Masuk“Cemburu?” tanya Serayu, mencolek dagu Abra.“Pikiran saya bilang tidak,” jawab Abra pelan, “tapi hati saya bilang iya.”Serayu tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya pada lengan besar Abra. Di dalam mobil yang sunyi, terdengar helaan napas dalam. Tangan Abra terangkat, jemarinya menarik pelan dagu Serayu, seolah memainkannya.“Harusnya hatinya seyakin itu,” ujar Serayu lembut, “karena saya nggak mungkin berpaling.”Abra terdiam sesaat. Mobil tiba-tiba menepi, membuat Serayu mengernyit bingung.“Mas, kenapa?”Baru saja ia hendak menegakkan duduknya, Abra menarik Serayu ke arahnya. Sebuah ciuman panas datang tiba-tiba, seolah lama tertahan akhirnya dilepaskan di bibir rasa cherry itu.Wanita itu sendiri sempat terpaku oleh tindakan tiba-tiba suaminya itu. Ia mendorong tubuh Abra hingga kecupan itu terlepas.“Mas, tiba-tiba sekali,” keluhnya.Mobil terparkir di sisi jalan yang lengang. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, menciptakan bayang-bayang samar di wajah mereka. Serayu masih
Serayu dan Sedanu kompak menoleh ke arah sumber suara. Wanita yang menyapa itu sedikit menunduk, pandangannya jatuh pada Serayu.“Amalia?” Serayu terkejut.Amalia sempat berteriak kecil karena Serayu mengingatnya, lalu buru-buru mengecilkan kembali suaranya. Dari kejauhan, Abra menoleh sekilas sebelum berpamitan pada lawan bicaranya. Ia melangkah mendekat ke meja tempat dua wanita itu kini sudah saling berpelukan.“Kalian saling mengenal?” tanya Sedanu, terdengar oleh Abra. Keduanya kompak mengangguk.“Mas,” sapa Amalia yang baru saja menyalami Sedanu—pada Abra yang kini berdiri di sisi istrinya.Pandangan Amalia kembali jatuh pada Serayu, ia tersenyum menatap Serayu dan Abra bergantian. “Sini, duduk sini,” ajak Serayu sambil menarik kursi di sampingnya.Amalia tak juga memalingkan wajahnya, terus menatap Serayu dan Abra tanpa berkedip. Karena merasa diperhatikan terlalu lama, Serayu akhirnya mengulurkan tangan dari kejauhan, menutup pandangan Amalia ke arah mereka berdua dengan sebela
Abra langsung menatap jengah lelaki yang melangkah girang mencari kursi kosong usai menyapa para tetua. Tanpa banyak pikir, ia menarik kursi di sebelahnya lebih dulu—sebagai isyarat jelas agar Sedanu tidak duduk di sisi istrinya. Beberapa pasang mata mengikuti gerak Sedanu. Ya, yang datang memang dokter Sedanu.“Mas, lama tidak bertemu,” sapa Sedanu santai, mengulurkan tangan untuk menyalami Abra dengan gaya khas lelaki dan Abra menyambutnya. Setelah itu, pandangannya jatuh pada Serayu.“Twin,” sapanya terang-terangan, tepat di hadapan suami Serayu.Saat Sedanu hendak mengulurkan tangan, Abra lebih dulu menyodorkan gelas minuman ke tangannya—refleks Sedanu menerimanya—menoleh bingung.“Bagaimana kabarmu?” tanya Abra, mengalihkan perhatian.Serayu tentu paham situasi itu. Ia menahan senyum sekuat hati, tahu betul suaminya tak mengizinkannya menjabat tangan Sedanu.“Aku baik, Mas. Mas dan Serayu bagaimana kabarnya?” tanya Sedanu, bergantian menatap keduanya.Tangan Abra terulur, meraih t
Malam itu, Abra dan Serayu datang dengan busana senada. Abra mengenakan kemeja hitam, lengan digulung sedikit, memperlihatkan tangan kekarnya. Serayu melangkah di sisinya dengan dress hitam yang jatuh anggun, tidak berlebihan, justru memancarkan aura cantik luar biasa. Keduanya tampak serasi, seolah keselarasan itu lahir dengan sendirinya. Beberapa pasang mata menoleh, menyambut kedatangan suami istri itu. Keduanya menarik perhatian keluarga yang telah lebih dulu berkumpul. Serayu menyadari itu, namun memilih menggenggam tangan suaminya lebih erat. Jangan tanyakan bagaimana jantungnya saat ini, detaknya tak karuan. Pandangan Serayu menyapu ruangan hingga berhenti pada sosok Jay Wijaya dan Vera. Ini pertemuan mereka lagi setelah peristiwa itu–saat Riani baru saja dibawa ke rumah sakit karena depresi. Ada jarak yang terasa tebal, bukan karena permusuhan, melainkan karena luka yang belum sepenuhnya sembuh. Namun malam ini, jarak itu tampak menepis. Abra melangkah lebih dulu, menyalami
Malam itu, Abra memutuskan untuk tetap mengajak Serayu menghadiri acara keluarga. Katanya, sejak awal pernikahan, ia memang selalu membawa Serayu ke setiap pertemuan. Rasanya tidak ada alasan untuk tidak mengajak sang istri. Jika dulu semuanya terasa seperti sandiwara, kini mereka hadir apa adanya ‘suami istri’. Namun, dipikir-pikir rasanya tak banyak yang berubah. Abra yang dulu dan sekarang tetap sama penuh perhatian. Hanya saja, dulu ucapannya sering terasa pedas, kini justru manis—terlalu manis, bahkan.Beberapa hari terakhir Serayu tak lagi memiliki jadwal koas. Sekarang urusannya tidak lagi ke rumah sakit tapi kampus. Seperti sore ini, ia baru saja selesai urusan akademik lalu mampir ke butik yang telah Abra arahkan sebelumnya.“Sudah di butik ini, Mas,” kata Serayu melalui sambungan telepon. “Mas lagi nggak sibuk?”“Saya mau meeting dengan kepala dokter rumah sakit,” jawab Abra.“Kalau begitu lanjut saja, Mas. Saya baru mau fitting baju.”“Sayang, cari pakaiannya yang tertutup y
Serayu terpaku menatap amplop cokelat di tangannya. Ia menarik satu per satu isinya—lembar itinerary yang tersusun rapi, detail keberangkatan, lalu tiket pesawat yang terjepit di antara kertas-kertas itu. Napasnya tertahan saat membaca tujuan yang tercetak jelas di sana. Perlahan ia menoleh pada Abra, matanya membulat, penuh tak percaya.“Kita ke Maldives?” tanyanya lirih.Abra mengangguk, senyum tipis menghiasi wajah tampannya. “Iya. Kamu fokus saja pada ujian.” Abra mengusap kepala istrinya penuh sayang.“Bukannya kita hanya ke kampung?”“Setelah dari sana, kita pulang dari kampung. Saya libur panjang.”Serayu tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Ia mendekat dan memeluk suaminya erat. “Saya mau banget ke sana, Mas. Maldives itu… mimpi saya sejak lama.”Abra tersenyum, lalu mengecup puncak kepala kesayangannya. Dalam diam Abra mencari tahu apa yang istrinya sukai. Ia mencari informasi itu dari ibu mertuanya. Awalnya beliau mengaku tak paham apa-apa, hingga menemukan sesuatu dari b







