Share

2. Jurnal racun

"Untuk saat ini tidak, tapi aku tidak akan memenjarakan pelakunya, tapi membuatnya sengsara di sisa hidupnya. Pertama, aku akan membawa kedua tangannya pada Abram. Ya ampun, mental raja ini benar-benar masalah besar. Apa wanita bisa membuat hidupnya berakhir begitu saja sampai kehilangan akal sehat?"

"Kau akan tahu jawabannya saat mencintai seseorang Ibram. Kau tidak bisa berkata-kata nantinya."

"Pelakunya menelan pil beracun yang sama dengan racun yang ada di ujung panah itu. Racun itu bukan racun yang mudah untuk ditemukan. Butuh biaya besar untuk meracik racun mematikan seperti itu. Selain itu, butuh uang yang banyak untuk menutup mulut pembuatnya. Pelakunya tidak akan membunuh peraciknya jika tidak memiliki penawarnya. penawar itu adalah jaminan hidupnya." Ibram memijat kepalanya yang pening.

"Aku juga sependapat denganmu. Paman sudah meminta agar semua sarjana pengobatan berkumpul di aula istana."

"Sabir, apa selama tiga hari aku meninggalkan istana, ada yang mencurigakan selain rapat pagi di aula pertemuan? Alina bilang Mentri Pajak menentang kebijakan baru yang kuusulkan dan tua bangka itu malah memarahimu."

"Lupakan saja soal itu. Masalah kita sekarang adalah penawar racun. Satu hal lagi, pelaku yang membidik dengan anak panah itu seorang wanita," Sabir mengisyaratkan agar Ibram tidak sampai berteriak karena terkejut mendengar pelakunya adalah wanita.

"Pelakunya wanita? Dia menyamar manjadi pelayan?" bisik Ibram.

"Entahlah, saat ditangkap, ia tidak mengenakan pakaian pelayan. Ia bahkan memangkas rambutnya. Jika saja Alina tidak menyadari jika dia wanita, aku pun mungkin akan tertipu. Paman meminta agar tidak ada yang menyentuh tubuh wanita itu untuk sementara waktu sebelum jenis racunnya diketahui."

"Bagaimana Alina bisa tahu dia seorang wanita?"

"Kukunya. Di kukunya ada bekas wewangian dari kamar Ratu Gina. Tidak ada seorang pria pun diizinkan masuk ke dalam kamar pribadi ratu selain raja. Setelah itu, tabib memeriksa tubuhnya dan benar dia seorang wanita." Sabir mengulum senyum melihat keterkejutan Ibram.

"Sejak kapan dia seberat ini?" tanya Ibram ketika menggantikan Sabir memapah Abram. 

Di luar sana sudah terdengar tangisan para bibinya. Keduanya pamit untuk mengantarkan Raja Abram ke kamar Ratu Gina yang letaknya berhadapan dengan kamar Ratu Meghna. Di sana penjagaan cukup ketat atas perintah Ibram. Tabib senior kembali menghampiri Ibram dan mengutarakan pendapatnya sementara Sabir beranjak membawa Raja Abram.

"Pangeran, jika dalam beberapa hari tidak ada penawar untuk Yang Mulia Ratu Meghna, maka sulit baginya untuk bertahan. Saat ini, kita harus menunggu luka tubuhnya mengering sebelum melakukan metode yang sama saat anda diracuni dulu. Yang Mulia Raja mungkin akan keberatan, tapi Ibu Suri Sanjana sudah memberi izin. Beliau mengatakan untuk tidak menunda lebih lama sebelum racunnya semakin menyebar."

"Mengapa Anda tidak membuat penawarnya?" Ibram mendesah berat.

"Jika saja aku tahu komposisi penawarnya, maka sudah aku buat sejak tadi. Aku hanya bisa menekan penyebaran racunnya."

"Tabib, katakan dengan jujur, di mana racun itu dibuat? Di daerah mana? Siapa kira-kira yang membuatnya? Siapa yang kira-kira punya penawarnya? Bersujud pun aku bisa, asal kakakku tidak terpuruk seperti ini. Ratu Meghna bukan sekedar kakak bagiku, dia itu jiwanya kakakku. Katakan di mana aku bisa menemukan penawarnya? Menimba kawah gunung atau menyelam ke dasar laut pun aku bisa asal mereka baik-baik saja," bisik Ibram dengan suara bergetar.

