Leana makan dalam keheningan, dia begitu kasihan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, Elvano yang cuek dan dingin terlihat acuh tak acuh. Sementara Zelina serta mama mertuanya terus saja bercanda ria. "Vano, mau nambah ikan tidak? Kamu 'kan suka sekali ikan kuah kuning." Zelina bertanya pelan, sedangkan Elvano menggeleng singkat. "Sayangnya Tante ini memang perhatian sekali, andai kamu yang jadi menantu Tante, pasti—" "Ma, bisa kita makan dengan tenang?" sela Elvano lembut, dia menatap mamanya dalam.Leana yang mendengar itu hanya mengerjap pelan, prasaannya semakin tak menentu kala mama mertunya mendelik sinis ke arahnya. "Tentu," balas wanita paruh baya itu, lain halnya dengan Zelina yang langsung memasang raut sedih. "Maaf, Vano. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?" "Tentu tidak, Sayang. Vano memang seperti itu, kamu tahu sendiri dia tidak bisa dengan suasana bising. Santai saja oke, kamu sahabatan dari kecil sama Vano. Mana mungkin dia terganggu oleh kehadiranmu, kecuali
"Sabar! Saya juga sedang mengusahakannya!""Wanita ini! Brani-braninya kamu menaikkan Volume bicaramu pada saya!" Rosita diam tak berkutik, dia lepas kendali karena rentenir itu mengancam akan ke rumahnya. "Maaf, tetapi saya mohon. Jangan datang ke rumah. Di sana ada suami dan anak saya." Wanita itu mendengkus sinis. "Bukankah kamu punya anak yang terkenal? Siapa namanya ... Sasmita, ya? Bagaimana jika dia saja sebagai penebus hutang kamu? Atau adiknya yang manis itu juga bisa, pasti dia bisa menjadi aset yang berharga untuk saya." "Jangan! Tolong jangan! Saya berjanji akan melunasinya secepatnya. Sugguh! Saya tidak berbohong kali ini." Rosita memohon, tubuhnya bergetar ketakutan. Bisa mati dia jika anak-anaknya terlibat, tak terbayangkan kemurkaan yang didapat dari sang suami. "Ya sudah, saya kasih waktu satu minggu, lebih dari itu—anak gadismu yang akan jadi jaminannya." Sedangkan di tempat lain, Leana duduk termenung dengan pandangan kosong ke depan. Setelah mama mertuanya sert
Leana terpaku, netra beningnya mentap Elvano dengan tatapan tak terbaca. Dia butuh diyakinkan beribu kali jika Elvano mengtakan hal yang mustahil seperti itu."Bisa Mas ulangi sekali lagi?""Saya tidak pernah mengulang perkataan yang sama." Leana mengatupkan bibir, lalu kembali membukanya secara perlahan. "Bagaimana jika saya menolak?"Raut Elvano yang awalnya meremehkan menjadi dingin seketika. Pria itu bahkan menatap Leana tajam. "Itu berarti kamu tidak akan pernah mendapatkan apa yang kamu mau." Leana terdiam, dia menatap Elvano dengan pandangan lurus. "Saya menolak, karena saya ingin melakukan semuanya atas dasar cinta, sedangkan kita? Tak lebih dari dua orang asing yang terjebak dalam ikatan sebuah pernikahan." Bukankah Leana begitu lancang? Dan darimana keberanian itu berasal?Ego Elvano terluka, apakah dia baru saja ditolak mentah-mentah? Wajah Elvano mengeras, dia menatap dingin perempuan di hadapannya. "Saya tidak tahu jika kamu adalah perempuan berprinsip, tapi tidak apa-a
"Ibu tidak mau tahu, Leana! Mana bisa Ibu menunggu satu bulan lebih, bukankah suami kamu kaya raya? Mintalah padanya." "Ibu, tolong jangan seperti ini. Ak-aku sama sekali tidak enak meminta kepada Mas Elvano." Leana mengigit bibir bawah gugup, mana mungkin dia meminta lagi pada Elvano. Sedangkan syarat dari pria itu dia tolak mentah-mentah."Lantas bagaimana? Kamu mau mereka mengusir Ibu dan Ayah serta adikmu?"Suara Rostia terdengar menuntut dari seberang sana, wanita itu memang sangat pemaksa jika menginginkan sesuatu.Sementara Leana membeku di tempatnya, perempuan itu menelan ludah susah payah. Pekerjaannya masih menumpuk, tetapi semuanya teralihkan karena telepon dari sang ibu. Untung jarak mejanya dari rekan kerjanya yang lain cukup renggang. Jadi, tak ada yang mendengar pembicaraanya. "Kamu dengar Ibu, tidak?!"Rosita kembali berseru, menyadarkan Leana dari lamunannya."Bu—" "Tolong, Ibu meminta untuk kali ini saja." "Ba-baik, akan aku usahakan." Pada akhirnya Leana mengiya
Leana tak berani keluar dari dalam selimutnya, dia akan menunggu Elvano berangkat kerja terlebih dahulu. Setelah pembahasan mereka semalam, semuanya terjadi begitu saja. Leana memegang dadanya sedari tadi, jantungnya tak berhenti bergemuruh hebat dari semalam."Saya berangakat kerja dulu, cepatlah mandi dan bersiap-siap. Bukankah kamu masuk kerja hari ini?" Terdengar suara serak dan dalam dari Elvano, membuat jantung Leana semakin bertalu-talu."Ba−baik, Mas ...," cicitnya dengan suara yang terendam dari dalam selimut.Setelah tak mendengar balasan apapun, Leana mencoba menurunkan selimutnya dengan perlahan. Tenggorokan perempuan itu tercekat karena wajah dengan pahataan menawan itu terpampang jelas di hadapannya. "Ma−mas Elvano ...." Leana tercekat. Secara perlahan memundurkan wajahnya, memberi jarak. "Malu?" bisik pria itu dengan raut tak terbaca. Leana mengangguk kikuk. "Mandilah, setelah itu sarapan." Wajah Leana semakin memerah, Elvano yang melihat itu menaikkan sudut bibirnya.
