Home / Rumah Tangga / (Bukan) Istri Pilihan / Part 7 Siap Berperang 1

Share

Part 7 Siap Berperang 1

last update Last Updated: 2023-12-22 14:44:38

(Bukan) Istri Pilihan

- Siap Berperang

"Mas," panggilku kaget karena Mas Yoshi tiba-tiba sudah berdiri di sana. Lelaki itu kemudian duduk di kursi depanku.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran?"

Aku mengambil piring dan menaruh tiga cup cake untuk kuberikan pada suamiku. Namun dia tidak menyentuhnya.

"Kita tunda saja."

"Apa alasannya? Kenapa nggak kita bicarakan sejak kemarin?"

"Apa Mas punya waktu kemarin itu?" tanyaku serius. Aku sudah siap berperang kali ini.

"Maaf, kalau mas sibuk ngurusi Ayun sakit. Mungkin buatmu ini salah."

"Nggak apa-apa. Siapa yang bilang ini salah. Aku pun diam saja nggak pernah protes. Mas, ingin menjadi papa yang baik meski nggak tinggal serumah dengan Ayun."

"Mas banyak pekerjaan, banyak pikiran, karena ada kasus besar yang sedang kami tangani. Mas minta maaf kalau kurang perhatian akhir-akhir ini."

Aku mengangguk. Aku harus selalu mengerti. Dia bilang banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikiran, tapi waktu untuk mereka selalu ada.

Dia memang tidak peka dengan situasi yang rumit ini. Aku memang menikah dengan duda dan aku harus berdamai dan menerima masa lalunya. Tapi kalau sudah seperti ini, apa aku harus terus mengalah. Apa perasaanku tak penting?

"Aku minta maaf kalau menyusahkanmu, Mas. Sementara nggak usah dilanjutkan lagi promil ini. Toh, Mas juga sudah ada Ayunda, kan? Maaf." Selesai bicara aku kembali ke dapur untuk mengangkat cup cake dari oven.

Saking semrawutnya pikiran, sampai jariku menyentuh loyang panas. Spontan aku memekik.

"Kenapa?" Mas Yoshi bangkit dan mendekat.

"Nggak apa-apa." Kubiarkan tanganku yang kepanasan. Aku sibuk memindahkan cup cake ke loyang bersih. Tak ada niat untuk mengirimi Ayunda cake buatanku ini. Empat tahun pemberianku selalu di tolak. Jadi tak perlu lagi aku melakukannya, meski hanya sekedar basa-basi. Cukup sudah aku merendah selama ini.

"Mana yang sakit?" Dia mengejar sambil memperhatikan tanganku.

"Nggak ada. Kembalilah ke kantor, katanya Mas sibuk. Maaf, karena aku menyusahkanmu."

Mas Yoshi diam. Lalu mengambil salah satu kotak yang tadi kupersiapkan untuk mengirimi mama dan ibu cup cake. Dia mengambil beberapa untuk di masukkan ke kotak. "Mas bawa beberapa untuk ke kantor."

Aku mengangguk dan membantunya menyusun cake itu. Setelah menciumku, dia pamitan. Aku memperhatikan punggung kokoh itu hingga hilang di balik tembok ruang dalam.

Kenapa aku mencintainya sedalam ini? Perasaan yang membuatku selalu diam meski banyak hal yang mengecewakan.

Bohong kalau aku tidak menginginkan anak. Aku sangat suka anak-anak. Aku ingin seperti Mbak Lidia dan Mbak Sinta yang memiliki bayi-bayi lucu. Namun pikiran yang tidak tenang dan stres, apa mungkin bisa menghadirkan bayi itu tumbuh di rahimku.

Mas Yoshi sepertinya hanya ingin menuruti keinginanku saja, bukan karena dia juga menghendakinya. Apa yang kami lakukan seminggu minimal tiga kali, hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja. Jadi anak syukur, tidak juga tak masalah.

Sampai sore aku berkutat di dapur. Istirahat sebentar untuk makan dan salat zhuhur saja. Kiriman untuk mama sudah aku kirimkan lewat jasa ojek online. Sekarang tinggal menyusun cake buat ibu.

