Bumi tertawa miris, ketika mengingat Baskoro mentertawakan permasalahannya dengan Damay pagi tadi. Pria paruh baya itu tidak bisa membayangkan, kalau yang dikhawatirkan oleh Bumi benar-benar terjadi. Lantas, Baskoro hanya menyarankan untuk berkomunikasi lebih baik lagi dengan Damay, juga keluarga gadis itu.Menjelaskan semua masalah yang terjadi dengan kepala dingin, dan selesaikan baik-baik. Baskoro meyakinkan, kalau Bumi hanya overthinking karena sebentar lagi akan menikah dengan Tari. Apalagi, Damay juga sudah berkali-kali meminta cerai dari Bumi, dan menjamin semua akan baik-baik saja. Karena pada dasarnya, Bumi memang terlalu berlebihan dalam menanggapi kisah yang telah didengarnya.Selama Bumi bersikap baik dan tidak melanggar norma yang ada, semua kesalahpahaman pasti bisa terselesaikan.Lamunan Bumi lantas terpecah saat ponsel yang berada di meja kerjanya bergetar. Tari menelepon, dan untuk itu Bumi dengan cepat mengangkatnya.“Halo,” sapa Bumi masih dengan pikiran yang berca
“Damay … mulai hari ini gue ….”Kedua wanita yang menatap Bumi, menunggu dengan tegang. Satu kata keramat itu akan terucap sebentar lagi dari mulut Bumi, dan … selesai sudah.Namun, yang membuat keduanya kesal ialah, Bumi tidak kunjung melanjutkan sisa kalimatnya. Bumi justru meraup wajah, kemudian berbalik pergi meninggalkan kedua wanita yang sudah berharap banyak dari dirinya.“Bumi!” Tari berseru keras dengan menghentak kesal. Telunjuk Tari kemudian mengarah tajam pada Damay. Rasanya wajar kalau amarah Tari semakin menjadi, karena Damay ternyata juga satu kantor dengan Bumi. Terlebih lagi, calon suaminya itu sampai tidak bisa menentukan sikap, dan bersikap tegas seperti Bumi yang selama ini Tari kenal.“Kalau lo, masih punya perasaan, buruan resign dari sini,” desis Tari. “Jangan pernah lagi ganggu hubungan gue, sama Bumi.”“Saya—”“Bumi!” Tari langsung pergi meninggalkan Damay. Tidak ingin lagi berhadapan dengan gadis itu karena rasa kesalnya yang begitu besar. “Mi—”“Masuk,” putu
Dari ujung tangga lantai dasar, Damay bisa melihat kalau pintu kamar kosnya sedikit terbuka. Mungkin, jaraknya sekitar satu jengkal antara daun pintu dan bingkainya. Damay pun mempercepat menaiki tangga, setengah berlari lalu mendorong pintunya dengan perlahan.“Kak … Bumi?” Ada sedikit perasaan lega karena yang ada di kamarnya saat ini adalah Bumi. Jika orang lain, mungkin ada beberapa barang Damay yang menghilang. “Kok bisa masuk?”Bumi menutup buku yang dibacanya, lalu kembali meletakkan di atas meja di samping tempat tidur. Ia bangkit lalu bertolak pinggang sembari melihat sekeliling kamar Damay. “Gue yang nyewain kamar ini, jadi gue juga punya kuncinya.”Damay melepas tas selempang kecilnya, lalu melemparnya dengan asal di ujung ranjang. Tubuhnya merosot lelah, kemudian duduk bersandar di samping pintu, bersila. “Mau apa ke sini? Mau ngomel-ngomel lagi?”Bukannya menjawab, Bumi justru menunduk untuk mengambil tas Damay. Membukanya tanpa permisi dan melihat isinya. Manik Bumi lant
Entah sudah berapa kali Bumi berdecak pagi ini. Ada yang mengganggu pikirannya, tapi Bumi tidak bisa menjelaskan hal tersebut sama sekali. Harusnya, satu beban Bumi hilang dari pundak setelah menjatuhkan talak pada Damay. Namun, kenyataannya tidak seperti yang Bumi bayangkan.Bahkan, sudah lima belas menit berlalu, Bumi masih saja terpekur di dalam mobil yang terparkir di depan gedung Jurnal. Belum ada niat untuk keluar, karena moodnya pagi ini sungguh tidak bisa ia jabarkan.Bukankah, Bumi seharusnya senang dengan semua ini. Akhirnya, dirinya dan Tari bisa bernapas lega. Tinggal menjalani prosesi yang sudah direncanakan, dan ditunggu-tunggu selama ini.Tatapan Bumi kemudian terhenti pada kursi di sampingnya. Melihat kotak ponsel yang segelnya sama sekali belum terbuka sedikit pun. Sebuah benda canggih, yang dibelikan Bumi untuk Damay, tapi gadis itu menolaknya. Ketika Bumi pulang malam tadi, Damay mengembalikannya ponsel tersebut dan tidak ingin menggunakannya.Bumi lantas mengambiln
