakit. Tindakan berlangsung sampai larut malam,” jawabnya tenang, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Serayu.

Jawaban itu justru membuat dada Serayu terasa sesak, tak sanggup ingin melepaskan tawa getir.

‘Bohong,’ tuduh Serayu dalam hati, meski bibirnya terkatup rapat.

“Bagaimana dengan hari ini? Sibuk juga?” tanyanya, berusaha terdengar biasa.

Abra mengerutkan kening, menoleh. Tatapan Serayu terasa berbeda malam ini—terlalu dalam dan penuh selidik.

“Tentu saja. Saya lelah, ingin segera beristirahat,” jawabnya singkat, lalu melangkah menuju kamar.

“Oh, ya? Lelah? Kamu baru saja bersenang-senang bersama wanita itu?” tanya Serayu semakin lancang.

Langkah Abra terhenti. Ia berbalik, menatap Serayu lurus tanpa berkedip. Sorot mata keduanya beradu, sarat ketegangan. Perlahan Abra mendekat, suaranya dingin. “Apa maksudmu?”

Serayu menggigit bibir. Kata-kata yang awalnya ingin ia simpan rapat, kini meluncur tanpa bisa ditahan. Melihat wajah Abra tanpa rasa bersalah itu, Serayu ingin sekali melemparkan ponselnya, memperlihatkan bukti foto kiriman mertuanya. Tapi… untuk apa?

Akhirnya ia hanya mengedikkan bahu, memilih bersikap acuh dan melangkah pergi—meninggalkan Abra dengan tatapan penuh tanya. Namun, tangan Serayu tiba-tiba ditahan.

“Ada apa dengan kamu?” suara Abra terdengar tegas.

“Ada apa dengan saya? Apa tidak salah pertanyaannya? Kamu yang kenapa, kenapa kamu berbohong saat menemui wanita itu?” Itu adalah kalimat terpanjang yang meluncur begitu saja dari bibir Serayu membuat Abra kian mengernyit.

“Kamu mengikuti saya?” tuduhnya dingin. “Kamu tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan saya,” tekan Abra, tatapannya menusuk.

Serayu terdiam. Ia tertampar kenyataan bahwa ia tidak boleh menuntut apa pun. Bukankah sejak awal mereka sepakat, pernikahan ini hanya kontrak? Abra benar, tak seorang pun dari mereka berhak menuntut atau mengurusi urusan pribadi masing-masing.

“Kenapa diam?” tanya Abra pada Serayu. “Jangan lupa, Serayu,” suaranya rendah, tapi tegas dan menusuk, “pernikahan kita ada batasannya. Sebagaimana dalam pasal perjanjian kita. Saya tidak akan menjelaskan apa-apa.”

Serayu membeku. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada apa pun. Dan di titik itu, ia baru sadar—ia sudah melangkah terlalu jauh.

“Well, kalau begitu, jangan lupakan pula pasal bahwa dalam pernikahan ini tidak boleh ada skandal orang ketiga. Bukankah dokter Abra Wijaya Utomo yang terhormat tidak ingin personal branding-nya rusak?” ujarnya, mendekat lalu mengusap pundak Abra seolah membersihkan sesuatu, sebelum berlalu meninggalkan lelaki itu yang terpaku di tempatnya.

“Kamu tidak diizinkan mengintervensi saya, Serayu!” pekik Abra, egonya tersentil.

Serayu tak menanggapi. Sesampainya di kamar, ia bersandar pada pintu dengan jantung yang berdegup tak karuan. Ia akui, dirinya lancang kali ini. Namun bukankah ia juga manusia yang memiliki hati? Tidak bisakah, setidaknya sekali saja, ibu dan anak itu berhenti menekannya? Ia menanggung beban dan tuntutan, lantas siapa yang menanggung hatinya?

Dinis Selmara

dr. Abra dengan personal brandingnya ceunah :)

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Ovy Azza
knpa jg kmu ga memperlihatkan foto" yg d kirim mertuamu sh yu. kita liat apa yg bakal di sangkal abra
goodnovel comment avatar
Eany Luphdieya
dilarang ikut campur tapi dilarang ada orang ketiga, kok jadi kayak orang but4 ya?? xixixi
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
kamu kuat jangan terpengaruh ibu mertua mu abaikan saja foto itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   7. Siap Berpisah?

    Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra. Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah.Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang.“Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh.“Pul

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   6. Wanita Dari Masa Lalu

    Hubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat. Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggun

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   5. Terlalu Lancang

    Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   4. Bersandiwara

    “Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   3. Terusik

    Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   2. Bayangan Masa Lalu

    Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status