Bumi mengumpat dengan mengeratkan cengkramannya pada setir mobil. Hampir dua jam ia menunggu di depan kos Damay, akhirnya gadis itu datang juga. Bumi sempat masuk dan mengetuk pintu kamar kos Damay sebelumnya, tapi gadis itu ternyata belum pulang. Sehingga Bumi memutuskan untuk menunggu di luar kos, dengan memarkir mobilnya sedikit jauh.Namun, yang membuat Bumi semakin geram kali ini ialah, Damay keluar dari mobil Gilang. Bahkan, Gilang sempat masuk ke dalam kosan tersebut dan baru keluar sekitar setengah jam kemudian.Apa yang mereka lakukan selama setengah jam, di dalam sana sebenarnya?Bumi kembali mengumpat keras dan kini memukul setir mobilnya, Harusnya Bumi mencarikan kos khusus putri untuk Damay, jadi pria seperti Gilang tidak bisa masuk seenaknya ke dalam sana.Begitu mobil Gilang pergi dan menghilang dari pandangan Bumi, ia langsung keluar dari mobil dan membanting keras pintunya. Seharian ini, Bumi sudah menahan emosi karena sempat melihat dua orang itu lalu lalang di lanta
Bumi yang baru memarkirkan roda empatnya di parkiran depan gedung Jurnal, melihat Damay keluar dari mobil Gilang. Apa itu berarti, pagi ini Gilang menjemput Damay ke kosan gadis itu? Bumi lalu berdecih, ketika melihat sebuah drama dengan tawa yang terus dilontarkan kedua orang itu sambil berjalan menuju pintu lobi. Semalam, setelah Bumi dan Damay selesai berdebat. Atau dengan kata lain Damay telah mengusirnya lagi, ia meletakkan ponsel baru yang sudah dijanjikan sebelumnya di ranjang gadis itu. Entah dipakai atau tidak, Bumi juga belum memastikannya. Namun, ia sudah mendapatkan kos putri dan Damay harus pindah hari ini juga ke tempat tersebut. Bumi tidak ingin, Gilang terus-terusan mengantar jemput Damay seperti sekarang. Akan tetapi … kenapa? Bukankah Bumi sudah memiliki Tari yang sebentar lagi akan dinikahinya? Semakin dipikirkan, Bumi semakin tidak bisa menemukan jawabannya. Belakangan ini, otaknya justru dipenuhi dengan Damay yang tidak mau mengindahkan semua permintaannya. Mu
Bumi tertawa miris, ketika mengingat Baskoro mentertawakan permasalahannya dengan Damay pagi tadi. Pria paruh baya itu tidak bisa membayangkan, kalau yang dikhawatirkan oleh Bumi benar-benar terjadi. Lantas, Baskoro hanya menyarankan untuk berkomunikasi lebih baik lagi dengan Damay, juga keluarga gadis itu.Menjelaskan semua masalah yang terjadi dengan kepala dingin, dan selesaikan baik-baik. Baskoro meyakinkan, kalau Bumi hanya overthinking karena sebentar lagi akan menikah dengan Tari. Apalagi, Damay juga sudah berkali-kali meminta cerai dari Bumi, dan menjamin semua akan baik-baik saja. Karena pada dasarnya, Bumi memang terlalu berlebihan dalam menanggapi kisah yang telah didengarnya.Selama Bumi bersikap baik dan tidak melanggar norma yang ada, semua kesalahpahaman pasti bisa terselesaikan.Lamunan Bumi lantas terpecah saat ponsel yang berada di meja kerjanya bergetar. Tari menelepon, dan untuk itu Bumi dengan cepat mengangkatnya.“Halo,” sapa Bumi masih dengan pikiran yang berca
“Damay … mulai hari ini gue ….”Kedua wanita yang menatap Bumi, menunggu dengan tegang. Satu kata keramat itu akan terucap sebentar lagi dari mulut Bumi, dan … selesai sudah.Namun, yang membuat keduanya kesal ialah, Bumi tidak kunjung melanjutkan sisa kalimatnya. Bumi justru meraup wajah, kemudian berbalik pergi meninggalkan kedua wanita yang sudah berharap banyak dari dirinya.“Bumi!” Tari berseru keras dengan menghentak kesal. Telunjuk Tari kemudian mengarah tajam pada Damay. Rasanya wajar kalau amarah Tari semakin menjadi, karena Damay ternyata juga satu kantor dengan Bumi. Terlebih lagi, calon suaminya itu sampai tidak bisa menentukan sikap, dan bersikap tegas seperti Bumi yang selama ini Tari kenal.“Kalau lo, masih punya perasaan, buruan resign dari sini,” desis Tari. “Jangan pernah lagi ganggu hubungan gue, sama Bumi.”“Saya—”“Bumi!” Tari langsung pergi meninggalkan Damay. Tidak ingin lagi berhadapan dengan gadis itu karena rasa kesalnya yang begitu besar. “Mi—”“Masuk,” putu
