“Bu, stop. Tidak seharusnya Ibu berbicara seperti itu!” Bagus, selaku ayah dari Leana dengan segera merangkul bahu sang putri. “Kamu sudah makan, Lea?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Leana terisak, lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, kalau begitu aku pulang saja, Ayah.”
“Tidak, jangan dengarkan Ibu kamu. Ini sudah malam Lea, kamu istirahat di sini saja, ya?” Leana terdiam, lalu melirik takut-takut pada sang Ibu.
“Inilah akibatnya jika kamu selalu memanjakan dia, Mas!”
“Rosita, tolong untuk kali ini jangan memancing keributan.” Wanita paruh baya itu langsung bungkam, mana mungkin dia berani membantah ketika sang suami sudah memanggil namanya. “Kamu ke meja makan dulu, ya, Sayang. Nanti Ayah susul.”
Leana mengangguk patuh. Setelah melihat putrinya menjauh, Bagus langsung menatap tajam istrinya.
“Bisa kamu kendalikan emosimu? Apakah Kamu tidak sadar, sebesar apa pengorbanan Leana untuk keluarga ini?” Rosita menunduk, sama sekali tak berani membantah. “Tolong, aku mohon dengan sangat. Jangan terlalu keras pada Leana, kamu seharusnya bisa merangkulnya. Dengan umur yang masih muda dan menjalankan sebuah bahtera rumah tangga, dia mungkin sangat kesulitan,” ujar Bagus seraya menghela napas lelah.
Leana baru menginjak usia dua puluh dua tahun, tapi dia sudah menanggung beban sebesar ini.
"Tapi, Mas—"
"Tidak ada bantahan, jangan lupakan jika Leana adalah darah daging kita. Aku tidak mau kamu bersikap seperti ini lagi terhadapnya." Setelah itu Bagus bergegas menyusul sang putri, meninggalkan Rosita yang sedang menahan geram.
“Anak itu, selalu saja membuat onar. Berbeda sekali dengan Sasmita!” cemooh Rosita ketika melihat punggung sang suami yang sudah menjauh.
Sementara itu, Elvano hanya melirik singkat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Setelah Zelina pamit pulang, dia memang hanya duduk terdiam di ruang tamu.
“Permisi Pak, ini kopinya.” Mbok Sumi meletakkan kopi yang masih mengepul itu di atas meja. Saat hendak berbalik, Elvano tiba-tiba memanggilnya.
"Mbok Sumi, jika perempuan itu tak kunjung pulang sampai pukul sebelas, kunci saja semua pintunya."
Aneh memang, bukankah Elvano sendiri yang menyuruh Leana untuk pulang esok hari?
Mendengar itu, Mbok Sumi hanya terdiam. Bingung hendak menjawab seperti apa.
"Mbok Sumi, dengar, 'kan?"
"Baik Pak, sebenarnya yang memasak semua hidangan malam ini, Bu Leana. Saya beserta yang lain hanya menyiapkan bumbu saja, dan beliau juga terus menunggu Pak Elvano pulang untuk makan malam bersama." Mbok Sumi menjelaskan tanpa diminta.
Elvano tertegun sejenak, lalu dengan cepat menormalkan ekspresi wajahnya. “Terima kasih atas kopinya," timpal Elvano mengalihkan pembicaraan, Mbok Sumi yang mengerti langsung pamit undur diri.
“Begitu ya, Leana Pramita. Mari kita lihat, apakah kamu sama liciknya dengan perempuan itu.” Elvano menaikkan sudut bibirnya, menambah tingkat ketampanannya berkali-kali lipat.
Berbeda halnya dengan Leana yang sedari tadi gelisah, dia memikirkan kembali nasihat ibunya. Apakah dia salah telah meninggalkan Elvano dengan perempuan lain? Namun, di rumahnya ada banyak sekali asisten rumah tangga, tak mungkin jika Elvano berbuat hal yang tidak-tidak, bukan?
"Kamu dengar Ibu, Leana?"