Suara bel di depan membuatku mengangkat wajah. Itu pasti Mas Fauzi. Ku-lap tangan pada apron yang kupakai. Kemudian tergesa membuka pintu.

Seorang laki-laki tampan tersenyum ramah. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Masih jam tiga, Mas Fauzi sudah pulang kerja?" tanyaku kemudian mempersilakan dia masuk dan langsung mengikutiku ke dapur.

"Sudah. Kebetulan aku ada jadwal di lapangan. Bertemu customer."

"Ada projek apa, Mas?"

"Ruko."

"Oh, semoga sukses."

"Aamiin," jawab kakak tiri yang berprofesi sebagai arsitek ini.

Mas Fauzi memberikan kotak makanan padaku. "Banyak banget, Mas."

"Iya. Nanti bisa kamu angetin lagi."

"Hu um."

"Mas Yoshi belum pulang."

"Mungkin pulang malam hari ini. Oh ya, Mas Fauzi mau kubikinin kopi apa teh."

"Nggak usah, Nas. Aku baru ngopi tadi." Lelaki itu memperhatikan dapurku yang berantakan.

Aku mengambilkan cake di piring dan segelas air minum. Dia langsung mencomotnya.

"Enak banget, Nas. Kamu pinter masak dan bikin kue. Kenapa nggak kamu kembangin bakat itu? Masuklah kursus memasak. Aku punya teman pemilik kursus Cila Culinary Education."

"Oh ya? Jadi pemilik tempat kursus itu kenal sama Mas Fauzi?" tanyaku berbinar. Itu tempat kursus ternama di Surabaya. Yang sudah melahirkan banyak koki profesional.

"Aku kenal sama anak dari owner-nya. Yang sekarang meneruskan usaha ibunya itu. Di sana langsung dilatih oleh koki profesional yang sangat berpengalaman dalam bidang kuliner, Nas."

Aku manggut-manggut. Seolah ada sinar harapan baru. Lebih baik aku mengisi waktu untuk kursus. Jadi aku punya kesibukan yang tidak hanya duduk diam di rumah saja.

"Aku bisa bantu kamu bertemu sama owner-nya. Tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Mas Yoshi memberikan izin."

"Hu um." Aku yakin Mas Yoshi tidak akan keberatan. Daripada istrinya duduk diam dan bengong di rumah, bukankah lebih baik ada kegiatan.

"Kalau suamimu sudah ngizinin, aku akan mengantarmu bertemu pemiliknya. Sabtu-Minggu nggak apa-apa. Orangnya enak diajak ngobrol dan sangat fleksibel."

"Iya, nanti kukabari," jawabku lantas segera menyusun kue di kotak.

"Hati-hati bawanya, Mas. Nanti kalau tumplek udah nggak berbentuk lagi cup cake ini."

Lelaki di depanku mengangguk mendengar ucapanku.

"Rumah Mas Fauzi udah jadi?"

"Sudah. Kamu nggak mau melihatnya?"

"Aku akan ke sana saat open house."

"Masih lama kalau nunggu open house."

"Loh, memangnya nggak ditempati sekarang? Atau nunggu ada Nyonya Fauzi dulu."

Lelaki itu tersenyum saja. Dia memang agak tertutup kalau soal asmara. Belum menikah, tapi sekarang sudah membeli sebuah perumahan, meski dicicil per bulan. Mas Fauzi lelaki pekerja keras, sabar, dan baik seperti ibunya.

Semenjak kecil dia sudah yatim. Hidup terlunta-lunta dengan ibunya. Pindah dari kosan satu ke kosan lainnya. Hingga suatu hari papa melihatnya menjual kue di lampu merah. Kemudian memborong dagangannya dan mengantarkan pulang.

Waktu itu Mas Fauzi masih berumur sembilan tahun. Papa membiayai pendidikannya agar anak itu jangan sampai putus sekolah. Juga membantu Bu Eri membuka warung kecil-kecilan.

Sembilan tahun antara papa dan Bu Eri hanya berhubungan sebatas orang tua asuh dan orang tua kandung bagi Mas Fauzi. Namun entah bagaimana ceritanya, akhirnya mereka menikah. Mungkin lama kelamaan saling jatuh cinta. Papa yang kesepian karena mama sibuk dengan perusahaan dan sering sekali ke luar kota dan ke luar negeri. Juga karena mama yang diktator, membuat papa berbagi hati.

