Malam itu, Brielle baru bisa tidur nyenyak setelah memeluk putrinya di dalam dekapan.Keesokan paginya, dia menerima beberapa pesan, dari Lambert maupun Niro. Lambert mengucapkan selamat atas penghargaan yang dia raih di pertemuan tahunan kedokteran semalam. Dia sendiri sedang dinas ke luar kota, sedangkan Vivian sudah dibawa kembali ke rumah neneknya di luar negeri. Lambert berjanji, bila ada waktu pulang ke tanah air, dia akan mengajak Brielle makan bersama.Sementara itu, Niro mengabarkan bahwa dia sudah dalam perjalanan untuk menjemputnya.Pagi itu juga, Brielle meminta Frederick membawakan beberapa kotak suplemen mahal sebagai hadiah.Syahira sebenarnya berniat mengajaknya makan siang. Namun setelah tahu Brielle harus menghadiri jamuan makan Keluarga Harmawan, dia malah menawarkan diri untuk menjaga Anya."Pergilah! Kalau perlu makan malam juga bisa sekalian di rumah Keluarga Harmawan," kata Syahira sambil tersenyum.Brielle tak bisa menahan tawa kecil. "Makan sekali saja sudah cu
Deru mesin menggema, Porsche Cayenne putih melesat keluar dari garasi bawah tanah. Brielle menggenggam erat setir, di telinganya masih terngiang suara putrinya yang memanggil "Bibi Devina" dengan polos. Dada Brielle terasa sesak."Berengsek!" Brielle meninju setir, emosinya benar-benar tak terkendali.Dia menurunkan kaca jendela, membiarkan angin malam yang dingin menyapu wajahnya dan berusaha menghapus bayangan kotor di pikirannya. Devina menginap di rumah Raka? Saat Anya juga ada di sana? Bagaimana mungkin Raka tega!Sekalipun dia punya kebutuhan, sekalipun dia sedang dilanda gairah, apakah dia tidak bisa menahan diri satu malam saja?Brielle menekan pedal gas, kecepatan mobil melonjak cepat hingga 80 km/jam.Ponsel mobil berdering. Panggilan masuk dari Raka. Dia menekan tombol jawab.Suara Raka terdengar jelas dari speaker mobil yang tertutup rapat, "Tadi kamu telepon aku?""Aku datang menjemput Anya pulang." Suara Brielle terdengar ketus.Di seberang sana hening sejenak, lalu berka
Padahal rekan satu timnya sama sekali tidak tinggal di sana. Niro sengaja menyebut alamat itu, supaya bisa menemani Brielle lebih lama di jalan, sekaligus memastikan dia sampai dekat rumah dengan aman.Niro lalu menghentikan sebuah taksi dan pulang ke rumah.Brielle pulang dengan membawa piala. Begitu melihatnya, mata Lastri langsung berbinar, "Nyonya, Anda menang penghargaan lagi ya!" Brielle tersenyum sambil mengangguk dan meletakkan piala itu di lemari, lalu naik ke lantai atas.Malam ini putrinya tidak ada di rumah, suasana terasa berbeda dan lebih sunyi. Selesai mandi, dia lalu berbaring di tempat tidur sambil membaca buku. Saat itu, ponselnya berbunyi menandakan ada panggilan video.Ketika dijawab, ternyata dari Raka. Brielle langsung menduga, pasti putrinya yang ingin bicara. Benar saja, wajah mungil Anya yang tembam muncul di layar."Mama!" panggil Anya manis sekali."Anya, kenapa belum tidur?""Mama, lihat deh aku ada di mana!" Anya memutar kamera.Brielle langsung bisa meneba
Brielle mengambil kunci mobil sambil mencari kendaraannya. Di tempat parkir bawah jembatan yang remang-remang, sebuah Porsche Cayenne putih menyalakan lampu hazard. Niro berputar ke kursi penumpang, membuka pintu lalu naik ke dalam. Kedua kakinya yang panjang terasa agak canggung, jadi dia kembali menyesuaikan posisi kursinya.Baru saja duduk, Niro mencium aroma harum yang samar, membuat hatinya bergetar. "Alamat rumahmu di mana?" tanya Brielle sambil menyalakan mobil. Pemanas perlahan mengalirkan udara hangat."Jalan Sentral, kawasan dekat TK Harapan," jawab Niro sambil mengencangkan sabuk pengaman.Brielle tertegun, "Bukankah itu dekat rumahku? Kamu tinggal di sana?" "Antarkan aku sampai sana saja! Aku mau ke rumah rekan satu timku," kata Niro.Brielle mengangguk, lalu melajukan mobil keluar dari area parkir. Kerlap-kerlip lampu kota di malam hari tampak gemerlap. Jari lentik Brielle menggenggam setir, dalam pandangan Niro, cara dia menyetir terlihat manis dan anggun.Ketika Niro se
Jared berkata sambil menunjukkan tatapan penuh pujian.Raka menoleh dengan kaget. Dia tak menyangka Niro yang masih begitu muda sudah berpangkat mayor jenderal. Saat ini, Niro sudah keluar dari kursinya, berdiri dengan penuh kesabaran menunggu seseorang.Ketika Raka mengikuti arah pandangannya, dia melihat Brielle berjalan mendekat dari balik cahaya lampu.Piala milik Brielle memang dititipkan pada Niro. Dia bertanya, "Kamu datang naik helikopter?""Ya.""Kalau begitu, biar aku antar pulang. Soalnya sekarang agak susah cari taksi," kata Brielle.Niro tersenyum dengan mata yang berbinar-binar. "Ini sebuah kehormatan."Di sisi tiang besar, Brielle melihat Raka dan Devina. Malam ini Devina hanya mengenakan gaun tipis, tubuhnya menggigil diterpa angin dingin enam derajat.Raka melepaskan jasnya dan menyodorkannya. Devina menerimanya, lalu menyampirkan di bahu. Senyuman manis terukir di wajahnya. Saat Raka lebih dulu beranjak, ekor matanya sekilas melirik ke arah Brielle. Dari kejauhan, Bri
Cherlina tak tahan mendekat ke arah Faye. "Faye, kamu tahu siapa dia?"Faye menatap sosok Niro, lalu menggeleng. "Nggak tahu.""Sepertinya dia cukup dekat dengan Brielle." Cherlina masih penasaran setengah mati, jadi dia memohon, "Coba deh kamu tanya ke kakakmu! Siapa tahu dia kenal."Faye sendiri juga penasaran. Dia mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan ke Devina.[ Kak, kamu kenal pria berseragam militer itu nggak? Sepertinya dia lumayan akrab dengan Brielle. ]Devina melirik layar ponselnya dengan santai. Namun, begitu matanya melihat pesan itu, dia spontan menoleh ke arah Niro. Meskipun hanya duduk, posturnya tetap tegap dan wajahnya memancarkan wibawa militer.Devina menyipitkan mata, lalu membalas pesan.[ Aku pernah lihat dia di jamuan makan di rumah Bu Agnes. Sepertinya anak dari keluarga militer. ]Tak lama kemudian, dia menambahkan lagi.[ Kamu tertarik sama dia? ]Faye membaca balasan itu, lalu menyerahkan ponselnya ke Cherlina.Cherlina menerima. Begitu melihat kata-kata