“Gue nggak jadi ke kos, ada urusan mendadak. Lo pindah besok pagi, gue jemput jam 5. Bumi.”Sebuah chat langsung Bumi kirimkan pada nomor Damay yang baru disimpannya pagi tadi. Tentu saja Damay tidak tahu jika Bumi sempat menelepon ponsel miliknya sendiri, setelah ia memasukkan nomor Angga.Sebenarnya, Bumi sudah dalam perjalanan menuju kos yang masih Damay tempati saat ini. Namun, ditengah perjalanan Tari menelepon dan meminta untuk bertemu dengan tiba-tiba. Agar Tari tidak berpikiran yang tidak-tidak dengannya, maka Bumi mau tidak mau harus mendahulukan calon istrinya terlebih dahulu.Terlebih lagi, Tari masih saja uring-uringan karena Damay masih bekerja di Jurnal, dan menolak untuk Resign.Bumi pun segera memutar haluan, dan menuju ke tempat Tari berada. Sebuah restoran mewah yang berada tidak jauh dari posisi Bumi saat menerima telepon dari Tari.Hanya sekitar 15 menit, akhirnya Bumi pun sampai dan langsung menghampiri meja yang sudah diberi tahu oleh Tari sebelumnya.Akan tetapi
“Duduk di depan, gue bukan supir lo.” Damay ingin protes, tapi ia tahan. Bokong yang baru saja terhempas pada kursi penumpang bagian belakang pun, harus ia tarik keluar. Menutup pintu, lalu menuruti perintah Bumi agar duduk di sebelah pria itu. “Yakin nggak ada yang ketinggalan?” Bumi memastikan lagi ketika Damay baru menutup pintu mobil. “Nggak ada.” Karena masih sangat mengantuk, maka Damay pun tidak segan untuk menguap begitu lebar. Bumi hanya melirik, lalu mulai menjalankan roda empatnya. Menembus kesunyian awal pagi, yang belum disinari terik sinar mentari. “Sudah telpon istrinya Angga?” tanya Bumi sambil membuka jendela mobil di sisi Damay, lalu di sisinya. Bumi hendak menikmati segarnya udara pagi yang belum bercampur polusi sama sekali. “Sudah.” “Keluarga lo?” “Hmm.” Damay memilih menggumam untuk menunjukkan ketidaktertarikannya. “Selama ini, lo tinggal sama siapa?” Daripada terus berdebat dan bertengkar seperti yang sudah-sudah, Bumi memilih mencari topik obrolan lai
Damay menunduk sambil melihat deretan tuts keyboard yang ada di meja kerja ruang EO. Sejenak, ia menolehkan kepala ke arah pintu masuk. Memastikan indra pendengarannya tidak menangkap suara apapun dari luar sana.Setelah yakin semuanya hening, maka perhatiannya kembali teralihkan ke tempat semula. Kedua telunjuk Damay lantas saling bekerja sama untuk mengetik sebuah nama di dalam website pencarian. Dalam hitungan detik, semua yang dicarinya pun muncul di depan mata.Sebenarnya, Damay sudah pernah mencari hal yang sama di ponsel pintarnya. Namun, apa yang tersaji di sana kurang puas untuk dilihat. Untuk itulah, Damay menggunakan perangkat komputer yang ada di kantor, untuk mencari semua data-data yang dibutuhkan.“May!”Damay yang sempat terkejut itu, buru-buru merubah ekspresi wajahnya. Tangan kanannya bergerak pelan untuk menutup sebuah website pencarian, agar pria yang menghampirinya tidak curiga.“Mau keluar sekarang?” tanya Damay sudah bersandar santai pada punggung kursi berodany
Damay menyudahi makan malamnya, dengan sebungkus nasi goreng yang masih tersisa separuh. Meletakkan piringnya pada meja di samping ranjang, yang berdampingan dengan lemari pakaian. Ia lantas merebahkan diri di tempat tidur, memiringkan tubuh lalu membuka ponsel. Melihat tumpukan chat di sebuah grup yang berisi beberapa foto resepsi Bumi dan Tari.Malam ini, Damay memenuhi janjinya pada Bumi. Ia tidak datang ke resepsi pernikahan yang tampak sangat mewah, jika dilihat dari beberapa foto yang ada di grup chatnya. Walaupun Gilang sudah beberapa kali mengajaknya untuk pergi, tapi Damay tetap bersiteguh dengan janji yang sudah diucapnya.Merasa bosan dengan ponselnya, Damay kemudian bangkit dan kembali berjalan menuju meja. Mengambil dua buah buku yang ada di atas sana, sekaligus undangan Bumi yang tergeletak di atas meja.Sebelum mulai membaca buku yang ia hempas di atas kasur, Damay terlebih dahulu belitan pita yang mengikat undangan Bumi menjadi sebuah gulungan. Konsep undangan Bumi, mi