LOGINRaka berdiri di luar gerbang halaman. Angin malam menyapu wajahnya yang tegang. Dia menoleh ke arah jendela lantai dua yang masih menyala, lalu membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi.Di kamar lantai dua, Brielle berbaring miring di sisi putrinya. Sesekali dia menyentuh kening Anya. Anya tidak mengalami demam tinggi, jadi jelas bukan infeksi virus akut, hanya masuk angin biasa. Selama kekebalan tubuhnya cukup baik, suhu tubuhnya bisa menurun sendiri.Namun, prosedur cuci paru yang Anya jalani dua tahun lalu tetap membuat hati Brielle menegang. Meskipun dia tahu, secara medis operasi itu termasuk prosedur kecil.Saat itu, prosedur cuci paru adalah pilihan terbaik untuk membersihkan lendir di paru-paru putrinya.Pikiran Brielle menjadi kacau. Semakin dia memikirkan, semakin lelah dirinya, hingga akhirnya dia tertidur.Tengah malam, Anya tersedak air liurnya, memicu satu kali batuk. Brielle langsung terbangun dan memeriksa kondisi putrinya.Saat merasakan suhu putrinya sudah tur
Ayah dan anak itu kembali tertawa. Lastri tak bisa menahan diri untuk memperhatikan. Pada saat ini, aura tegas dan dingin yang biasanya ada pada Raka benar-benar sirna. Dia terlihat seperti seorang ayah yang sabar dan lembut."Nyonya, makan malam sudah siap," kata Lastri.Raka menggendong putrinya dan duduk di depan meja makan. Anya memanfaatkan dirinya yang sedang sakit dan berkata dengan manja, "Aku mau Papa suapi aku makan mi.""Anya, makan sendiri." Brielle mengernyit.Raka mengambil sumpit. "Papa suapi kamu beberapa suap dulu. Setelah itu kamu makan sendiri ya?"Anya mengangguk. "Kalau begitu, aku yang suapi Papa!"Ayah dan putri itu kembali memainkan permainan lama mereka. Yang besar menyuapi yang kecil, yang kecil menyuapi yang besar.Brielle menunduk makan, tetapi karena memikirkan kondisi putrinya, dia tak punya selera makan. Dia hanya berharap Anya bisa makan lebih banyak.Selesai makan malam, Brielle yang masih khawatir pun memberi Anya obat penurun panas terlebih dahulu. Pu
Begitu Brielle kembali ke rumah, dia langsung masuk ke ruang kerjanya. Anya dan Smartie sedang bermain. Smartie seperti teman kecil yang pengertian, selalu menjawab pertanyaan Anya dan pandai menghiburnya.Saat waktunya makan malam, ponsel Brielle berbunyi. Dia mengambilnya dan melihat layarnya. Dari Raka.Brielle tidak berniat mengangkatnya, jadi langsung menolak panggilan itu. Tak lama kemudian, suara notifikasi berbunyi. Brielle merasa agak kesal. Dia mengambil ponselnya untuk melihat.[ Anya agak panas. ]Napas Brielle terhenti sejenak. Setelah menatap pesan itu beberapa detik, dia segera bangkit menuju ruang tamu. Dia melihat putrinya meringkuk di sofa, memang tampak kehilangan semangat, tidak seperti biasanya. Dia mengulurkan tangan menyentuh keningnya. Sedikit lebih hangat dari suhu normal."Mama, aku kenapa?" tanya Anya dengan penasaran."Nggak apa-apa, Mama cek suhumu dulu." Brielle mengambil termometer, memeluk Anya sambil mengukur suhu selama lima menit. Saat melihat hasilny
"Brielle memang melahirkan seorang putri, tapi bagaimanapun juga itu tetap darah daging Raka. Kudengar dia sangat menyayangi putrinya itu," Faye berkata. Dia merasa dirinya lebih panik daripada Devina.Dia mengira setelah Brielle bercerai, Devina bisa segera menikah dan masuk ke Keluarga Pramudita, lalu duduk manis menjadi nyonya. Namun sampai sekarang, tidak ada tanda-tanda sama sekali."Aku tahu apa yang harus kulakukan." Devina meletakkan cangkirnya.Faye yang sudah kesal pun bertanya, "Kamu nggak takut Raka masih punya perasaan untuk Brielle?""Lalu, kamu tahu apa tentang Brielle?" Devina mengangkat kepala dan bertanya.Faye tercengang. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui informasi tentang Brielle. Namun, setelah Devina bertanya begitu, dia mulai memikirkannya dengan serius.Sebenarnya Brielle itu orang seperti apa? Faye menyimpulkan dengan singkat, dengan nada sangat meremehkan, "Dia itu orangnya sok suci, sombong, dan punya banyak koneksi."Namun, tatapan Devina justr
Ini pesan yang dikirim dari nomor tak dikenal. Namun dari nada bicaranya, Brielle langsung tahu itu berasal dari Devina.Brielle menatap pesan itu beberapa detik.[ Kalau begitu, jaga saja anjingmu sendiri. ]Nomor itu segera membalas.[ Brielle, kamu nggak takut aku meneruskan pesan ini ke Raka? ]Brielle terkekeh dingin dan membalas.[ Silakan saja kirim ke dia. ]Dia melempar ponsel ke kursi penumpang lalu menyalakan mobil dan pergi.Di sebuah kafe di pusat kota, Faye melangkah masuk sambil membawa tas. Di posisi dekat jendela, Devina bersandar pada sofa sambil melamun.Saat mendengar langkah kaki, Devina mengangkat kepala. Dia langsung melihat bahwa raut wajah Faye penuh dengan amarah dan rasa tertekan."Ada apa?" tanya Devina.Setelah duduk, Faye memijat pelipis. "Kita berdua meremehkan Brielle.""Tadi kamu bilang di telepon, Raka menarik tangannya? Itu benar?" Devina datang ke sini untuk memastikan hal itu."Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Mana mungkin aku bohong?" Fay
Faye menggoreskan sebuah garis keras di buku catatannya. Dia mengangkat kepala dan menatap tajam ke arah Brielle yang sedang berbicara lancar dan penuh percaya diri. Di dadanya, kecemburuan dan ketidakpuasan yang sulit diungkapkan bergemuruh hebat."Aku berpendapat bahwa teori regenerasi sinaps ini," lanjut Brielle dengan suara jernih dan profesional, "Adalah faktor kunci untuk mengatasi penolakan antarmuka BCI.""Aku setuju dengan teori Brielle." Novika mengangguk.Semua orang terpukau oleh teori Brielle. Derrick pun berkali-kali mengangguk, matanya penuh kekaguman.Faye menyerap semua itu dalam diam, jemarinya tanpa sadar mencengkeram telapak tangan karena kesal. Orang-orang hebat dalam penelitian antarmuka otak hadir hari ini, dan sekali lagi Brielle menjadi kontributor utama teori.Tanpa bisa menahan diri, dia teringat masa mereka di universitas kedokteran dulu. Saat itu, dia pernah menemui Brielle dan terang-terangan memintanya keluar dari laboratorium, menyuruhnya pulang menjadi