"Temui tabib mendiang raja. Dia mungkin tahu sesuatu. Selain Ibu Ratu Aruna, hanya mantan tabib mendiang raja saja yang memiliki banyak pengetahuan tentang racun," balas tabib pribadi Pangeran Ibram penuh sesal karena solusinya sama saja mengorek luka lama dari pangeran yang berdiri di sampingnya itu.

"Tidak apa-apa Paman. kau hanya menjalankan tugasmu sebagai tabib. aku berjanji akan mendapatkan penawarnya bagaimana pun caranya. Lakukan saja yang terbaik dan aku akan mengupayakan penawarnya. Aku tidak bisa menunggu lama dan berharap pada tabib istana saja. Laporan kesehatan Ratu Meghna hanya boleh disampaikan langsung pada Raja Abram dan Pangeran Sabir saja. Ini perntah dariku karena Yang Mulia Raja belum sadarkan diri."

"Anda mau ke mana Yang Mulia?"

"Ke mana lagi selain penjara lembah. Orang yang kemungkinan tahu ada di sana," ucap Pangeran Ibram bergegas dengan langkah terburu-buru menuju ke kediamannya. Ia akan berangkat malam ini juga.

Sang tabib hanya bisa memandang punggung tegap itu dengan rasa bersalah. Bibirnya kelu ingin mengungkap kebenaran, namun ia pun tahu akibat jika dirinya melanggar sumpah. Bukan hanya air mata yang akan tumpah, tapi juga darah.

"Paman, katakan yang paman tabib sembunyikan dari Ibram," ucap Sabir yang diam-diam mendengar pembicaraan mereka tadi. "Sebagai Kepala Kepolisian, ia pun merasa tidak berdaya saat ini. Aku tahu paman menyembunyikan sesuatu tentang masa lalu. Raut bersalah di wajah paman sekarang sama seperti beberapa tahun lalu saat uji penawar itu gagal."

       ###

Pangeran Ibram menelusuri jalan setapak di kegelapan malam. Derap langkah kudanya terpacu menuju penjara lembah tempat para penjahat yang berani menargetkan keluarganya. Pangeran Ibram dikenal berhati dingin, sangat berbeda dengan ketiga saudaranya. Baginya, para penjahat yang menyakiti keluarganya tidak akan ia biarkan menikmati cahaya matahari, air hangat dan angin segar. Mereka yang terkurung di bawah sana hanya bisa berteman kegelapan dan mendengar suara air terjun.

Penjara lembah terletak di lembah terdalam wilayah Kerajaan Akhtaran. Masing-masing penghuni penjara itu akan terkurung di ruangan berupa lorong sempit yang membatasi gerak mereka. Kebebasan yang mereka dapatkan adalah bebas bernapas, bebas membuka mata dan membuka mulut. Setiap informasi penting yang mereka bagikan akan mengurangi satu hari hukuman mereka. Tersiksa? Tentu saja. Mengakhiri hidup mereka pun tidak akan dibiarkan, sehingga upaya itu pun akan sia-sia.

Suara derap langkah dan tepukan tangan dengan irama khas membuat penjaga gerbang bergegas menghampiri. Mereka sudah hapal betul dengan suara itu. Begitupun pangkal gagang pedang kepala harimau yang ditunjukkan pria bertopeng yang berjalan masuk ke dalam sana. Tak ada yang bicara, hanya menganggukkan kepala dengan isyarat tangan yang bisa terlihat dari cahaya remang obor yang terpasang di dinding gua.

Langkah Ibram terhenti ketika sampai di depan salah satu jeruji besi dan meletakkan obor kecil di dinding. Cahaya itu pun memenuhi lorong sempit di mana seseorang sedang berbaring dengan selimut lusuh miliknya. Seseorang yang sudah berpuluh tahun tidak pernah ia lihat lagi setelah kejadian naas itu. Ibram menarik napas dan menguatkan dirinya, semua ini demi kakaknya dan demi kerajaan ini.

“Aku tahu kau tidak tidur sejak mendengar langkah kakiku. Aku datang membawa sebuah pertukaran. Aku ingin informasi darimu.” Suara tenang dan berat milik Ibram membuat para tahanan lain merinding.

“Apa Raja Abram yang mengirimmu?” tanya pria tua dengan rambut uban panjang hingga ke punggungnya. Pria itu kembali merapatkan selimutnya tanpa berniat bangun dari pembaringannya.

“Bukan Raja, tapi Pangeran Ibram yang mengirimku,” jawab Ibram sendiri dengan menjentikkan jarinya tiga kali dan pria itu langsung bergegas menghampiri jeruji besi.

