Entah sudah berapa kali Bumi berdecak pagi ini. Ada yang mengganggu pikirannya, tapi Bumi tidak bisa menjelaskan hal tersebut sama sekali. Harusnya, satu beban Bumi hilang dari pundak setelah menjatuhkan talak pada Damay. Namun, kenyataannya tidak seperti yang Bumi bayangkan.Bahkan, sudah lima belas menit berlalu, Bumi masih saja terpekur di dalam mobil yang terparkir di depan gedung Jurnal. Belum ada niat untuk keluar, karena moodnya pagi ini sungguh tidak bisa ia jabarkan.Bukankah, Bumi seharusnya senang dengan semua ini. Akhirnya, dirinya dan Tari bisa bernapas lega. Tinggal menjalani prosesi yang sudah direncanakan, dan ditunggu-tunggu selama ini.Tatapan Bumi kemudian terhenti pada kursi di sampingnya. Melihat kotak ponsel yang segelnya sama sekali belum terbuka sedikit pun. Sebuah benda canggih, yang dibelikan Bumi untuk Damay, tapi gadis itu menolaknya. Ketika Bumi pulang malam tadi, Damay mengembalikannya ponsel tersebut dan tidak ingin menggunakannya.Bumi lantas mengambiln
“Gue nggak jadi ke kos, ada urusan mendadak. Lo pindah besok pagi, gue jemput jam 5. Bumi.”Sebuah chat langsung Bumi kirimkan pada nomor Damay yang baru disimpannya pagi tadi. Tentu saja Damay tidak tahu jika Bumi sempat menelepon ponsel miliknya sendiri, setelah ia memasukkan nomor Angga.Sebenarnya, Bumi sudah dalam perjalanan menuju kos yang masih Damay tempati saat ini. Namun, ditengah perjalanan Tari menelepon dan meminta untuk bertemu dengan tiba-tiba. Agar Tari tidak berpikiran yang tidak-tidak dengannya, maka Bumi mau tidak mau harus mendahulukan calon istrinya terlebih dahulu.Terlebih lagi, Tari masih saja uring-uringan karena Damay masih bekerja di Jurnal, dan menolak untuk Resign.Bumi pun segera memutar haluan, dan menuju ke tempat Tari berada. Sebuah restoran mewah yang berada tidak jauh dari posisi Bumi saat menerima telepon dari Tari.Hanya sekitar 15 menit, akhirnya Bumi pun sampai dan langsung menghampiri meja yang sudah diberi tahu oleh Tari sebelumnya.Akan tetapi
“Duduk di depan, gue bukan supir lo.” Damay ingin protes, tapi ia tahan. Bokong yang baru saja terhempas pada kursi penumpang bagian belakang pun, harus ia tarik keluar. Menutup pintu, lalu menuruti perintah Bumi agar duduk di sebelah pria itu. “Yakin nggak ada yang ketinggalan?” Bumi memastikan lagi ketika Damay baru menutup pintu mobil. “Nggak ada.” Karena masih sangat mengantuk, maka Damay pun tidak segan untuk menguap begitu lebar. Bumi hanya melirik, lalu mulai menjalankan roda empatnya. Menembus kesunyian awal pagi, yang belum disinari terik sinar mentari. “Sudah telpon istrinya Angga?” tanya Bumi sambil membuka jendela mobil di sisi Damay, lalu di sisinya. Bumi hendak menikmati segarnya udara pagi yang belum bercampur polusi sama sekali. “Sudah.” “Keluarga lo?” “Hmm.” Damay memilih menggumam untuk menunjukkan ketidaktertarikannya. “Selama ini, lo tinggal sama siapa?” Daripada terus berdebat dan bertengkar seperti yang sudah-sudah, Bumi memilih mencari topik obrolan lai
Damay menunduk sambil melihat deretan tuts keyboard yang ada di meja kerja ruang EO. Sejenak, ia menolehkan kepala ke arah pintu masuk. Memastikan indra pendengarannya tidak menangkap suara apapun dari luar sana.Setelah yakin semuanya hening, maka perhatiannya kembali teralihkan ke tempat semula. Kedua telunjuk Damay lantas saling bekerja sama untuk mengetik sebuah nama di dalam website pencarian. Dalam hitungan detik, semua yang dicarinya pun muncul di depan mata.Sebenarnya, Damay sudah pernah mencari hal yang sama di ponsel pintarnya. Namun, apa yang tersaji di sana kurang puas untuk dilihat. Untuk itulah, Damay menggunakan perangkat komputer yang ada di kantor, untuk mencari semua data-data yang dibutuhkan.“May!”Damay yang sempat terkejut itu, buru-buru merubah ekspresi wajahnya. Tangan kanannya bergerak pelan untuk menutup sebuah website pencarian, agar pria yang menghampirinya tidak curiga.“Mau keluar sekarang?” tanya Damay sudah bersandar santai pada punggung kursi berodany
