Share

3. Penawar

“Aku tahu itu Jendral. Selain jurnal itu, ada sebuah petunjuk dan mungkin bisa jadi harapan. Tanaman Udambara. Tanaman langka itu pernah sekali disebut Ratu Aruna bisa menjadi penawar segala macam racun. Setetes dari ekstraknya bisa menetralkan racun hanya dalam waktu sehari semalam saja. Aku tidak tahu bagaimana bentuk rupa tanaman itu. Tapi Ratu Aruna menangis memohon pada Yang Mulia Raja Arsyad untuk mengirim banyak jendral untuk mencari tanaman itu ketika Ratu Zara keracunan dan terpaksa melahirkan Pangeran Ibram sebelum waktu kelahirannya.”

Rangakain kaliamat itu terus saja terngiang di telinga Ibram. Mengusik batin dan ketenangannya. Berkali-kali dalam hati mempertanyakah benar atau tidak.

“Ada seseorang yang berniat menggulingkan Raja Arsyad, tapi Ratu Aruna melakukan pertukaran dengan orang itu dengan meninggalkan kerajaan, suami dan juga kedua putranya. Ratu Aruna tahu pelaku yang sudah meracuni Ratu Zara. Demi membuat orang itu berhenti melakukan kejahatannya, dia pun berpura-pura mati. Tapi sebenarnya ia masih hidup dan bertahan mencari obat untuk Pangeran Ibram yang masih memiliki racun dalam tubuhnya.”

Kata orang, kejahatan itu pintu menuju kehancuran. Saat seseorang terjebak dan kembali dengan sengaja melakukan kesalahan, maka ia sedang masuk ke sangkar penyesalan. Sangkar yang akan membawanya jatuh ke jurang neraka. Penderitaan dunia yang sulit digambarkan dengan kata-kata namun konon bisa diungkapkan dengan air mata.

“Maka temui Ibu Suri Sanjana. Dia adalah saksi saat Pangeran Ibram dilahirkan. Dialah yang membantu Ratu Aruna. Katakan padanya, apa yang aku ceritakan tadi Jendral. Kau bisa melihat reaksinya dan mengetahui kejujuranku. Pangeran kecil itu berteriak tapi justru dianggap perusuh. Orang-orang tidak mempercayainya dan malah nekat meminumnya. Sialnya aku dijebak dengan menukar racun semula dengan racun buatanku. Itulah alasan mengapa aku tahu reaksi tubuh Pangeran Ibram.”

Ibram teringat kala pria tua itu memukul dadanya berkali-kali menahan sesak dan sakit tak kasat mata. Penyesalan dua dekade yang menyelimuti tentu saja akan menjadi tekanan yyang menyiksa. Itulah mengapa dirinya tidak pernah setuju dengan hukuman mati. Ia lebih puas melihat lawannya mati tersiksa di hati dan kehilangan harapan dibandingkan berhenti bernapas.

Pangeran Ibram memasuki gerbang rumah sakit istana. Di tangannya sudah ada jurnal racun Ratu Aruna. Sesuatu yang membuat pengasuhnya nyaris pingsan mengetahui siapa pemilik benda itu. Bukan rahasia lagi bagi penduduk Kerajaan Akhtaran jika mereka bersinggungan dengan Ratu Aruna maka akan diintrogasi di pusat pelatihan pasukan Pangeran Ibram, bukan kantor kepolisian kerajaan. Tempat yang sangat dihindari. Jika terbukti bersalah, maka keputusan akhir adalah menjadi penghuni penjara lembah. Langkah Pangeran Ibram bergegas menuju pusat pembuatan obat dan di sana ia melihat tabib paling senior. Pengawal pribadinya memang tidak perlu diragukan untuk membawa pria tua sombong itu kembali dari tempat pribadinya di tengah hutan.

“Ada apa Pangeran Mahkota datang ke tempat ini?” tanyanya tanpa menoleh dan masih sibuk dengan ramuan obatnya.

“Menemui tabib senior yang sombong. Aku tidak punya banyak waktu. Di mana aku bisa menemukan tanaman Udambara?” Pangeran Ibram duduk tepat di hadapannya dan sudut bibirnya berkedut menahan senyum melihat pria tua di hadapannya bergeming.