Leana tersentak. Namun, tak urung mengangguk cepat. Setelah makan malam, ibunya memang langsung menghampirinya ke kamar. Menceramahinya dengan berbagai petuah, agar menjadi istri yang baik dan taat kepada suami. Leana terharu, itu berarti ibunya sangat peduli terhadapnya.
"Ibu." Leana memanggil ragu-ragu, dia sedikit sungkan. Takut ibunya tersinggung. Sementara Rosita hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai respon."Apakah Ibu berhutang lagi sama, Bu Mega?"
Pertanyaan bernada pelan itu menyentak Rosita, dia berdeham singkat seraya mengangguk malas. "Iya, lantas mau bagaimana lagi? Tujuan Ibu menemuimu ke sini untuk meminta uang."
Perkataan itu membuat ulu hati Leana terasa tercubit, perasaan meletup-letup yang dia rasakan karena secuil perhatian dari ibunya lenyap tak tersisa.
Waktu terus berjalan, terhitung sudah dua bulan pencarian Aditya maupun Azura. Dan tidak ada tanda-tanda mereka ditemukan. Semua cara sudah Elvano serta Alvaro lakukan, tapi nihil. Bahkan keluarga besar mereka meminta untuk mengikhlaskan. Sedangkan untuk, Risa. Perempuan itu sudah dinyatakan meninggal, walau jasadnya tak kunjung ditemukan karena kondisi mobil yang sudah rusak parah serta terbakar. Elvano menghembuskan nafas lelah, dia masih mengingat wajah sendu papanya ketika melihat potret sang paman sewaktu masa sekolah. Elvano tahu, semarah-marahnya papanya, tetap saja rasa sayang sebagai saudara sangatlah kuat. Apalagi Aditya adalah adik semata wayang dari seorang Alvaro Mahendra. Akan tetapi, apa mau dikata. Mungkin ini adalah garis takdir yang harus mereka lalui. Dan mereka semua harus menerimanya dengan berlapang dada. “Harusnya malam itu aku tidak memukul, Om Aditya.”Leana menatap sendu Elvano yang sedari tadi menatap kosong ke arah depan. Jika boleh jujur, Leana juga mer
Andai waktu bisa diputar kembali, Alvaro tetap kukuh ikut bersama Elvano dan Aditya. Namun, semua sudah terjadi. Tak ada yang bisa disalahkan, yang paling membuat dada Alvaro sesak adalah malam itu terakhir kalinya ia bertemu sang adik. Sebelum kejadian tragis itu terjadi. Ya, benar. Kapal tempat Azura disekap itu meledak dan terbakar hebat. Alvaro ingat betul saat Elvano menelponnya dengan nada bergetar, ketika dia sudah sampai di lokasi yang disebutkan oleh sang putra. Masyarakat terlihat berkumpul melihat kobaran api yang begitu besar di tengah lautan. Sementara Elvano terduduk dengan pandangan kosong sambil memangku Leana yang terkulai lemas di depan pintu gudang. “Apa yang terjadi, Vano?” Alvaro bertanya heran, pasalnya Elvano belum juga menyadari kehadirannya, dan mengapa pria itu tak kunjung membawa Leana ke rumah sakit?Alvaro yang tak sabaran menginstruksikan pada Tama, sang sekretaris untuk bertanya pada anak buah Elvano yang terlihat menunduk di belakang pria itu dengan
“Ck, pergi kalian semua!” Risa berseru dari ambang pintu, mengapa anak buahnya begitu bodoh? Padahal dia hanya menyuruh untuk melihat kondisi Leana yang tak diberi makan sedari kemarin, tapi lihatlah kelakuan mereka semua. Malah menggoda Leana dengan rayuan kotor. Bukan begini rencana, Risa. Tapi anak buahnya yang tak punya otak itu justru melakukan sebaliknya. “Cepat! Apa yang kalian tunggu!” Emosi juga lama-lama, padahal baru saja dia dari lantai atas untuk melihat Azura yang terus menangis, jika tak diancam mungkin gadis kecil itu akan semakin menangis histeris. “Ma-maaf, Bos. Bukankah kamu bilang jika eksekusi saja perempuan ini?” Pria berkepala plontos yang sedari tadi paling mengincar Leana seketika melayangkan protes—walau dalam hati cukup ketar-ketir akan respon, Risa.Risa menggeram kesal, lalu menampar satu-satu pria di hadapannya. “Punya otak dipakai! Cepat keluar, dan segera pindahkan Azura ke tempat yang sudah saya siapkan! Jika Aditya sudah masuk ke dalam kapal itu, lan
