Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.
Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.
Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.
“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”
“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”
Ia melangkah pergi tanpa menoleh, bahkan sempat membanting pintu sedikit lebih keras dari seharusnya. Percayalah, alih-alih seperti pasangan suami istri, hubungan keduanya lebih menyerupai anak kos dengan bapak kos. Kaku dan penuh jarak.
Abra mematung, keningnya berkerut. “Marah?” gumamnya sendirian. Bukankah seharusnya dia yang marah, karena Serayu yang semalam lancang mencampuri urusan yang seharusnya bukan haknya?
Sementara itu, di balik pintu, Serayu mengembuskan napas panjang. Ada sedikit kelegaan karena berhasil menghindari tatapan Abra. Ia tak punya muka untuk berhadapan dengan lelaki itu setelah perseteruan semalam. Kata-katanya terlalu berlebihan, sikapnya melampaui batas. Meski pernikahan ini hanya kontrak, mengapa ia merasa seperti menuntut sesuatu yang lebih?
Di rumah sakit, sebisa mungkin Serayu berusaha menghindar bertemu dengan dokter bedah itu. Hingga saat jam istirahat tiba, dari kejauhan Serayu melihat sosok lelaki yang sangat ingin ia hindari itu berjalan dari arah berlawanan. Tatapan tajam yang dipancarkannya membuat Serayu salah tingkah.
Refleks, Serayu meraih lengan Sedanu—dokter residen yang kebetulan tak jauh darinya. Sedanu sontak tersentak dengan tindakan tiba-tiba itu.
“Dok, anak-anak ngajakin makan siang di kantin. Let’s go!” ucap Serayu terburu-buru, langsung menyeret Sedanu tanpa memberi kesempatan bertanya.
Pemandangan tersebut tak luput dari Abra. Lelaki itu mengernyit, bingung dengan sikap istrinya yang tampak ganjil. Ya … meski tidak ada yang tahu bahwa Serayu dan Abra telah menikah. Pernikahan mereka berlangsung sangat intim, tanpa publikasi. Hanya desas-desus yang beredar bahwa Abra telah menikah, tapi tak seorang pun berani memastikan kebenarannya. Terlebih, sang ibu sendiri enggan mempublikasikan status menantunya.
Serayu terus menarik Sedanu, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan Abra masih ada atau tidak. Begitu yakin suaminya tak lagi terlihat, ia melepas rangkulannya sambil menarik napas lega. Namun, sesaat kemudian ia justru tersentak ketika tangannya balik dirangkul oleh Sedanu.
“Kenapa berhenti? Ayo jalan,” ajak Sedanu santai.
“Eh… itu, Dok. Hmm… kayaknya nggak jadi deh. Lihat, kantinnya sepi,” alasan Serayu, menunjuk kantin yang memang tampak lengang. “Mungkin mereka makan di ruangan.”
Sedanu mengikuti arah pandangnya, lalu menatap Serayu. “Kalau begitu kita saja yang makan berdua. Saya sudah lapar,” ujarnya tenang sambil menuntun Serayu ke arah kantin.
“Eh?” Serayu tersentak, terseok-seok menyeimbangkan langkahnya mengikuti Sedanu.
Sedanu sendiri adalah seorang dokter residen PPDS yang dikenal murah hati dan sering membantu para koas. Kepopulerannya di kalangan mereka membuatnya kerap dicocok-cocokkan dengan Serayu, apalagi nama mereka terdengar hampir serupa. Namun, Serayu selalu menanggapi hal itu dengan profesional, tak pernah memberi celah gosip.
“Tapi, Dok—”
“Tapi apa? Ayo, makan siang.”
Tanpa keduanya sadari, sepasang mata tajam tengah mengawasi langkah mereka dari kejauhan. Rahang lelaki itu mengeras, menyimpan sesuatu yang tak terucap.
***
Hari itu Serayu mendapat jadwal jaga. Berbeda dari biasanya, kali ini ia justru merasa begitu lega—bahkan sedikit bersemangat. Bukan karena ingin berhadapan dengan pasien-pasien gawat darurat, melainkan karena shift ini memberinya kesempatan untuk menghindari Abra.