"Brani-braninya kamu menyiksa putri saya! Membuat tekad saya sudah bulat untuk berpisah saja dari kamu!" Bagus datang dengan kilatan murka, pria paruh baya itu begitu marah melihat keadaan sang putri. "Lea, mana yang sakit, Sayang." Leana terisak sembari memeluk ayahnya begitu kencang. Sedangkan Rosita semakin berang karena Leana semuanya menjadi kacau."Selalu saja, dari dulu kamu mengutamakan Leana dalam segala hal. Bahkan lebih dari istrimu sendiri!" teriak Rosita dengan air mata yang berderai."Bahkan kamu ingin cerai gara-gara aku mukul anak kesayanganmu ini! Tidakkah kamu pikir jika Sasmita dan Arsen akan terluka jika melihat perceraian kedua orang tuanya?" "Kalau berpisah lebih baik, aku mendukung keputusan, Ayah. Dan tidakkah Ibu juga berpikir jika selama ini yang Ibu utamakan hanya, Sasmita? Bahkan disaat kak Lea sudah mengorbankan segalanya, Ibu tetap bersikap ketus padanya." Arsen menelan ludah susah payah, menatap ibunya kecewa."Dulu aku sering melihat kak Lea menangis ten
"Zelina, kenapa tidak bersama Vano, Sayang?" Zelina tersenyum lembut, lalu memeluk Sania pelan. "Vano tidak balas pesan aku, Tante. Jadinya aku ke sini sendiri." Sania bedecak, dia menuntun Zelina untuk duduk di sofa. "Anak Tante itu benar-benar, padahal ada acara keluaraga seperti ini. Bisa-bisanya dia acuh tak acuh, kebiasaan sekali memang. Nanti tante jewer kalau dia sudah datang." Zelina tertawa kecil. "Oh, iya. Tante, aku bawa brownies, kebetulan ada resep baru, jadi aku coba-coba deh." Sania berbinar kala melihat beberapa box brownies yang Zelina sodorkan."Astaga! Apa yang tidak kamu bisa lakukan, sih, Sayang? Mingggu depan kita masak bareng, yuk?" Seketika raut wajah Zelina berubah sendu, dia menatap Sania dengan pandangan bersalah. "Maaf, Tante. Untuk kedepannya aku ada pemotretan di luar kota. Atau gini aja, aku langsung ke sini setelah pulang. Bagaimana?" Bukannya menjawab, Sania justru memeluk Zelina erat. "Tidak apa-apa, Sayang. Bisa kapan-kapan. Andai Tante punya ana
Leana mengikuti langkah Elvano dalam diam, perempuan itu sama sekali tak membuka suara. Membuat Elvano sedikit bingung akan perubahan sikapnya. "Kamu langsung ke dalam saja, ada Mama sama Zelina. Saya menemui Papa dulu." Leana mengangguk singakat, lalu melangkah ke arah ruang tamu. "Mbak Leana!" Leana menoleh ke arah sumber suara, terlihat gadis cantik yang sedang tersenyum ke arahnya. "Maaf, kamu mengenal saya?" tanya Leana pelan. "Iya, Mbak, kebetulan Ibu ngasih tau kalau Mbak Leana akan datang ke sini." Leana terlihat masih bingung, membuat gadis cantik itu terkekeh pelan. "Saya Mera, anak dari Mbok Sumi" Leana terkesip, lalu menatap penampilan gadis muda di hadapannya. Tidak mungkin, bukan. Gadis manis ini bekerja di sini, dia terlihat masih remaja. "Maaf, saya tidak tahu," balas Leana canggung. "Tidak apa-apa, Mbak. Kita juga tidak pernah bertemu, karena waktu Mbak menikah saya sedang ujian sekolah." "Kamu kelas berapa?" tanya Leana refleks."Saya baru kelas sebelas, Mbak."