"Ma−mas Elvano ...."
Elvano tersentak, dan langsung melepaskan perempuan yang ada di pelukannya, pria itu melangkah mundur dan menatap datar Leana."Aduh ... maaf, ya. Aku tadi kesandung, untung ada Vano yang langsung nolongin." Perempuan cantik itu tersenyum canggung. "Oh, iya. Kamu Leana, 'kan? Kenalin, aku Zelina sahabat Vano yang paling cantik!"Leana tersenyum kikuk seraya menerima uluran tangan perempuan di hadapannya. "Leana," balasnya singkat."Kemarin pas nikahan kalian aku tidak bisa datang. Maaf, ya. Soalnya masih ada kerjaan di Spanyol."Leana mengangguk, lalu melirik singkat ke arah Elvano yang sedari tadi bungkam. "Mas Elvano, saya mau minta izin ke—""Ke mana?" potong pria itu cepat.Leana seketika dilanda rasa gugup saat melihat respon Elvano. "Ke rumah Ibu, soalnya ponsel saya disimpan sama beliau.""Kenapa harus malam-malam seperti ini? Besok 'kan bisa."Leana gelagapan, apalagi netra hazel nan tajam itu menyorotnya begitu dalam. "Tidak bisa, Mas. Karena saya harus info ke pihak prusahaan mengenai libur dadakan yang saya lakukan.""Pakai ponsel saya yang satunya, ini sudah malam." Elvano tetap kukuh, pria itu benar-benar tidak mau dibantah."Tapi tidak ada nomor, Pak Sagara.""Siapa, Sagara?" selanya cepat. Elvano maju, beringsut mendekat ke arah sang istri. Sedangkan Leana hanya bisa menelan ludah susah payah atas kecerobohannya."Vano, sudah. Masa pengantin baru berantem, mending ke dalam, yuk. Aku sudah lapar." Zelina langsung memegang lengan pria itu, lalu menatap Leana dengan senyuman manis. "Sudah, tidak apa-apa. Nanti Vano aku yang urus, dia kalau capek memang sensian."Leana yang mendengar itu tertegun, apalagi ketika melihat Zelina memegang lengan Elvano. Dan Elvano sama sekali tak menolak akan sentuhan yang Zelina berikan, bukankan pria itu tidak suka disentuh? Tangan Leana saja langsung ditepis ketika hendak mencium punggung tangannya."Baik, pergilah. Tapi pulang besok saja, karena pagar rumah ini ditutup setelah pukul sepuluh malam.” Elvano berujar dingin, membuat Leana tergugu di tempatnya.“Mas—”Elvano melepas tangan Zelina dari lengannya, lalu melenggang santai tanpa menoleh lagi ke arah Leana.“Maaf, ya. Vano memang seperti itu. Tapi sebenarnya dia baik, kok. Semoga kamu bisa menjinakkan singa itu. Semangat!” Zelina tersenyum lebar, lalu dengan cepat mengejar langkah Elvano. Leana hanya terdiam melihat punggung Elvano serta Zelina yang sudah menjauh.Selang tiga puluh menit kemudian, Leana sampai di kediaman orang tuanya. Dia pun langsung disambut hangat oleh sang adik. “Ibu sama Ayah ke mana, Sen?”“Lagi ke rumah, Bu Mega.”“Ibu masih berurusan sama, Bu Mega?” tanya Leana dengan ekspresi tak terbaca.Arsen mengangkat bahu. “Tidak tahu Kak, katanya ada keperluan gitu.”Leana termenung sejenak, lalu mengusap surai lelaki remaja itu. “Arsen, ke kamar gih, langsung tidur, ya. Biar Kakak saja yang nungguin Ibu sama Ayah pulang.”