Malam itu suasana IGD ramai, lalu lintas pasien tak pernah berhenti. Serayu baru saja selesai membantu perawat menulis status pasien ketika sebuah tandu didorong masuk dengan tergesa. Seorang wanita paruh baya ditemukan tak sadarkan diri di rumahnya dan segera dibawa ke rumah sakit.
Awalnya penanganan berjalan lancar. Namun, saat wanita itu mulai siuman, keadaan berubah kacau.
‘Aku nggak mau hidup! Aku mau mati saja! Kenapa kalian selamatkan aku?!’ teriaknya serak, mata liar penuh amarah. Dalam sekejap, tangannya meraih pisau kecil dari meja instrumen.
Semua orang tersentak. Dan sebelum sempat dicegah, pisau itu sudah teracung—seraya menarik Serayu yang berdiri paling dekat.
“Lepaskan saya, Bu! Tenang—” suara Serayu bergetar, tubuhnya menegang.
Ruangan mendadak riuh. Perawat menjerit panik, dokter jaga berusaha mendekat, tapi tak ada yang berani mengambil risiko terlalu cepat. Serayu bisa merasakan dinginnya besi menempel di sisi tubuhnya.
Di tengah keributan, sosok tinggi dengan langkah tenang membelah kerumunan. Abra dengan wajahnya menegang, matanya awas penuh perhitungan. Namun sebelum ia sempat mendekat, Sedanu melangkah lebih cepat. Dengan lembut dan penuh empati, Sedanu berhasil mengambil simpati wanita tersebut.
Wanita itu terguncang sesaat dan dalam kelengahan singkatnya, Sedanu menarik Serayu dengan cepat, merengkuhnya ke dalam pelukan. Perawat lain segera sigap mengamankan pasien yang masih meronta.
“Kamu nggak apa-apa?” suara Sedanu rendah, menenangkan, sementara ia tetap menahan Serayu erat dalam dekapannya.
Serayu berusaha tegar, meski jelas tangannya gemetar hebat. “Saya… saya baik-baik saja,” bohongnya lirih, mendorong tubuh Sedanu—membuat jarak.
Sedanu menuntunnya duduk di kursi, lalu berjongkok di hadapan Serayu. Segelas air mineral ia sodorkan dengan lembut.
“Kamu bisa ganti jadwal jaga kalau mau.”
Serayu menggeleng cepat, memaksa senyum kecil. “Tidak perlu, Dok. Saya baik-baik saja.”
Namun, pandangannya tak sengaja jatuh pada Abra yang baru saja berbalik meninggalkan IGD. Lelaki itu sempat berdiri di sana, menyaksikan semuanya, sebelum akhirnya memilih pergi begitu saja.
Beberapa rekan sejawat bergantian menghampiri, menanyakan keadaan Serayu. Semua itu hanya ia tanggapi dengan senyum singkat dan ucapan terima kasih. Begitu suasana kembali tenang, Serayu melangkah keluar dari IGD menuju ruangannya.
Tak disangka, di lorong ia justru berpapasan dengan Abra yang tampak sudah bersiap pulang. Serayu spontan mengangguk hormat.
Baru saja ia hendak menyapa, ponsel Abra berdering. Lelaki itu menunduk, meraih ponselnya, menatap layar beberapa detik. Ia tidak menjawab. Sekilas, Serayu sempat melihat layar itu: sebuah panggilan video masuk. Meski nomor si penelpon tidak tersimpan, tapi wajah wanita itu terpampang jelas.
Wajah wanita itu … tampak tidak asing baginya.
Abra melangkah pergi tanpa satu kata pun. Meninggalkan Serayu berdiri sendiri, dengan hati yang kembali bergetar entah karena rasa takut atas kejadian tadi atau kecewa melihat langkah lelaki tersebut.
Lama kali geraknya, dr. Abra! Kan jadi keduluan cowok lain >_<
Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra. Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah.Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang.“Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh.“Pul
Hubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat. Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggun
Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m
“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda
Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah
Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya