Airin berdecak ketika melihat putranya menuruni tangga. Ia masih kesal dengan kehadiran Damay, yang tiba-tiba saja menjadi menantu yang tidak pernah diinginkan di rumah mereka. Sudah tidak terhitung lagi, berapa banyak perjalanan yang dilakukan Bumi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Namun, hal sial seperti saat ini, mengapa justru menimpa di saat seperti sekarang. Di mana Bumi, sebentar lagi akan menikah dengan kekasihnya.
“Ke mana istrimu itu,” sindir Airin ketika sang putra sudah menginjakkan kaki di lantai satu. “Pasti belum bangun.”
“Ayolah, Bun. Dia itu bukan urusanku, jadi jangan pernah tanya apapun tentang dia,” pinta Bumi lalu melewati sang bunda untuk pergi ke dapur. “Pagi ini, aku antar dia ke kosan sekalian berangkat kerja. Jadi tolong, jangan lagi sebut-sebut dan bicarakan dia di depanku.”
Airin hanya mendesis kesal menanggapi ucapan putranya. Ia terus berjalan di belakang Bumi, dan sedari tadi sudah mencium aroma masakan yang sudah menggugah selera. Wangi masakan yang baru kali ini Airin hidu, selama memiliki Imah yang bekerja sebagai asisten rumah tangganya.
“Masak apa, Mah?” tanya Airin lalu membuka tudung saji. Di atas meja, sudah tampak ayam bakar, dan juga sambal yang tidak pernah Imah buat selama menjadi asisten di rumah Airin.
“Tumben Bu Imah bikin ayam bakar,” serobot Bumi yang sudah duduk di meja makan, lalu mengambil satu potong paha bawah untuk di santap. Bumi menggigit dengan penuh rasa lapar, karena dari tampilannya saja, tumpukan ayam tersebut sangatlah menggugah selera.
“Em, anu, Bu.” Imah yang baru selesai meletakkan piring-piring pada tempatnya, segera berbalik.
Bumi yang baru saja menelan ayam bakarnya, langsung tersedak. Ia terbatuk dan Imah buru-buru mengambilkan gelas dan mengisinya dengan air minum. Imah berjalan cepat, untuk menghampiri meja makan, kemudian menyodorkan gelas yang di bawanya kepada Bumi.
“Siapa yang ngizini dia masak di dapur saya?” ketus Airin tidak suka. “Kamu sudah periksa semua bahan yang dia masak, Mah? Sudah dicuci bersih belum? Ada racunnya nggak? Siapa tahu dia ngasih macam-macam ke makanannya, kamu, kan, nggak tahu!”
Imah menelan ludah, sedikit tertunduk karena tidak menduga kalau sang majikan bisa bersikap seperti sekarang.
“Emm, itu, Bu. Semua bahannya saya yang nyuci dan siapkan. Mbak Damay tinggal ngolah dan masak aja,” ujar Imah serba salah, tapi ia pun sudah terbiasa dengan sikap sang majikan jika tidak menyukai sesuatu hal. “Kalau ada racunnya, saya sama mbak Damay pasti sudah mati dari subuh tadi.”
“Jadi, dia sudah sarapan duluan?” tanya Airin lalu berdecak. “Nggak sopan banget jadi tamu.”
“Mbak Damay cuma nyicip, Bu,” ralat Imah mencoba membela Damay. “Yang sudah sarapan, itu, saya. Tapi, kalau Ibu nggak mau makan masakannya, biar nanti saya yang makan, daripada dibuang.”
“Apa yang mau dibuang?” tanya Seno tahu-tahu sudah berada di dapur, lalu menghampiri istri dan anaknya. Seno kemudian duduk di samping Bumi, dan menatap menu sarapan yang begitu menggugah selera.
“Ayam bakar sama nasi uduk buatan mbak Damay, Pak,” sambar Imah. “Kalau Ibu sama Mas Bumi nggak mau, biar buat saya aja. Kan, sayang dari pada dibuang.”
Seno bengong untuk sesaat. Ia menatap Bumi dan istrinya bergantian. Memangnya, seburuk apa nasi uduk dan ayam bakar buatan Damay, sehingga kedua orang itu tidak mau memakannya. “Tolong ambilkan piring, saya mau sarapan sekarang.”
“Yah!” tegur Airin menepuk pundak sang suami yang ada di sebelahnya.
“Aku harus ke kantor sebentar lagi,” ujar Seno sambil menerima piring dari Imah. Ia menuang sendiri nasi yang sudah tersedia di meja, beserta mengambil satu potong dada ayam bakar yang tampak sangat lezat. “Kalau kalian nggak mau makan, ya, sudah. Tunggu aja tukang bubur ayam lewat di depan rumah.”
“Memang siapa yang nggak mau makan,” sambar Bumi juga meminta piring pada Imah, sembari terus memakan paha ayam yang masih ada ditangannya.
“Saya juga minta piring, Mah,” titah Airin akhirnya duduk di samping sang suami. Berseberangan dengan Bumi yang sudah mengambil nasinya sendiri. “Keburu laper kalau nunggu bubur lewat.”
“Tolong panggilkan Damay sekalian, Mah,” titah Seno sudah duluan menyantap sarapannya. “Suruh dia sarapan juga.”
“Emm, anu, Pak. Tadi saya juga sudah nawarin duluan, tapi, mbak Damay nggak biasa sarapan pagi, katanya,” jawab Imah sambil menyerahkan piring pada Airin. Ia lalu meminta izin untuk pergi dari dapur karena harus melakukan beberapa pekerjaan rumah lagi.
“Ya, sudahlah, Yah. Kalau dia nggak mau sarapan, ya, sudah!” sahut Airin memulai sarapannya. “Hari ini juga dia pindah, kan, Mi? Jangan lupa carikan kerja juga, biar dia nggak ngerepotin kita. Bunda nggak mau, dia nantinya cuma jadi benalu buat keluarga kita, apalagi kamu yang sebentar lagi mau nikah. Kenal juga nggak.”
“Hmm.” Bumi bergumam sejenak, karena masih mengunyah makanan di mulutnya. Setelah menelan itu semua, barulah ia berujar. “Pagi ini, Damay sudah keluar dari sini. Habis itu, tinggal tunggu waktu yang pas, baru aku ceraikan dia. Aku sudah ngobrol itu semua sama Damay kemarin.”
Di sisi ruang yang lain, Damay yang tadinya hendak pergi ke dapur pun terdiam ketika mendengar obrolan keluarga Erlangga. Daripada tetap mematung di sana dan mendengar perbincangan tentang dirinya, Damay pun memutuskan kembali ke kamar. Lebih baik, ia mempersiapkan kepergiannya, dan melanjutkan rencana yang sudah dibuat sebelumnya.
Sang penjaga kos yang akan dihuni oleh Damay, langsung pergi setelah memberi beberapa penjelasan singkat. Meninggalkan Damay, dan Bumi yang masih berdiri di tengah ruang yang berukuran tiga kali tiga meter tersebut.“Aku cuma bisa dapat kosan ini, lumayan layak walau kamar mandinya ada di luar,” terang Bumi lalu membuka jendela nako yang berada di samping pintu. Ia menatap ke lantai satu, yang berisi parkiran motor dari penghuni kos setempat. Bumi jadi berpikir, apa Damay juga butuh kendaraan bermotor untuk memudahkan mobilisasi gadis itu.“Nggak masalah, Kak,” balas Damay lalu duduk di tepi kasur busa yang berukuran single. Ada sebuah meja kecil, yang berada di samping tempat tidur. Serta lemari pakaian yang berada sejajar dengan jendela nako. “Saya tinggal cari kerja aja habis ini. Terus, untuk uang kos, nanti saya ganti kalau sudah punya gaji.”“Nggak perlu diganti,” jawab Bumi cepat, lalu berbalik dengan mengeluarkan dompet dari saku celana bahannya. Bumi mengeluarkan beberapa lem
Tabungan yang dimiliki Damay, memang tidak banyak. Akan tetapi, tidak bisa juga dibilang sedikit jika ia bisa berhemat, ketika tinggal di ibukota tanpa pekerjaan seperti sekarang. Damay bisa menekan biaya makan sehari-harinya. Hitung-hitung, sekalian diet untuk menurunkan bobot badan yang terasa semakin berat.Damay membeli nasi, di warung terdekat dan membaginya menjadi dua kali makan. Untuk sarapan, dan ketika sore menjelang. Sementara untuk lauk, Damay bersyukur karena ada dapur umum yang bisa dipakai bersama di lantai satu, hingga ia bisa memakainya untuk menggoreng telur, atau membuat mi instan jika terpaksa.Sudah seminggu berjalan sejak Damay bertemu Bumi. Sejak itu pula, Damay sama sekali belum mendapatkan pekerjaan. Ternyata, lulusan SMA seperti dirinya tidak mudah mencari pekerjaan di ibukota, meskipun hanya sebagai seorang pelayan, atau office girl, seperti yang pernah dikatakan Airin.Damay pun sudah berusaha berbaur dan mengakrabkan diri, dengan teman-teman kos yang cende
Napas Bumi terbuang lega, tugas terakhirnya dalam event pemerintah jelang pernikahannya akhirnya selesai. Setelah ini, Bumi akan kembali menjalani rutinitas kantor seperti biasa, sebelum cutinya tiba.Di sela ramah tamah, dan sesi foto di akhir acara debat calon gubernur, Bumi kembali terusik dengan siluet seorang gadis. Bukan sekali ini Bumi melihat siluet tersebut berjalan cepat di sisi ruang, dan tenggelam di ruang setelahnya. Namun, ketika acara debat belum dimulai pun, Bumi juga sempat melihat sosok tersebut berjalan cepat melewati lorong hotel.Bumi sempat mengira, hal tersebut hanyalah halusinasi. Akan tetapi, jika sampai beberapa kali melihat, pun saat acara sedang berjalan, Bumi yakin itu semua adalah nyata. Sampai akhirnya, Bumi memutuskan untuk meninggalkan kerumunan pendukung para pasangan calon, untuk menuntaskan rasa penasarannya.Bumi berjalan tergesa, menuju titik di mana ia melihat sosok tersebut. Terus masuk ke bagian hotel yang paling dalam. Menyusuri sebuah lorong,
“Tapi nggak begini juga!” Damay tersentak karena Bumi tiba-tiba menghardiknya. Ingin menjauh, tapi lengan Damay masih berada di cengkraman pria itu. Damay jadi bingung sendiri, apa salahnya kali ini sampai Bumi langsung menghardiknya. “Nggak … begini gimana maksudnya, Kak?” tanya Damay tetap memandang Bumi, kendati jantungnya sudah melaju kencang karena dihardik pria itu. “Dengar, May.” Bumi mengatur napas, agar tidak larut dalam emosi. “Sudah berapa kali lo ketemu Gilang?” “Baru … dua kali sama hari ini.” “Baru dua kali ketemu, tapi, lo sudah mau diantar malam-malam begini sama dia?” Semakin lama, nada bicara Bumi semakin meninggi. “Ini Jakarta, May! Bukan Kalimantan—” “Samarinda,” ralat Damay. “Kalau Kalimantan itu luas jangkauan—” “Jangan pernah potong omongan gue.” Bumi menghela kasar sambil menarik lengan Damay, agar gadis itu semakin dekat. “Ini, Jakarta! Di luar sana, banyak penjahat kelamin yang pura-pura baik dan punya niat terselubung di belakangnya. Pergaulan di sini
Bumi menutup laptop, setelah rapat umum antar divisi selesai. Namun, bokongnya masih enggan beranjak, karena ada beberapa obrolan ringan yang masih hendak ia bicarakan dengan rekan kerjanya. Bertukar pikiran dengan santai, untuk membahas beberapa pekerjaan. “Jadi cuti kapan, Mi?” tanya Baskoro, sang pemimpin redaksi yang hendak beranjak dari ruang rapat. “Dua minggu lagi, Bang.” Baskoro terdiam sejenak, seolah memikirkan sesuatu. Selang beberapa detik kemudian, ia pun mengangguk. “Oke, jangan lupa limpahin job desk ke yang lain, dan jangan matikan hape kalau lagi bulan madu. Siapa tahu kami butuh kamu, sewaktu-waktu.” Baskoro lantas terkekeh, dan disambut oleh beberapa rekan kerja yang masih ada di ruang rapat. Dengan cepat ia melangkah keluar dari ruang tersebut, tanpa mau menunggu respons dari Bumi. Namun, belum sampai lima detik Baskoro melewati pintu, ia langsung mundur teratur. Memutar tubuh 90 derajat dan melihat beberapa karyawan Jurnal Ibukota yang kembali bercengkrama. “Y
Pagi itu, Damay sama sekali tidak berminat untuk sarapan. Mengingat rentetan kalimat Bumi tadi malam saja, sudah membuatnya kenyang. Damay bahkan belum mengambil honor atas pekerjaan yang telah ia lakukan kemarin. Untuk itu, Damay hanya bisa pasrah untuk sementara waktu. Menunggu Bumi, yang berjanji akan membawakannya sebuah ponsel baru nanti siang. Akan tetapi, Damay tentunya tidak bodoh. Setelah Bumi memberikannya sebuah ponsel, Damay tinggal bertanya kepada Senna, agar bisa menghubungi seorang teman yang sudah mempekerjakannya kemarin. Setelah itu, Damay tinggal meminta gaji, sekaligus, bertemu Gilang jika memang ada kesempatan. Damay bangkit dengan cepat dari tidurnya, ketika mendengar suara pintu kamar kosnya diketuk. Dengan cepat pula ia membukanya dan langsung mematung saat itu juga. “Lo, yang keluar, atau, gue yang masuk ke dalam.” “Ohh.” Damay yang masih bingung itu, langsung menghela dengan tawa garing. “Kak Gilang … di sini? Tahu … kosan saya dari mana?” “Irma.” “Ohh
Bumi mengumpat dengan mengeratkan cengkramannya pada setir mobil. Hampir dua jam ia menunggu di depan kos Damay, akhirnya gadis itu datang juga. Bumi sempat masuk dan mengetuk pintu kamar kos Damay sebelumnya, tapi gadis itu ternyata belum pulang. Sehingga Bumi memutuskan untuk menunggu di luar kos, dengan memarkir mobilnya sedikit jauh.Namun, yang membuat Bumi semakin geram kali ini ialah, Damay keluar dari mobil Gilang. Bahkan, Gilang sempat masuk ke dalam kosan tersebut dan baru keluar sekitar setengah jam kemudian.Apa yang mereka lakukan selama setengah jam, di dalam sana sebenarnya?Bumi kembali mengumpat keras dan kini memukul setir mobilnya, Harusnya Bumi mencarikan kos khusus putri untuk Damay, jadi pria seperti Gilang tidak bisa masuk seenaknya ke dalam sana.Begitu mobil Gilang pergi dan menghilang dari pandangan Bumi, ia langsung keluar dari mobil dan membanting keras pintunya. Seharian ini, Bumi sudah menahan emosi karena sempat melihat dua orang itu lalu lalang di lanta
Bumi yang baru memarkirkan roda empatnya di parkiran depan gedung Jurnal, melihat Damay keluar dari mobil Gilang. Apa itu berarti, pagi ini Gilang menjemput Damay ke kosan gadis itu? Bumi lalu berdecih, ketika melihat sebuah drama dengan tawa yang terus dilontarkan kedua orang itu sambil berjalan menuju pintu lobi. Semalam, setelah Bumi dan Damay selesai berdebat. Atau dengan kata lain Damay telah mengusirnya lagi, ia meletakkan ponsel baru yang sudah dijanjikan sebelumnya di ranjang gadis itu. Entah dipakai atau tidak, Bumi juga belum memastikannya. Namun, ia sudah mendapatkan kos putri dan Damay harus pindah hari ini juga ke tempat tersebut. Bumi tidak ingin, Gilang terus-terusan mengantar jemput Damay seperti sekarang. Akan tetapi … kenapa? Bukankah Bumi sudah memiliki Tari yang sebentar lagi akan dinikahinya? Semakin dipikirkan, Bumi semakin tidak bisa menemukan jawabannya. Belakangan ini, otaknya justru dipenuhi dengan Damay yang tidak mau mengindahkan semua permintaannya. Mu