“Yang Mulia Putra Mahkota, apa muridku yang memberitahukan hal itu? Tabib pribadimu itu pasti sudah putus asa sehingga memberitahumu rumor tanaman itu,” ujarnya kembali menuang potongan halus akar wangi ke dalam panci keramik, “Aku dengar demi mendapatkan penawarnya, kau bersedia menimba kawah gunung ataupun menyelam ke dasar laut.”

“Bukan muridmu yang memberitahuku, tapi tabib mendiang Raja Arsyad,” ucap Pangeran Ibram merogoh sakunya dan mengeluarkan buku kecil selebar telapak tangannya. Jurnal dengan sampul bunga matahari yang membuat pria tua di hadapannya itu terbelalak.

“Dari mana kau menemukan jurnal ini? Apa kau bertemu pemiliknya?”

“Tidak penting aku bertemu Ratu Aruna atau tidak. Aku mendapatkannya dengan penukaran sebuah lahan makam. Tidak sulit jadi aku kabulkan. Aku sudah meminjamkan benda berharga itu atas izin yang mulia Raja. Ada kertas khusus yang terselip di jurnal itu dan aku melihat nama anda tertulis di sana. Aku hanya akan menujukkannya jika pertanyaanku dijawab.” Abram menunjukkan telapak tangan kanannya.

“Aku tidak tertarik.”

“Sungguh? Bagaimana dengan salinan lengkap buku itu disertai cap Raja? Bukankah itu berarti anda akan punya hak untuk mempelajarinya lebih jauh?” Penawaran Pangeran Ibram nyatanya sulit ditolak. Tabib mana yang tidak ingin menginginkan salinan dari catatan langka itu? Ingin rasanya tabib tua itu mencakar pangeran yang tersenyum menyebalkan di hadapannya itu.

“Kita mulai. Di mana aku bisa menemukan tanaman Udambara? Bagiamana bentuk tanaman itu? Siapa saja yang kira-kira memiliki tanaman itu? Berapa banyak yang dibutuhkan untuk dosis penawarnya? Apa yang sebanding untuk pertukarannya?” tanya Pangeran Ibram sambil menurunkan satu persatu jari tangannya yang mewakili setiap pertanyaannya.

Tabib tua yang merupakan tabib paling senior di kerajaan itu pun menjawab satu persatu pertanyaan Ibram. Jawaban yang menurut Ibram sama sekali tidak memuaskan. Ia sudah meminta pada sarjana akademi untuk mencari tahu tanaman itu sejak subuh tadi saat ia kembali dari penjara lembah.

Pagi ini terasa berbeda dari biasanya. Suasana di tempat latihan pengawal dan prajurit istana menjadi sepi karena semua sibuk di posisi darurat masing-masing. Perpustakaan yang biasanya tenang kini seramai pasar karena dipenuhi para sarjana yang sibuk mencari data. Ibram meregangkan otot tubuhnya. Pikirannya seperti benang kusut dan perlahan harus ia jabarkan untuk menyusun rencana lalu bergerak secepatnya.

 “Tanaman itu tidak ada yang tahu ada di mana Yang Mulia. Rumor yang beredar hanya tumbuh sekali dalam puluhan atau mungkin ratusan tahun. Bahkan banyak yang mengatakan jika tanaman itu hanya ada di daerah kutub. Butuh waktu beberapa bulan untuk tiba di sana dengan kapal terbaik milikmu. Bukankah terakhir kali kau ke sana, butuh waktu bertahun-tahun kau kembali? Tanaman itu berwarna putih hingga kuning pucat, seperti jamur kecil yang bisa tumbuh melekat di benda apapun. Batangnya seperti kumpulan benang halus dan di puncaknya seperti ada tetesan air. Aku belum pernah melihatnya langsung, namun seperti itulah yang aku dengar dari guruku. Saat ini hanya ada satu nama tabib yang mungkin bisa aku sebut, Ibu Suri Kerajaan Dharmajaya di daerah Selatan. Kerajaan itu terletak di kepulauan kecil di antara banyak kerajaan. Walaupun kerajaan-kerajaan di  sekitarnya tidak begitu besar, mereka cukup berkuasa. Ekstraknya cukup setetes saja sebagai penawar racun. Mengenai pertukaran, kerajaan itu saat ini tidak dalam keadaan aman. Anda bisa menawarkan keamanan sebagai pertukaran. Kerajaan itu dipimpin seorang ratu menggantikan mendiang suaminya. Putra mahkota kerajaan mereka belum mendapat pengakuan dari kerajaan sahabat, hanya itu yang aku tahu.”