Jujur saja, kala itu aku pun ikut sakit hati dan sempat marah pada papa. Aku yang sudah berumur lima belas tahun bisa merasakan bagaimana hancurnya hati mama. Walaupun beliau sangat membenciku, mungkin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Semoga sukses Nastasya
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
lanjut dong Thor ...
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
setuju sama Fauzi. kalo aja Natasya bisa buka usaha sendiri. jangan terlalu bergantung sama suami. kita gk tahu gimana jalan hidup ke depannya..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 146 Cinta yang Indah 2

    Baru tiga menit memejam, pintu kamar perlahan terbuka. Lidia muncul dari sana. Agung kembali duduk."Kutelepon nggak kamu angkat tadi," ujar Agung. "Aku lagi meeting, Mas. Selesai meeting kutelepon nomer Mas nggak aktif. Aku telepon rumah, katanya Mas sudah pulang." Lidia menjelaskan seraya melepaskan blazer yang dipakainya."Ponselku kehabisan baterai tadi."Agung menarik lengan istrinya supaya duduk di dekatnya. "Aku mau mandi dulu, Mas. Terus nyiapin pakaian. Setelah Lili pulang ngaji kita langsung berangkat, kan?""Iya. Kalau gitu kita mandi bareng.""Jangan. Biasanya Lili nyelonong masuk setelah pulang ngaji. Mas, duluan saja yang mandi. Biar aku nyiapin pakaian." Lidia membuka lemari. "Aku sudah bilang ke mbak yang nganterin Lili ngaji. Kita akan ngajak dia staycation sore ini," kata Agung sambil melepaskan kancing kemeja."Kenapa ngajak si mbak, Mas?""Aku sudah booking dua kamar. Tidak mungkin kita biarkan Lili tidur sendirian, kan?"Lidia diam sejenak. "Mas, memang nggak

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 145 Cinta yang Indah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Cinta yang Indah Author's POVMobil Agung langsung masuk ke dalam carport rumahnya. Hujan masih deras mengguyur malam. Mereka turun. Agung membuka pintu samping yang terus terhubung dari area carport ke ruang keluarga.Masuk ke dalam suasana rumah sepi. Ruang tamu hanya ada lampu malam yang menyala. Setelah mengunci pintu, ia menggandeng tangan istrinya menaiki tangga. "Mbak ART ke mana, Mas?" tanya Lidia sambil melangkah di samping suaminya."Aku suruh pulang sore tadi. Selama tiga hari dia nggak akan ke sini. Kita habiskan waktu tiga hari hanya berdua saja," jawab Agung sambil memandang sang istri. Tatapannya begitu jahil dan menyiratkan rencana besar dalam benaknya.Lidia bisa menangkap apa yang akan terjadi tiga hari ke depan. Siap-siap saja kalau ia akan dibuat tak berdaya oleh Agung.Mereka berdua masuk kamar. Agung mengunci pintu. Meski tiada sesiapa di sana, ia tidak ingin dibuat was-was. Kamar menguarkan wangi vanila, aroma kesukaan Lidia. Harumny

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 144 Akad Nikah 2

    Usai makan malam, Pak Bastian, Bu Mega, Lidia, dan Agung duduk di ruang keluarga. Sedangkan Lili sedang belajar bersama guru lesnya di ruangan lain yang biasanya digunakan juga untuk bersantai karena langsung menghadap ke taman samping yang ada miniatur air terjun di sana."Papa dan mama merestui kalian berdua jika ingin rujuk. Segera menikah, sama-sama saling mendukung dan memperbaiki diri. Menjadi orang tua yang bisa jadi panutan anak kalian. Tapi papa menyarankan, Agung tetap mengajak Lidia untuk menemui kedua orang tuamu. Minta restu apapun tanggapan mereka. Yang terpenting pada orang tua, jika nggak ingin bertemu keluarga yang lain.""Bener apa kata papamu. Kalian berdua tetap harus menemui kedua orang tuamu, Gung." Bu Mega setuju dengan pendapat sang suami. Apapun tanggapan mereka, yang terpenting tetap meminta restu."Kapan rencana kalian akad nikah?" tanya Pak Bastian."Minggu depan, Pa," jawab Agung spontan. Membuat Lidia menatapnya karena kaget. Sebab mereka belum membahas t