Aditya meremas ponselnya, pria itu terlihat meragu untuk sesaat. Memejamkan mata pelan sembari melafalkan dalam hati jika semuanya baik-baik saja. Aditya kembali melihat kontak yang tertera pada layar benda pipih berbentuk persegi panjang itu.Tangan pria itu tanpa sadar bergetar ketika menekan nomor telepon yang akan dituju. Dan pada akhirnya tersambung, masih belum ada tanda-tanda jika objek yang dituju akan mengangkatnya. Pada deringan kelima, barulah terdengar suara serak yang memenuhi gendang telinga. Aditya berdebar dengan bibir kelu, sudah lama dia tak berbicara dengan saudara satu-satunya itu. “Halo, jika tidak berbicara juga, saya tutup, sepertinya Anda salah sambung.” Aditya menggigit bibir gugup, lidahnya terasa kelu saat akan membuka suara. “Baiklah, saya matikan jika—”“Mas … Al-alva …,” potong pria itu susah payah, dia mengepalkan tangan dengan jantung bergemuruh hebat ketika tak mendapatkan respon apapun dari seberang sana. Selama beberapa saat terjadi keheningan,
“LEANA!!” Elvano terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Syukurlah, Papa sangat khawatir sama kamu.”Elvano yang belum tersadar apa yang terjadi hanya menatap bingung Alvaro serta Tama, wajah mereka terlihat begitu khawatir ketika menatap ke arahnya. Elvano meringis, memegang pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Setelah mengingat apa yang terjadi, dia semakin panik dan langsung melompat turun dari atas Kasur.Namun, dikarenakan kondisi tubuhnya yang masih lemah, pria itu terjatuh. Dengan kepala yang semakin berdentum hebat.“Apa yang kamu lakukan!” seru Alvaro ketika melihat tingkah sang putra. “Kamu ini baru saja siuman dari pingsan. Jangan berbuat ulah!” Alvaro membantu Elvano untuk kembali berbaring. Tidakkah Elvano tahu jika Alvaro begitu khawatir? Apalagi saat anak buah Elvano memberitahukan bahwa sang putra jatuh pingsan ketika mencari keberadaaan Leana serta Azura.Elvano terkena panic attack, yang terjadi akibat kecemasan secara berlebihan. A
Risa tersenyum keji, dia sangat menikmati wajah pucat pasi dari perempuan di hadapannya saat ini. “Jika aku menyedihkan, maka kamu jauh lebih menyedihkan,” ucapnya seraya bersiap-siap menekan dalam pisau yang ada di tangannya.Leana melonglong kesakitan ketika benda tajam itu menekan perutnya begitu dalam, dia tak pernah merasakan kesakitan yang begitu nyata seperti ini. Semua ini terlalu sakit, dan Leana tahu jika dia tak akan bisa selamat kali ini. Di tengah rasa sakit yang mulai mengambil alih kesadarannya, Leana mengingat wajah kedua putra putrinya. Semua kenangan mereka bak film yang sedang diputar, canda dan tawa Nathan serta Nala terus berputar dalam ingatannya. Apakah jika dia sudah tiada anak-anaknya akan terus bahagia? Dan jika nanti ada yang menggantikan perannya─apa perempuan itu akan memperlakukan putra putrinya sama seperti dirinya? Leana mulai terisak hebat, ternyata rasa sakit akibat tikaman Risa gak ada apa-apanya dibandingkan berpisah dengan anak-anaknya. “Akh! S