Sosok pria tegap bertubuh besar berdiri di hadapannya dengan topeng harimau putih menutupi wajah. Tangan kirinya memegang pedang harimau putih yang pangkalnya diukir dengan batu giok hitam putih. Suara jentikan jari itu mengundang perhatian tahanan lain. Mereka menyadari siapa yang tengah berkunjung. Jendral Harimau Putih adalah Jendral kesayangan Raja Abram.

Jendral yang memiliki kemampuan, bukan hanya dari segi fisik tapi juga otak dan jaringan yang tidak seorangpun di Kerajaan Akhtaran yang meragukannya. Satu-satunya jendral yang berani menentang dan melakukan apapun perintah Raja Abram dan Pangeran Mahkota Ibram. Sampai saat ini selain anggota keluarga kerajaan, yang tahu identitas asli Jendral Harimau Putih, hanyalah Panglima Kerajaan, yakni Panglima Ahlam.

“Jendral, Jendral, kumohon kabulkan satu keinginanku. Aku mohon!” pinta mantan tabib mendiang Raja Arsyad itu berlutut dengan menangkup kedua tangannya. Raut wajahnya penuh permohonan seolah yang ingin disampaikannya itu adalah permohonan terakhirnya.

“Katakan lalu kita buat kesepakatan,” suara itu terdengar lebih dingin di banding udara yang menusuk kulitnya. Pria tua itu memberanikan diri untuk memegang jeruji besi. Ibram bisa melihat keriput kasar di wajah yang terakhir kali dilihatnya dua puluh tahun lalu.

“Aku ingin dimakamkan di sisi makam istriku. Aku mohon Jendral. Tidak masalah jika tubuhku dicincang, tapi aku mohon makamkan aku di sisi makam istriku,” mohonnya dengan air mata yang berderai di kedua pipinya.

“Bukankah istrimu sendiri menolak untuk bertemu denganmu saat terakhir kali dia melihatmu? Pangeran Ibram sudah menduga keinginanmu ini dan mengatakan tergantung dari jawabanmu. Jika misiku berhasil, maka aku pastikan kau dimakamkan di sisi makam istrimu,” Jendral Harimau mengulurkan sebuah kertas dengan cap kerajaan milik Pangeran Ibram yang dibaca oleh pria tua itu, “Waktumu untuk memutuskan hingga api itu padam.”

“Tidak, aku akan mengatakannya sekarang. Racun itu adalah racun yang dulunya dikembangkan oleh Ratu Aruna untuk menekan rasa sakit dari cakaran harimau. Dibuatnya untuk mendiang Raja Arsyad yang berniat untuk memelihara seekor harimau. Untuk berjaga-jaga jika seseorang terkena luka cakaran hewan itu, Ratu Aruna membuatnya dengan dosis yang rendah. Tapi seseorang pasti telah mengubah komposisinya menjadi sangat mematikan dengan mencampurkan bisa ular. Ratu Meghna bisa tiada kurang dalam seminggu jika racunnya dibiarkan menyebar. Apa tabib Pangeran Ibram yang menanganinya?” tanyanya dan dijawab anggukan pelan oleh Jendral Harimau Putih.

Pria tua itu kembali memejamkan mata sambil menggeleng pelan. Setelah menghela pasrah, ia kembali melanjutkan ucapannya. “Tabib itu tahu tentang penawar racun dari racun awal yang dibuat Ratu Aruna. Satu-satunya petunjuk untuk saat ini adalah buku jurnal racun milik Ratu Aruna. Aku menitipkannya pada pengasuh Pangeran Ibram. Dia tidak tahu jika itu barang milik Ratu Aruna. Katakan padanya, sesuatu akan hilang bukan karena menjadi abu, melainkan karena dilupakan. Dia akan mengingatnya.”

“Jika kau berbohong? Ucapanmu bukan hanya berupa petunjuk yang tidak berdasar, bukan sebuah solusi.” Tapi balasan pria itu menarik perhatiannya. Lagi-lagi pria itu berbisik penuh hati-hati.

“Terpaksa?” tanya Jendral Harimau Putih penasaran. Ibram bertanya-tanya dalam benaknya. Bagaimana bisa dirinya disebut terpaksa dilahirkan? Pria tua itu menoleh ke belakang jendral dan mengisyaratkannya untuk mendekat. Ibram maju selangkah dan bisa melihat kedua tangan keriput itu gemetar.