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 143 Akad Nikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Akad Nikah Author's POV"Beneran kamu mau rujuk sama Lidia? Kamu nggak dengar mama bilang apa sama kamu?"Agung masih diam mendengarkan kemarahan sang mama, saat ia memberitahu akan rujuk dengan Lidia. Sedangkan -Pak Ringgo- papanya diam menatap layar televisi yang menampilkan acara berita."Kenapa kamu keras kepala? Sedangkan keluarga sudah sepakat dengan perjodohanmu dan Grace.""Sejak awal aku nggak setuju dengan rencana, Mama. Aku hanya akan menikah lagi dengan Lidia. Kami punya Lili, Ma. Keluarga setuju atau pun tidak, aku akan kembali menikahi Lidia."Bu Ringgo menatap marah pada putranya. "Mengenai Lili, kamu kan masih bisa menemuinya. Atau ambil dia dan ajak tinggal bersamamu."Tidak semudah itu. Apa mamanya pikir, Lidia akan diam saja kalau Lili diambil darinya?"Kamu nggak ingat apa yang terjadi dua tahun kemarin? Kita harus menanggung malu atas semua yang terjadi," lanjut Bu Ringgo."Itu salahku, Ma," bantah Agung. "Bahkan keluarga Lidia yang telah

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 142 Kita Akan Menikah 2

    "Mas mau meeting di kantor papa nanti jam dua. Makanya mas mampir pulang dulu." Yoshi mengusap pipi Yasha dan mengecupnya. "Yusa, mana?""Barusan tidur.""Kamu belum makan?" Yoshi memandang piring yang masih berisi penuh di atas nakas."Belum. Mau makan keburu Yasha nangis."Yoshi mengambil piring. "Mas suapi."Anastasya makan dari tangan Yoshi hingga makanan di piring tandas. Yasha kembali terlelap dan ditidurkan di atas tempat tidur. Untuk sementara ini kedua anaknya memang tidur di pisah. Khawatir akan saling ganggu jika salah satunya terbangun lebih dulu."Mas, mau makan apa sholat zhuhur dulu?" Anastasya bangkit dari duduknya."Mas sudah sholat sebelum masuk kamar tadi.""Ya udah, kalau gitu aku ambilin makan dulu." Anastasya keluar kamar dan kembali dengan nasi, lauk, potongan buah semangka, dan minum di nampan."Makasih, Sayang." Yoshi mengecup kening istrinya. Kemudian duduk di karpet ditemani Anastasya."Besok mas ada seminar tiga hari di Malang.""Nginep?" tanya Anastasya un

  • (Bukan) Istri Pilihan    Part 141 Kita Akan Menikah 1

    (Bukan) Istri Pilihan - Kita Akan Menikah Author's POVLidia bangkit dari duduknya sambil membenahi ikatan kimononya. "Aku nemui Sinta dulu, Mas. Ada hal penting yang akan kami bahas." Selesai bicara Lidia langsung keluar kamar. Sedangkan Agung bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat jendela kamar. Menatap langit kelabu di atas sana.Sinta berdehem ketika Lidia masuk ke ruang kerja papanya. Ruangan yang lumayan luas. Ada meja panjang dengan kursi-kursi yang mengitarinya. Juga ada layar proyektor di sana. Biasa digunakan untuk meeting dadakan jika ada sesuatu yang harus dibahas segera."Pasti kamu mikir yang enggak-enggak tadi," ucap Lidia sambil duduk di depan adiknya.Dengan gaun se*si, tipis, dan dibalut kimono luarnya, rambut diikat asal-asalan dan terkesan semrawut, belum lagi wajah dan leher yang basah berpeluh, otomatis pikiran Sinta sudah terbang ke mana-mana. Apalagi jika ingat bagaimana Agung begitu agresif belakangan ini. Mereka manusia dewasa yang pernah hidup bersam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status