Share

Part 7 Siap Berperang 1

(Bukan) Istri Pilihan

- Siap Berperang

"Mas," panggilku kaget karena Mas Yoshi tiba-tiba sudah berdiri di sana. Lelaki itu kemudian duduk di kursi depanku.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

Aku mengambil piring dan menaruh tiga cup cake untuk kuberikan pada suamiku. Namun dia tidak menyentuhnya.

"Kita tunda saja."

"Apa alasannya? Kenapa nggak kita bicarakan sejak kemarin?"

"Apa Mas punya waktu kemarin itu?" tanyaku serius. Aku sudah siap berperang kali ini.

"Maaf, kalau mas sibuk ngurusi Ayun sakit. Mungkin buatmu ini salah."

"Nggak apa-apa. Siapa yang bilang ini salah. Aku pun diam saja nggak pernah protes. Mas, ingin menjadi papa yang baik meski nggak tinggal serumah dengan Ayun."

"Mas banyak pekerjaan, banyak pikiran, karena ada kasus besar yang sedang kami tangani. Mas minta maaf kalau kurang perhatian akhir-akhir ini."

Aku mengangguk. Aku harus selalu mengerti. Dia bilang banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran, tapi waktu untuk mereka selalu ada.

Dia memang tidak peka dengan situasi yang rumit ini. Aku memang menikah dengan duda dan aku harus berdamai dan menerima masa lalunya. Tapi kalau sudah seperti ini, apa aku harus terus mengalah. Apa perasaanku tak penting?

"Aku minta maaf kalau menyusahkanmu, Mas. Sementara nggak usah dilanjutkan lagi promil ini. Toh, Mas juga sudah ada Ayunda, kan? Maaf." Selesai bicara aku kembali ke dapur untuk mengangkat cup cake dari oven.

Saking semrawutnya pikiran, sampai jariku menyentuh loyang panas. Spontan aku memekik.

"Kenapa?" Mas Yoshi bangkit dan mendekat.

"Nggak apa-apa." Kubiarkan tanganku yang kepanasan. Aku sibuk memindahkan cup cake ke loyang bersih. Tak ada niat untuk mengirimi Ayunda cake buatanku ini. Empat tahun pemberianku selalu di tolak. Jadi tak perlu lagi aku melakukannya, meski hanya sekedar basa-basi. Cukup sudah aku merendah selama ini.

"Mana yang sakit?" Dia mengejar sambil memperhatikan tanganku.

"Nggak ada. Kembalilah ke kantor, katanya Mas sibuk. Maaf, karena aku menyusahkanmu."

Mas Yoshi diam. Lalu mengambil salah satu kotak yang tadi kupersiapkan untuk mengirimi mama dan ibu cup cake. Dia mengambil beberapa untuk di masukkan ke kotak. "Mas bawa beberapa untuk ke kantor."

Aku mengangguk dan membantunya menyusun cake itu. Setelah menciumku, dia pamitan. Aku memperhatikan punggung kokoh itu hingga hilang di balik tembok ruang dalam.

Kenapa aku mencintainya sedalam ini? Perasaan yang membuatku selalu diam meski banyak hal yang mengecewakan.

Bohong kalau aku tidak menginginkan anak. Aku sangat suka anak-anak. Aku ingin seperti Mbak Lidia dan Mbak Sinta yang memiliki bayi-bayi lucu. Namun pikiran yang tidak tenang dan stres, apa mungkin bisa menghadirkan bayi itu tumbuh di rahimku.

Mas Yoshi sepertinya hanya ingin menuruti keinginanku saja, bukan karena dia juga menghendakinya. Apa yang kami lakukan seminggu minimal tiga kali, hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Jadi anak syukur, tidak juga tak masalah.

Sampai sore aku berkutat di dapur. Istirahat sebentar untuk makan dan salat zhuhur saja. Kiriman untuk mama sudah aku kirimkan lewat jasa ojek online. Sekarang tinggal menyusun cake buat ibu.

Suara bel di depan membuatku mengangkat wajah. Itu pasti Mas Fauzi. Ku-lap tangan pada apron yang kupakai. Kemudian tergesa membuka pintu.

Seorang laki-laki tampan tersenyum ramah. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Masih jam tiga, Mas Fauzi sudah pulang kerja?" tanyaku kemudian mempersilakan dia masuk dan langsung mengikutiku ke dapur.

"Sudah. Kebetulan aku ada jadwal di lapangan. Bertemu customer."

"Ada projek apa, Mas?"

"Ruko."