“Kakak! Kau dari mana saja?” suara Pangeran Samir membuyarkan lamunannya. Adiknya menghampiri dengan lesu seolah di pundaknya ada berkarung-karung beras. Ibram mengerti perasaan adiknya yang masih dirundung rasa bersalah. Ibram merentangkan kedua tangannya menyambut Samir.

“Mencari penawar dan melakukan tawar menawar,” jawab Ibram sambil mendekap si bungsu yang manja ini, “Kau sudah melakukan tugas yang aku berikan dan memastikan semuanya berjalan lancar? Kau juga sudah menghabiskan sarapanmu kan?”

“Sudah semua. Semua perintahmu sudah beres. Pengawal pribadimu yang merangkap jadi guruku itu sampai terkejut aku bekerja keras. Aku bahkan sarapan dua piring pagi ini agar aku tidak tumbang. Aku akan membayar kesalahanku. Laporan selesai,” ucap Samir menyandarkan dagunya di bahu Ibram.

“Samir, orang-orang yang sedang tertawa menyaksikan penderitaan keluarga kerajaan saat ini harus dibalas dengan menangis darah. Bersikap biasa saja agar mereka kesal. Mereka itu tidak pantas ditakuti. Kita hanya boleh takut pada Allah saja. Kau ingat itukan? Balas dendamlah dengan cara yang tidak biasa. Jangan buat mereka puas melihatmu menderita. Aku akan menemukan penawar untuk kakak ipar. Dia akan kembali bangun dan membuatkan kita kue kesukaanmu.”

“Kakak, aku seperti orang di ambang putus asa sekarang. Aku dengar sendiri tabib bilang tidak ada penawarnya. Membayangkan seorang Abram tanpa Meghna-nya rasanya pintu neraka akan segera dibuka. Dulu saat kakak ipar mendiamkannya selama dua hari kita bertiga kena imbasnya. Apalagi kalau sampai….”

“Kalau kau tidak percaya padaku, temui tabib sombong di pusat pengobatan. Aku sudah membawa jurnal pengobatan langka sebagi petunjuk untuk membuat penawarnya.”

“Sungguh?!! Mengapa tidak bilang dari tadi? Jadi kau pergi dan kembali membawa jurnal hebat?” tanya Samir dengan mata berbinar, “Tidak, aku akan ke sana sekarang dan melihatnya langsung. Semua orang harus tahu kabar baik ini. Sampai nanti kakak!!”

Pergilah Samir dan sebarkan rumor tentang jurnal penawar racun itu. Pelakunya akan resah setelah tidur nyenyak semalam. Pelakunya akan mengira jika Ratu Aruna telah kembali. Akan kupastikan jika rasa sakit keluargaku ini akan sampai ke nadinya. Siapapun orangnya. Sekalipun ia anggota keluarga kerajaan sekalipun, aku tidak peduli.” Ibram bergumam dalam hati melihat kepergian Samir yang berlari menuju ke pusat pengobatan dengan berseru senang.

Wajah bahagia anak itu akan membuat banyak orang percaya jika ada harapan untuk kesembuhan Ratu Meghna. Kini Ibram perlu bergegas menuju daerah selatan. Ia tahu benar tidak mudah melintasi wilayah kepulauan itu sementara dirinya tidak punya banyak waktu melakukan persiapan lebih dengan mengirimkan surat pemberitahuan. Ia tidak bisa menunggu lagi dan terjebak rasa putus asa.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nona Pelangi
Keren.... Berasa hidup di zaman lampau baca nih novel
goodnovel comment avatar
iras saja
Ya ampun, adik sendiri diperalat sama si Abang... taktiknya ada2 saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status