“Siap, Bos!” seru Arsen seraya mencium kening Leana. Sedangkan perempuan itu terkekeh melihat tingkah sang adik. Setelahnya Leana mengambil duduk pada sofa yang ada di ruang tamu, perempuan itu meregangkan ototnya yang terasa kaku. “Leana, kamu di sini?” Leana menoleh ke sumber suara, dan menemukan Ayah serta Ibunya yang mendekat ke arahnya.Leana tersenyum manis, mencium punggung tangan kedua orang tuanya. “Iya, Bu. Leana baru saja sampai.”“Kenapa kamu ke sini malam-malam! Bagaimana pandangan suami kamu jika kamu bertingkah seperti ini!” Leana tersentak kala ibunya berteriak marah.“Bu, sudah. Tidak enak jika didengar oleh tetangga.”“Mas! Anakmu ini kurang ajar sekali! Seperti perempuan tak berpendidikan keluar malam-malam seperti ini!”Tanpa sadar kristal bening mulai berjatuhan dari sudut matanya. Dada Leana terasa sesak luar biasa kala mendengar ucapan dari mulut sang Ibu.“Pulang sana! Malu Ibu melihat kelakukan kamu!”“Bu, stop. Tidak seharusnya Ibu berbicara seperti itu!” Bagus, selaku ayah dari Leana dengan segera merangkul bahu sang putri. “Kamu sudah makan, Lea?” Leana terisak, lalu menggeleng pelan. “Maafin Leana, kalau begitu Leana pulang saja, Ayah.” “Tidak, jangan dengarkan Ibu kamu. Ini sudah malam Lea, kamu istirahat di sini saja, ya?” Leana terdiam, lalu melirik takut-takut pada sang Ibu. “Inilah akibatanya jika kamu selalu memanjakan dia, Mas!” “Rosita, tolong untuk kali ini jangan memancing keributan.” Wanita paruh baya itu langsung bungkam, mana mungkin dia berani membantah ketika sang suami sudah memanggil namanya. “Kamu ke meja makan dulu, ya, Sayang. Nanti Ayah susul.” Leana mengangguk patuh. Setelah melihat sang putri menjauh, Bagus langsung menatap tajam istrinya. “Bisa kamu kendalikan emosimu? Apakah Kamu tidak sadar, sebesar apa pengorbanan Leana untuk keluarga ini?” Rosita menunduk, sama sekali tak berani membantah. “Tolong, aku mohon dengan sangat. Jangan terlalu keras
Leana termenung dengan air mata yang sudah mengering. Perempuan itu memejamkan mata ketika merasakan kepalanya berdenyut sakit, setelah ibunya mengutarakan tujuannya. Leana hanya sanggup mengiyakan. Padahal tabungannya sudah habis untuk membayar hutang ibunya dan biaya sekolah Arsen. "Di mana aku bisa dapat uang sebanyak itu?" bisiknya pelan. Leana mengambil ponselnya di atas nakas. Setelah dua hari lamanya, akhirnya benda pipih itu kembali ke tangannya. "Ya Tuhan!" Leana menutup mulutnya kala melihat puluhan pesan dari rekan kerjanya, dan yang paling mencolok adalah pesan dari, Sagara──kepala divisinya──dikirim lima jam yang lalu. [ Leana, saya tunggu feedback dari kamu. Jika kamu tidak kunjung masuk kerja, dan menjelaskan semuanya. Maka saya tidak bisa membantu lagi.][ Kemungkinan besar kamu akan dipecat.] Ke esokan harinya, Leana bergegas menuju kantor tempat dia bekerja. Perempuan itu sangat ketakutan sekarang, dia ceroboh dan bodoh. Jika sampai dipecat, mungkin ibunya akan mur
Setelah jam kerjanya selesai, Leana dengan cepat bergegas pulang ke kediaman Elvano. Leana memesan ojek online, karena tidak mungkin dia menggunakan taxi—yang pastinya akan sangat boros. Leana terengah karena berlari dari pagar rumah menuju pintu utama. "Apa memang rumah orang kaya rata-rata luas seperti ini?" gumamnya dengan nafas memburu."Bu Leana, kenapa berlari sampai keringatan? Apakah ada yang berbuat jahat kepada, Ibu?" Mbok Sumi langsung menghampiri Leana dengan tergesa-gesa. Takut jika sang majikan kenapa-napa."Tidak, Mbok." Leana berujar kikuk, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. "Apakah Mama mertua saya sudah datang, Mbok?" Mbok Sumi menggeleng singkat. "Kata Pak Elvano sehabis magrib, sekalian ikut makan malam bersama." Leana seakan ingin menjatuhkan rahangnya, apakah Elvano mengerjainya? "Kalau Mas Elvano sudah pulang tidak?" "Pak Elvano baru saja pulang, mungkin lagi di ruang tengah bersama Mbak Zelina." Leana tertegun, tapi dia dengan cepat mengenyahkan pikira
"Bagaimana ini! Kalau sampai dia nelpon lagi, habislah aku!" Rosita terus mondar-mandir dengan gelisah, wanita itu menggeram dalam hati. Dia akui bahwa dirinya ceroboh meminjam uang pada tiga rentenir sekaligus. Sedangkan suaminya hanya tahu jika dia berhutang pada bu Mega saja, Rosita sangat ketakutan sekarang. Membayangkan kemurkaan sang suami, membuat tubuhnya menggigil seketika."Leana! Ya, anak itu pasti bisa diandalkan dalam sistuasi seperti ini!" Rosita bergegas mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan singkat kepda Leana.[ Leana, sebenarnya hutang Ibu bukan seratus juta, tetapi lima ratus juta. ][ Kalau bisa bantu secepatnya, kamu tidak mau, 'kan jika Ibu sama Ayah dituntut gara-gara tidak bisa melunasi hutang. ]Di sisi lain, Leana mematut kembali penampilannya. Dia terlihat gugup sekarang, pasalanya orang tua Elvano bukanlah orang sembarangan. Walaupun yang berkunjung kali ini hanya mama mertuanya, tetapi Leana terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjad
Leana makan dalam keheningan, dia begitu kasihan pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, Elvano yang cuek dan dingin terlihat acuh tak acuh. Sementara Zelina serta mama mertuanya terus saja bercanda ria. "Vano, mau nambah ikan tidak? Kamu 'kan suka sekali ikan kuah kuning." Zelina bertanya pelan, sedangkan Elvano menggeleng singkat. "Sayangnya Tante ini memang perhatian sekali, andai kamu yang jadi menantu Tante, pasti—" "Ma, bisa kita makan dengan tenang?" sela Elvano lembut, dia menatap mamanya dalam.Leana yang mendengar itu hanya mengerjap pelan, prasaannya semakin tak menentu kala mama mertunya mendelik sinis ke arahnya. "Tentu," balas wanita paruh baya itu, lain halnya dengan Zelina yang langsung memasang raut sedih. "Maaf, Vano. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?" "Tentu tidak, Sayang. Vano memang seperti itu, kamu tahu sendiri dia tidak bisa dengan suasana bising. Santai saja oke, kamu sahabatan dari kecil sama Vano. Mana mungkin dia terganggu oleh kehadiranmu, kecuali
"Sabar! Saya juga sedang mengusahakannya!""Wanita ini! Brani-braninya kamu menaikkan Volume bicaramu pada saya!" Rosita diam tak berkutik, dia lepas kendali karena rentenir itu mengancam akan ke rumahnya. "Maaf, tetapi saya mohon. Jangan datang ke rumah. Di sana ada suami dan anak saya." Wanita itu mendengkus sinis. "Bukankah kamu punya anak yang terkenal? Siapa namanya ... Sasmita, ya? Bagaimana jika dia saja sebagai penebus hutang kamu? Atau adiknya yang manis itu juga bisa, pasti dia bisa menjadi aset yang berharga untuk saya." "Jangan! Tolong jangan! Saya berjanji akan melunasinya secepatnya. Sugguh! Saya tidak berbohong kali ini." Rosita memohon, tubuhnya bergetar ketakutan. Bisa mati dia jika anak-anaknya terlibat, tak terbayangkan kemurkaan yang didapat dari sang suami. "Ya sudah, saya kasih waktu satu minggu, lebih dari itu—anak gadismu yang akan jadi jaminannya." Sedangkan di tempat lain, Leana duduk termenung dengan pandangan kosong ke depan. Setelah mama mertuanya sert
Leana terpaku, netra beningnya mentap Elvano dengan tatapan tak terbaca. Dia butuh diyakinkan beribu kali jika Elvano mengtakan hal yang mustahil seperti itu."Bisa Mas ulangi sekali lagi?""Saya tidak pernah mengulang perkataan yang sama." Leana mengatupkan bibir, lalu kembali membukanya secara perlahan. "Bagaimana jika saya menolak?"Raut Elvano yang awalnya meremehkan menjadi dingin seketika. Pria itu bahkan menatap Leana tajam. "Itu berarti kamu tidak akan pernah mendapatkan apa yang kamu mau." Leana terdiam, dia menatap Elvano dengan pandangan lurus. "Saya menolak, karena saya ingin melakukan semuanya atas dasar cinta, sedangkan kita? Tak lebih dari dua orang asing yang terjebak dalam ikatan sebuah pernikahan." Bukankah Leana begitu lancang? Dan darimana keberanian itu berasal?Ego Elvano terluka, apakah dia baru saja ditolak mentah-mentah? Wajah Elvano mengeras, dia menatap dingin perempuan di hadapannya. "Saya tidak tahu jika kamu adalah perempuan berprinsip, tapi tidak apa-a
"Ibu tidak mau tahu, Leana! Mana bisa Ibu menunggu satu bulan lebih, bukankah suami kamu kaya raya? Mintalah padanya." "Ibu, tolong jangan seperti ini. Ak-aku sama sekali tidak enak meminta kepada Mas Elvano." Leana mengigit bibir bawah gugup, mana mungkin dia meminta lagi pada Elvano. Sedangkan syarat dari pria itu dia tolak mentah-mentah."Lantas bagaimana? Kamu mau mereka mengusir Ibu dan Ayah serta adikmu?"Suara Rostia terdengar menuntut dari seberang sana, wanita itu memang sangat pemaksa jika menginginkan sesuatu.Sementara Leana membeku di tempatnya, perempuan itu menelan ludah susah payah. Pekerjaannya masih menumpuk, tetapi semuanya teralihkan karena telepon dari sang ibu. Untung jarak mejanya dari rekan kerjanya yang lain cukup renggang. Jadi, tak ada yang mendengar pembicaraanya. "Kamu dengar Ibu, tidak?!"Rosita kembali berseru, menyadarkan Leana dari lamunannya."Bu—" "Tolong, Ibu meminta untuk kali ini saja." "Ba-baik, akan aku usahakan." Pada akhirnya Leana mengiya