“Selamat pagi, Dokter Elvano." Elvano yang mendapat sapaan itu hanya mengangguk kecil seraya terus melangkah menuju ruangannya. Elvano tampak sekali sedang menahan kantuk, mengingat dia baru selesai mengoperasi pasien gagal jantung hingga pukul enam pagi.
"Dokter Elvano memang tiada duanya ya, beruntung sekali perempuan yang akan mendampinginya nanti," celetuk salah satu perawat setelah melihat Elvano menjauh.
"Bukannya dia sudah mempunyai tunangan? Kalau tidak salah namanya Sasmita Alera, itu lho ... desainer muda yang cantiknya tiada tara itu," timpal perawat yang ber−name tag, Sita.
"Hus! Gosip saja kalian pagi-pagi. Nanti kalau didengar sama Dokter Elvano bisa gawat. Ayo kembali bekerja!"
Di sisi lain, Elvano sudah sampai di ruangannya. Pria itu hanya melirik singkat ke arah perempuan yang sedang duduk di kursi kerjanya.
"Van, aku sudah nunggu kamu dari tadi. Ternyata baru balik, ya? Gimana operasinya, lancar?"
"Lancar, kamu bisa menunggu di ruang tamu. Jangan langsung masuk ke ruangan saya."
Bukannya tersinggung, justru perempuan itu tertawa lembut sembari melangkah menuju Elvano.
"Formal sekali Dokter Elvano ini, kita sahabatan dari orok lho. Coba dong ubah gaya bicara kamu," pinta perempuan cantik itu manja, lalu memegang lengan Elvano—ditambah kerlingan mata menggoda.
"Zelina," tegur Elvano dengan nada dingin, satu hal yang perlu dicatat, jika Elvano tidak suka disentuh.
"Oke, oke. Aku hanya becanda. Sarapan yuk, aku sudah panggil Zion juga. Ada resto baru di dekat sini, kata temen aku sih, enak!" ajak Zelina sambil melepas tautan tangannya dari lengan pria tampan di hadapannya itu.
"Tidak, saya butuh istirahat."
Zelina mencebikkan bibir mungilnya, perempuan cantik itu terlihat sekali sedang menahan kesal pada Elvano. "Kamu, ish! Masa cuma aku sama Zion saja, tidak asik tahu!"
"Kamu bisa keluar, saya mau istirahat dulu."
"Vano! Padahal aku masih kangen sama kamu. Memang kamu tidak kangen sama sahabat cantikmu ini?" tanya Zelina dengan nada menuntut.
Elvano menghembuskan napas lelah. "Zelina, kita ngobrol nanti, ya. Saya benar-benar butuh istirahat."
Zelina yang sudah terbiasa dengan sifat Elvano hanya mendengkus kesal. "Oke! Tapi nanti aku main ke rumah kamu, ya? Aku kangen sama sop buah buatan, Mbok Sumi."
"Hm."
"Yes! Sudah lama sekali tidak makan itu lagi. Nanti kita—" Perkataan Zelina terhenti kala melihat Elvano yang sudah melangkah ke arah sofa di pojok ruangan. "Kalau begitu aku keluar duluan, ya. Babay Dokter Elvano!" serunya sembari memasang senyuman lebar.
"Elvano memang selalu menarik," gumam perempuan itu sembari berlalu pergi.
Sedangkan di sisi lain, Leana selalu melihat jam dinding yang ada di ruang tamu—sudah pukul sembilan malam, dan Elvano belum juga kembali. "Apa aku minta nomernya di Mbok Sumi saja?" Monolog perempuan itu dengan kening berkerut. "Astaga! Tapi ponselku masih di rumah Ibu!" Leana menepuk keningnya. Sedetik kemudian perempuan itu membelalak kala mengingat jika dia belum memberitahukan pihak perusahaan mengenai libur dadakan yang dilakukan.
"Ya Tuhan ... Pak Sagara pasti mengamuk!"
Saking paniknya, Leana sampai tersandung karena ingin cepat-cepat sampai ke kamarnya. Dia memutuskan akan menuju rumah ibunya sekarang juga, bisa gawat urusannya jika Leana menghilang tanpa kabar. Saat ini dia hanya bisa berdoa semoga Sagara tak memecatnya.
Setelah mengambil tas beserta dompetnya, Leana pun dengan cepat menuju pintu utama. Akan tetapi, tubuhnya seketika mematung kala pintu utama terbuka, dengan jelas dia melihat Elvano yang sedang berpelukan bersama seorang perempuan .
"Ma–mas Elvano ...." Lirih Leana dengan napas tercekat.
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S