Dari ujung tangga lantai dasar, Damay bisa melihat kalau pintu kamar kosnya sedikit terbuka. Mungkin, jaraknya sekitar satu jengkal antara daun pintu dan bingkainya. Damay pun mempercepat menaiki tangga, setengah berlari lalu mendorong pintunya dengan perlahan.“Kak … Bumi?” Ada sedikit perasaan lega karena yang ada di kamarnya saat ini adalah Bumi. Jika orang lain, mungkin ada beberapa barang Damay yang menghilang. “Kok bisa masuk?”Bumi menutup buku yang dibacanya, lalu kembali meletakkan di atas meja di samping tempat tidur. Ia bangkit lalu bertolak pinggang sembari melihat sekeliling kamar Damay. “Gue yang nyewain kamar ini, jadi gue juga punya kuncinya.”Damay melepas tas selempang kecilnya, lalu melemparnya dengan asal di ujung ranjang. Tubuhnya merosot lelah, kemudian duduk bersandar di samping pintu, bersila. “Mau apa ke sini? Mau ngomel-ngomel lagi?”Bukannya menjawab, Bumi justru menunduk untuk mengambil tas Damay. Membukanya tanpa permisi dan melihat isinya. Manik Bumi lant
Entah sudah berapa kali Bumi berdecak pagi ini. Ada yang mengganggu pikirannya, tapi Bumi tidak bisa menjelaskan hal tersebut sama sekali. Harusnya, satu beban Bumi hilang dari pundak setelah menjatuhkan talak pada Damay. Namun, kenyataannya tidak seperti yang Bumi bayangkan.Bahkan, sudah lima belas menit berlalu, Bumi masih saja terpekur di dalam mobil yang terparkir di depan gedung Jurnal. Belum ada niat untuk keluar, karena moodnya pagi ini sungguh tidak bisa ia jabarkan.Bukankah, Bumi seharusnya senang dengan semua ini. Akhirnya, dirinya dan Tari bisa bernapas lega. Tinggal menjalani prosesi yang sudah direncanakan, dan ditunggu-tunggu selama ini.Tatapan Bumi kemudian terhenti pada kursi di sampingnya. Melihat kotak ponsel yang segelnya sama sekali belum terbuka sedikit pun. Sebuah benda canggih, yang dibelikan Bumi untuk Damay, tapi gadis itu menolaknya. Ketika Bumi pulang malam tadi, Damay mengembalikannya ponsel tersebut dan tidak ingin menggunakannya.Bumi lantas mengambiln
“Gue nggak jadi ke kos, ada urusan mendadak. Lo pindah besok pagi, gue jemput jam 5. Bumi.”Sebuah chat langsung Bumi kirimkan pada nomor Damay yang baru disimpannya pagi tadi. Tentu saja Damay tidak tahu jika Bumi sempat menelepon ponsel miliknya sendiri, setelah ia memasukkan nomor Angga.Sebenarnya, Bumi sudah dalam perjalanan menuju kos yang masih Damay tempati saat ini. Namun, ditengah perjalanan Tari menelepon dan meminta untuk bertemu dengan tiba-tiba. Agar Tari tidak berpikiran yang tidak-tidak dengannya, maka Bumi mau tidak mau harus mendahulukan calon istrinya terlebih dahulu.Terlebih lagi, Tari masih saja uring-uringan karena Damay masih bekerja di Jurnal, dan menolak untuk Resign.Bumi pun segera memutar haluan, dan menuju ke tempat Tari berada. Sebuah restoran mewah yang berada tidak jauh dari posisi Bumi saat menerima telepon dari Tari.Hanya sekitar 15 menit, akhirnya Bumi pun sampai dan langsung menghampiri meja yang sudah diberi tahu oleh Tari sebelumnya.Akan tetapi
“Duduk di depan, gue bukan supir lo.” Damay ingin protes, tapi ia tahan. Bokong yang baru saja terhempas pada kursi penumpang bagian belakang pun, harus ia tarik keluar. Menutup pintu, lalu menuruti perintah Bumi agar duduk di sebelah pria itu. “Yakin nggak ada yang ketinggalan?” Bumi memastikan lagi ketika Damay baru menutup pintu mobil. “Nggak ada.” Karena masih sangat mengantuk, maka Damay pun tidak segan untuk menguap begitu lebar. Bumi hanya melirik, lalu mulai menjalankan roda empatnya. Menembus kesunyian awal pagi, yang belum disinari terik sinar mentari. “Sudah telpon istrinya Angga?” tanya Bumi sambil membuka jendela mobil di sisi Damay, lalu di sisinya. Bumi hendak menikmati segarnya udara pagi yang belum bercampur polusi sama sekali. “Sudah.” “Keluarga lo?” “Hmm.” Damay memilih menggumam untuk menunjukkan ketidaktertarikannya. “Selama ini, lo tinggal sama siapa?” Daripada terus berdebat dan bertengkar seperti yang sudah-sudah, Bumi memilih mencari topik obrolan lai