Setelah asisten rumah tangga keluarga Bumi meninggalkanya, Damay langsung mengempaskan tubuh di ranjang queen size lalu melipat kedua tangan di atas perut. Tatapannya menerawang pada langit-langit kamar yang menurutnya cukup luas, dengan berbagai rencana yang sudah tersusun di kepala.
Damay hanya tinggal menunggu Bumi mencarikan sebuah kos untuknya. Keluar dari rumah tersebut, dan mencari kerja di luar sana. Apa pun pekerjaan yang didapatnya nanti, yang terpenting adalah halal baginya dan cukup untuk menghidupi dirinya sehari-hari. Menjadi pelayan atau office girl pun tidak mengapa. Yang terpenting untuk saat ini adalah, Damay bisa memiliki penghasilan sendiri, agar bisa lepas dari Bumi.
Sejurus kemudian, kedua sudut bibir Damay pun terkembang lebar. Setidaknya, ia sudah sampai di ibukota, dan tinggal berusaha melakukan beberapa hal, untuk mencapai tujuannya.
“Damay!”
Sayup terdengar suara Bumi dari balik pintu, berikut dengan ketukan yang terdengar cukup keras dan tidak sabar. Untuk itu, Damay segera bangkit dan berlari kecil menuju pintu dan membukanya.
“Ya, Kak?” Damay mengerjap, menatap wajah lelah Bumi dengan garis rahang yang ditumbuhi rambut halus, serta kumis tipis yang ada di atas bibirnya.
Bumi tidak menjawab. Ia membuka pintu kamar Damay dengan lebar lalu masuk begitu saja. Bumi duduk di sudut ranjang, lalu menunjuk sebuah sofa stool persegi yang ada di samping pintu. “Tutup pintunya dan duduk di situ.”
Damay mengangguk canggung. Sebelumnya, ia dan Bumi memang sudah pernah berada di dalam satu kamar setelah ijab kabul itu diikrarkan. Namun, mereka benar-benar tidak pernah melakukan hal apa pun. Damay hanya sibuk mendengar protes dan keluhan Bumi yang sangat menyesalkan kejadian yang ada.
Bumi melihat koper Damay yang terletak di depan lemari sekilas. “Baju-bajumu, nggak usah disusun di lemari, karena besok kamu sudah tinggal di kosan. Bukan di sini.”
“Oh …” Damay tidak menduga Bumi dan keluarganya bahkan sudah mendapatkan sebuah kos untuk dirinya. Terlihat jelas, mereka semua tidak menyukai kehadiran dirinya di rumah mereka. “Oke, Kak. Tapi—”
“Tapi apa?” sambar Bumi tidak sabar, karena hatinya masih terlampau kesal dengan semua hal yang terjadi di Kalimantan. Apalagi, ketika ia melihat Damay di depan mata seperti saat ini.
“Bisa tolong carikan kerja juga buat saya?” pinta Damay. “Pelayan atau office girl, seperti kata ibunya Kak Bumi tadi, juga nggak papa. Yang penting saya nggak ngerepotin, Kakak.”
“Aku juga nggak mau direpotin kamu, May,” seloroh Bumi lalu membuang napas untuk mengatur emosinya. “Kamu itu bukan siapa-siapa, dan tahu-tahu jadi istri. Sial banget nasibku ketemu kamu.”
Sungguh, Damay sangat tersinggung dengan ucapan Bumi barusan. Namun, karena ia tahu diri dan masih menumpang di rumah pria itu, maka Damay masih berusaha menyematkan senyum di bibirnya.
“Maaf, Kak.” Damay menunduk dan melihat ujung jemari kakinya. Bersabar, hanya itu yang bisa Damay lakukan untuk sementara waktu. “Tapi, Kak Bumi bisa ceraikan saya, setelah saya keluar dari rumah ini.”
“Cerai itu gampang, May,” sahut Bumi mulai berdiri karena tidak ingin berlama-lama lagi di dalam ruangan. Yang penting tujuannya sudah tersampaikan dan mulai besok, Bumi berharap tidak lagi berurusan dengan gadis itu.
“Tapi, bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana kalau mereka sakit hati dan tiba-tiba main belakang?”
“Main belakang?” Damay pun ikut berdiri karena mengerti maksud Bumi. “Keluargaku, nggak gitu, Kak.”
“Damay, yang namanya main belakang, itu artinya sembunyi-sembunyi.” Bumi mendengkus di sela ucapannya lalu kembali berkata, “Kalau sudah sembunyi-sembunyi, mana ada yang mau ngaku?”
Sabar, hanya itu yang bisa Damay lakukan saat ini, dan tetap tenang. “Kak Bumi itu wartawan, kan?”
“Redaktur,” ralat Bumi ingin menjelaskan jabatannya di perusahaan tempat ia bekerja. “Di atasnya wartawan atau reporter.”
Damay yang tidak mengerti struktur jabatan di media, hanya bisa mengangguk dan berusaha paham. “Kalau begitu, pikiran Kakak harusnya lebih terbuka lagi. Yang bisa main belakang itu nggak cuma orang yang ada di sana, tapi di mana-mana juga bisa. Semua itu, balik lagi ke orangnya. Kalau dasarnya sudah nggak punya iman dan nggak percaya Tuhan, mereka—”
“Stop, stop!” potong Bumi tidak ingin mendengar penjelasan gadis itu. “Aku nggak butuh ceramah dari kamu. Begini, biar semuanya aman, harus kamu yang cari gara-gara kalau mau cerai denganku. Kamu bisa … jalan sama laki-laki lain di luar sana, dan bilang ke keluargamu kalau kamulah yang salah karena sudah jatuh cinta dengan orang lain. Dan setelah itu, barulah kita selesai.”
Airin berdecak ketika melihat putranya menuruni tangga. Ia masih kesal dengan kehadiran Damay, yang tiba-tiba saja menjadi menantu yang tidak pernah diinginkan di rumah mereka. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak perjalanan yang dilakukan Bumi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Namun, hal sial seperti saat ini, mengapa justru menimpa di saat seperti sekarang. Di mana Bumi, sebentar lagi akan menikah dengan kekasihnya. “Ke mana istrimu itu,” sindir Airin ketika sang putra sudah menginjakkan kaki di lantai satu. “Pasti belum bangun.”“Ayolah, Bun. Dia itu bukan urusanku, jadi jangan pernah tanya apapun tentang dia,” pinta Bumi lalu melewati sang bunda untuk pergi ke dapur. “Pagi ini, aku antar dia ke kosan sekalian berangkat kerja. Jadi tolong, jangan lagi sebut-sebut dan bicarakan dia di depanku.”Airin hanya mendesis kesal menanggapi ucapan putranya. Ia terus berjalan di belakang Bumi, dan sedari tadi sudah mencium aroma masakan yang sudah menggugah selera. Wangi masakan yang
Sang penjaga kos yang akan dihuni oleh Damay, langsung pergi setelah memberi beberapa penjelasan singkat. Meninggalkan Damay, dan Bumi yang masih berdiri di tengah ruang yang berukuran tiga kali tiga meter tersebut.“Aku cuma bisa dapat kosan ini, lumayan layak walau kamar mandinya ada di luar,” terang Bumi lalu membuka jendela nako yang berada di samping pintu. Ia menatap ke lantai satu, yang berisi parkiran motor dari penghuni kos setempat. Bumi jadi berpikir, apa Damay juga butuh kendaraan bermotor untuk memudahkan mobilisasi gadis itu.“Nggak masalah, Kak,” balas Damay lalu duduk di tepi kasur busa yang berukuran single. Ada sebuah meja kecil, yang berada di samping tempat tidur. Serta lemari pakaian yang berada sejajar dengan jendela nako. “Saya tinggal cari kerja aja habis ini. Terus, untuk uang kos, nanti saya ganti kalau sudah punya gaji.”“Nggak perlu diganti,” jawab Bumi cepat, lalu berbalik dengan mengeluarkan dompet dari saku celana bahannya. Bumi mengeluarkan beberapa lem
Tabungan yang dimiliki Damay, memang tidak banyak. Akan tetapi, tidak bisa juga dibilang sedikit jika ia bisa berhemat, ketika tinggal di ibukota tanpa pekerjaan seperti sekarang. Damay bisa menekan biaya makan sehari-harinya. Hitung-hitung, sekalian diet untuk menurunkan bobot badan yang terasa semakin berat.Damay membeli nasi, di warung terdekat dan membaginya menjadi dua kali makan. Untuk sarapan, dan ketika sore menjelang. Sementara untuk lauk, Damay bersyukur karena ada dapur umum yang bisa dipakai bersama di lantai satu, hingga ia bisa memakainya untuk menggoreng telur, atau membuat mi instan jika terpaksa.Sudah seminggu berjalan sejak Damay bertemu Bumi. Sejak itu pula, Damay sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Ternyata, lulusan SMA seperti dirinya tidak mudah mencari pekerjaan di ibukota, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau office girl, seperti yang pernah dikatakan Airin.Damay pun sudah berusaha berbaur dan mengakrabkan diri, dengan teman-teman kos yang cende
Napas Bumi terbuang lega, tugas terakhirnya dalam event pemerintah jelang pernikahannya akhirnya selesai. Setelah ini, Bumi akan kembali menjalani rutinitas kantor seperti biasa, sebelum cutinya tiba.Di sela ramah tamah, dan sesi foto di akhir acara debat calon gubernur, Bumi kembali terusik dengan siluet seorang gadis. Bukan sekali ini Bumi melihat siluet tersebut berjalan cepat di sisi ruang, dan tenggelam di ruang setelahnya. Namun, ketika acara debat belum dimulai pun, Bumi juga sempat melihat sosok tersebut berjalan cepat melewati lorong hotel.Bumi sempat mengira, hal tersebut hanyalah halusinasi. Akan tetapi, jika sampai beberapa kali melihat, pun saat acara sedang berjalan, Bumi yakin itu semua adalah nyata. Sampai akhirnya, Bumi memutuskan untuk meninggalkan kerumunan pendukung para pasangan calon, untuk menuntaskan rasa penasarannya.Bumi berjalan tergesa, menuju titik di mana ia melihat sosok tersebut. Terus masuk ke bagian hotel yang paling dalam. Menyusuri sebuah lorong,
“Tapi nggak begini juga!” Damay tersentak karena Bumi tiba-tiba menghardiknya. Ingin menjauh, tapi lengan Damay masih berada di cengkraman pria itu. Damay jadi bingung sendiri, apa salahnya kali ini sampai Bumi langsung menghardiknya. “Nggak … begini gimana maksudnya, Kak?” tanya Damay tetap memandang Bumi, kendati jantungnya sudah melaju kencang karena dihardik pria itu. “Dengar, May.” Bumi mengatur napas, agar tidak larut dalam emosi. “Sudah berapa kali lo ketemu Gilang?” “Baru … dua kali sama hari ini.” “Baru dua kali ketemu, tapi, lo sudah mau diantar malam-malam begini sama dia?” Semakin lama, nada bicara Bumi semakin meninggi. “Ini Jakarta, May! Bukan Kalimantan—” “Samarinda,” ralat Damay. “Kalau Kalimantan itu luas jangkauan—” “Jangan pernah potong omongan gue.” Bumi menghela kasar sambil menarik lengan Damay, agar gadis itu semakin dekat. “Ini, Jakarta! Di luar sana, banyak penjahat kelamin yang pura-pura baik dan punya niat terselubung di belakangnya. Pergaulan di sini
Bumi menutup laptop, setelah rapat umum antar divisi selesai. Namun, bokongnya masih enggan beranjak, karena ada beberapa obrolan ringan yang masih hendak ia bicarakan dengan rekan kerjanya. Bertukar pikiran dengan santai, untuk membahas beberapa pekerjaan. “Jadi cuti kapan, Mi?” tanya Baskoro, sang pemimpin redaksi yang hendak beranjak dari ruang rapat. “Dua minggu lagi, Bang.” Baskoro terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia pun mengangguk. “Oke, jangan lupa limpahin job desk ke yang lain, dan jangan matikan hape kalau lagi bulan madu. Siapa tahu kami butuh kamu, sewaktu-waktu.” Baskoro lantas terkekeh, dan disambut oleh beberapa rekan kerja yang masih ada di ruang rapat. Dengan cepat ia melangkah keluar dari ruang tersebut, tanpa mau menunggu respons dari Bumi. Namun, belum sampai lima detik Baskoro melewati pintu, ia langsung mundur teratur. Memutar tubuh 90 derajat dan melihat beberapa karyawan Jurnal Ibukota yang kembali bercengkrama. “Y
Pagi itu, Damay sama sekali tidak berminat untuk sarapan. Mengingat rentetan kalimat Bumi tadi malam saja, sudah membuatnya kenyang. Damay bahkan belum mengambil honor atas pekerjaan yang telah ia lakukan kemarin. Untuk itu, Damay hanya bisa pasrah untuk sementara waktu. Menunggu Bumi, yang berjanji akan membawakannya sebuah ponsel baru nanti siang. Akan tetapi, Damay tentunya tidak bodoh. Setelah Bumi memberikannya sebuah ponsel, Damay tinggal bertanya kepada Senna, agar bisa menghubungi seorang teman yang sudah mempekerjakannya kemarin. Setelah itu, Damay tinggal meminta gaji, sekaligus, bertemu Gilang jika memang ada kesempatan. Damay bangkit dengan cepat dari tidurnya, ketika mendengar suara pintu kamar kosnya diketuk. Dengan cepat pula ia membukanya dan langsung mematung saat itu juga. “Lo, yang keluar, atau, gue yang masuk ke dalam.” “Ohh.” Damay yang masih bingung itu, langsung menghela dengan tawa garing. “Kak Gilang … di sini? Tahu … kosan saya dari mana?” “Irma.” “Ohh
Bumi mengumpat dengan mengeratkan cengkramannya pada setir mobil. Hampir dua jam ia menunggu di depan kos Damay, akhirnya gadis itu datang juga. Bumi sempat masuk dan mengetuk pintu kamar kos Damay sebelumnya, tapi gadis itu ternyata belum pulang. Sehingga Bumi memutuskan untuk menunggu di luar kos, dengan memarkir mobilnya sedikit jauh.Namun, yang membuat Bumi semakin geram kali ini ialah, Damay keluar dari mobil Gilang. Bahkan, Gilang sempat masuk ke dalam kosan tersebut dan baru keluar sekitar setengah jam kemudian.Apa yang mereka lakukan selama setengah jam, di dalam sana sebenarnya?Bumi kembali mengumpat keras dan kini memukul setir mobilnya, Harusnya Bumi mencarikan kos khusus putri untuk Damay, jadi pria seperti Gilang tidak bisa masuk seenaknya ke dalam sana.Begitu mobil Gilang pergi dan menghilang dari pandangan Bumi, ia langsung keluar dari mobil dan membanting keras pintunya. Seharian ini, Bumi sudah menahan emosi karena sempat melihat dua orang itu lalu lalang di lanta