Damay menyudahi makan malamnya, dengan sebungkus nasi goreng yang masih tersisa separuh. Meletakkan piringnya pada meja di samping ranjang, yang berdampingan dengan lemari pakaian. Ia lantas merebahkan diri di tempat tidur, memiringkan tubuh lalu membuka ponsel. Melihat tumpukan chat di sebuah grup yang berisi beberapa foto resepsi Bumi dan Tari.Malam ini, Damay memenuhi janjinya pada Bumi. Ia tidak datang ke resepsi pernikahan yang tampak sangat mewah, jika dilihat dari beberapa foto yang ada di grup chatnya. Walaupun Gilang sudah beberapa kali mengajaknya untuk pergi, tapi Damay tetap bersiteguh dengan janji yang sudah diucapnya.Merasa bosan dengan ponselnya, Damay kemudian bangkit dan kembali berjalan menuju meja. Mengambil dua buah buku yang ada di atas sana, sekaligus undangan Bumi yang tergeletak di atas meja.Sebelum mulai membaca buku yang ia hempas di atas kasur, Damay terlebih dahulu belitan pita yang mengikat undangan Bumi menjadi sebuah gulungan. Konsep undangan Bumi, mi
Adam berjalan cepat menyusul Banyu di belakang. Walau jarak mereka cukup jauh, tapi Adam bisa melihat kedua orang itu. Dugaannya pun benar, Banyu membawa Damay menuju ke arah ruang VIP keluarga.Adam semakin mempercepat langkahnya, ketika pintu ruang tersebut tampak tertutup. Setengah berlari, karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada gadis yang dibawa oleh Banyu. Apapun nantinya hubungan Damay dengan Kyla, yang terpenting adalah menjauhkan kedua orang itu dengan segera.“Banyu!”Seketika itu juga, segala prasangka buruk yang sempat berputar di kepala Adam musnah seketika. Justru putranya sendirilah yang kini meringkuk kesakitan, sembari memegangi alat vitalnya. Wajah Banyu pun memerah menahan sakit, dengan mulut yang sibuk mengumpat pada Damay.Jika ingin jujur, Adam sebenarnya lega melihat putranya seperti itu. Paling tidak, Banyu tidak melakukan hal yang buruk kepada Damay. Atau … mungkin belum dan semoga tidak akan terjadi sampai kapan pun.“Pa …”Adam buru-buru menghampi
Bumi melihat Adam keluar dari lounge dengan santai. Sedari dulu, ekspresi wajah mertuanya itu, memang tidak pernah bisa dibaca sama sekali. Jadi, Bumi tidak pernah tahu, emosi seperti apa yang tengah dirasakan papa mertuanya itu.Menunggu beberapa menit, tapi Bumi tidak melihat Damay menyusul di belakangnya. Bumi sengaja pergi seorang diri untuk membukakan kamar untuk Banyu. Ia tidak meminta orang lain untuk melakukannya, karena penasaran dengan Damay yang pergi bersama Adam. Untuk itu, Bumi segera menyusul kedua orang itu setelah melihat kondisi Banyu di dalam ruang VIP. Entah apa yang terjadi dengan kakak iparnya itu, Bumi tidak terlalu menghiraukannya.Setelah menerima card key dari resepsionis, Bumi bergegas memasuki lounge. Melihat satu per satu meja yang ada di dalam sana dengan seksama, dan akhirnya Bumi menemukan Damay yang masih terduduk sendiri di mejanya.“Damay!” Bumi langsung duduk di kursi yang berada di sebelah gadis itu. Melihat Damay yang tidak merespons dan hanya ter
Setelah memastikan Damay sampai di kos dalam keadaan baik-baik saja, Bumi segera kembali ke hotel dengan taksi yang sama. Selama di dalam perjalanan menuju kos Damay barusan, mereka tidak membicarakan hal apapun. Gadis itu hanya termenung dalam diam, tapi sudah dalam keadaan tidak menangis lagi. Cukup tenang sehingga Bumi bisa meninggalkan Damay dengan tenang.Selama perjalanan itu pula, Bumi sengaja mensenyapkan ponselnya agar tidak merasa terganggu dengan semua panggilan yang pasti ia terima. Entah itu dari Tari, maupun kedua orangtuanya yang sudah pasti menghubunginya.Sesampainya di hotel, Bumi bergegas menuju kamar pengantinya. Kendati jantungnya melaju semakin kencang, Bumi tetap harus menghadapinya. Ia harus menerima semua konsekuensi akibat perbuatannya barusan.Namun, Bumi tidak akan berbohong atau mengelak kalau ia telah mengantar Damay. Karena percuma, Bumi yakin kalau Tari juga akan mengetahui semuanya. Jadi, lebih baik Bumi berterus terang dan bertengkar di awal, daripada