"Oh, semoga sukses."

"Aamiin," jawab kakak tiri yang berprofesi sebagai arsitek ini.

Mas Fauzi memberikan kotak makanan padaku. "Banyak banget, Mas."

"Iya. Nanti bisa kamu angetin lagi."

"Hu um."

"Mas Yoshi belum pulang."

"Mungkin pulang malam hari ini. Oh ya, Mas Fauzi mau kubikinin kopi apa teh."

"Nggak usah, Nas. Aku baru ngopi tadi." Lelaki itu memperhatikan dapurku yang berantakan.

Aku mengambilkan cake di piring dan segelas air minum. Dia langsung mencomotnya.

"Enak banget, Nas. Kamu pinter masak dan bikin kue. Kenapa nggak kamu kembangin bakat itu? Masuklah kursus memasak. Aku punya teman pemilik kursus Cila Culinary Education."

"Oh ya? Jadi pemilik tempat kursus itu kenal sama Mas Fauzi?" tanyaku berbinar. Itu tempat kursus ternama di Surabaya. Yang sudah melahirkan banyak koki profesional.

"Aku kenal sama anak dari owner-nya. Yang sekarang meneruskan usaha ibunya itu. Di sana langsung dilatih oleh koki profesional yang sangat berpengalaman dalam bidang kuliner, Nas."

Aku manggut-manggut. Seolah ada sinar harapan baru. Lebih baik aku mengisi waktu untuk kursus. Jadi aku punya kesibukan yang tidak hanya duduk diam di rumah saja.

"Aku bisa bantu kamu bertemu sama owner-nya. Tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Mas Yoshi memberikan izin."

"Hu um." Aku yakin Mas Yoshi tidak akan keberatan. Daripada istrinya duduk diam dan bengong di rumah, bukankah lebih baik ada kegiatan.

"Kalau suamimu sudah ngizinin, aku akan mengantarmu bertemu pemiliknya. Sabtu-Minggu nggak apa-apa. Orangnya enak diajak ngobrol dan sangat fleksibel."

"Iya, nanti kukabari," jawabku lantas segera menyusun kue di kotak.

"Hati-hati bawanya, Mas. Nanti kalau tumplek udah nggak berbentuk lagi cup cake ini."

Lelaki di depanku mengangguk mendengar ucapanku.

"Rumah Mas Fauzi udah jadi?"

"Sudah. Kamu nggak mau melihatnya?"

"Aku akan ke sana saat open house."

"Masih lama kalau nunggu open house."

"Loh, memangnya nggak ditempati sekarang? Atau nunggu ada Nyonya Fauzi dulu."

Lelaki itu tersenyum saja. Dia memang agak tertutup kalau soal asmara. Belum menikah, tapi sekarang sudah membeli sebuah perumahan, meski dicicil per bulan. Mas Fauzi lelaki pekerja keras, sabar, dan baik seperti ibunya.

Semenjak kecil dia sudah yatim. Hidup terlunta-lunta dengan ibunya. Pindah dari kosan satu ke kosan lainnya. Hingga suatu hari papa melihatnya menjual kue di lampu merah. Kemudian memborong dagangannya dan mengantarkan pulang.

Waktu itu Mas Fauzi masih berumur sembilan tahun. Papa membiayai pendidikannya agar anak itu jangan sampai putus sekolah. Juga membantu Bu Eri membuka warung kecil-kecilan.

Sembilan tahun antara papa dan Bu Eri hanya berhubungan sebatas orang tua asuh dan orang tua kandung bagi Mas Fauzi. Namun entah bagaimana ceritanya, akhirnya mereka menikah. Mungkin lama kelamaan saling jatuh cinta. Papa yang kesepian karena mama sibuk dengan perusahaan dan sering sekali ke luar kota dan ke luar negeri. Juga karena mama yang diktator, membuat papa berbagi hati.

Jujur saja, kala itu aku pun ikut sakit hati dan sempat marah pada papa. Aku yang sudah berumur lima belas tahun bisa merasakan bagaimana hancurnya hati mama. Walaupun beliau sangat membenciku, mungkin.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
lanjut dong Thor ...
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
setuju sama Fauzi. kalo aja Natasya bisa buka usaha sendiri. jangan terlalu bergantung sama suami. kita gk tahu gimana jalan hidup ke depannya..
goodnovel comment avatar
Yanyan
iya tu .. bener kata mas Fauzi mending kursus yg sesuai ahlimu nat .semoga bisa mmbuka usaha sendiri biar gak kesepian ..bolehlah nanti kutemenin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status