“Pangeran Ibram lahir dengan cara yang tidak normal. Ratu Aruna membedah perut Ratu Zara untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Ibram. Saat itu Ratu Zara sekarat dan memohon agar bayinya diselamatkan. Sebenarnya Ratu Zara meninggal sebelum Pangeran Ibram lahir dan Ratu Aruna nekat membedah perutnya sehingga disalahkan atas kematian Ratu Zara,” ucapnya dengan air mata yang kembali jatuh.

Ibram untuk beberapa saat bergeming. Bertanya-tanya benarkah hal itu atau hanya trik pria tua di hadapannya? “Faktanya, Ratu Aruna hanya berusaha menyelamatkan putranya, walau Pangeran Ibram bukan darah dagingnya. Sekaranga, sejarah kembali terulang. Sama halnya dengan Ratu Aruna. Ratu Meghna pun demikian. Dia pun diberi ramuan yang merusak rahimnya sejak keguguran sehingga tidak bisa memiliki keturunan.”

“Itu bukan berita baru. Katakan hal yang lebih berguna!” ucap Ibram lagi dengan menahan diri agar kaki kirinya tidak menendang kaki lemah pria itu. Pria itu berbisik lirih nyaris tidak terdengar.

 “Aku tidak percaya ucapanmu.” Ibram menolak mempercayainya di mulut saja. Namun sebenarnya diam-diam selama ini ia pun mencaritahu keberadaan ibu tirinya itu. Ibram hanya berusaha agar pria tua itu kembali buka mulut dan mengatakan rahasia yang diketahuinya. Jika dirinya terpancing, pria tua itu bisa saja memanfaatkannya. Kembali pria itu berbisik menyebutkan satu nama.

“Pangeran Ibram hanya akan menertawakan bualanmu!” tukas Ibram merotasi bola matanya di bali topeng yang digunakannya. Ia tidak suka mendengar nama itu.

“Pangeran Ibram mungkin akan tertawa. Tapi ia tahu jika tangan kirinya kebas, maka ia akan pusing dan perlahan kehilangan kesadaran. Sampai saat ini lidahnya pasti belum bisa merasakan apapun karena efek racun kedua yang diminumnya. Tepatnya racun untuk Raja Abram dihari penobatannya sebagai putra mahkota. Upayanya menyelamatkan kakaknya itu membuatnya kehilangan indra pengecapnya.” Pria tua itu menunduk penuh sesal.

Tabib yang dulunya terkenal dengan kemampuannya sebagai salah satu ahli penawar racun itu mengusap kasar wajahnya. Menghapus air matanya yang kembali berderai. Ibram bisa tahu jika itu bukan air mata kebohongan, namun air mata penyesalan.

“Menurutmu bagaimana bisa ia tahu jika di minuman Pangeram Abram saat itu beracun? Akulah yang diam-diam memberitahunya.Tapi semua orang tidak ada yang percaya ucapan Pangeran Ibram yang memperingatkan semua orang,” tambahnya lagi dengan tergugu. Ibram mengingat kejadian hari itu. Hari di mana dirinya berlari tanpa henti ke aula istana meski lutut dan sikunya terluka.

“Aku akui jika aku salah ingin meracuni Pangeran Ibram dan Pangeran Abram saat itu. Tapi permohonan istriku membuatku sadar disaat terakhir dan membuat Pangeran Ibram mengetahuinya. Harapanku ia membuat kekacauan agar acara penobatan itu kacau dan aku punya kesempatan membuat minuman itu tumpah," bisik pria tua itu. Tapi ia justru meminumnya di hadapan semua orang,” ujarnya lagi dan kini ia terus membenturkan kepalanya di geruji besi.

“Aku tidak tertarik dengan dongengmu. Siapa yang memiliki tanaman Udambara?” Ibram mengepalkan tangannya menahan marah.

“Aku tidak tahu, sudah puluhan tahun aku di sini. Satu-satunya petunjuk adalah jurnal racun mantan Ratu Aruna. Jendral! Jendral ku mohon sampaikan pada Pangeran Ibram permohonan terakhirku….” Pria tua itu terus berteriak dan menjulurkan kedua lengannya berusaha menggapai punggung yang perlahan menjauh. Pria tua itu diambang putus asa dengan harapan yang tidak disambut. Tangisannya terdengar menyayat hati menyebut lirih nama mendiang istrinya.

###

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nona Pelangi
sesuatu bisa hilang bukan karena jadi abu, tapi dilupakan. I like this
goodnovel comment avatar
iras saja
Penjahat bisa tobat juga ya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status