*Syafiq*
Aku membuka surat cinta yang terselip diantara tumpukan buku milikku. Lagi. Siapa sih pelakunya? Benar-benar orang tak beradab dan tak punya malu. Bisa-bisanya dia mengirimiku surat cinta padahal aku yakin dia tahu kalau aku sudah mempunyai istri. Aku meremas surat itu dan memasukkannya ke dalam laci. Pokoknya aku harus mencari tahu ini ulah siapa.Dua hari ini aku sibuk mencari bukti bersama Rafi. Ada rasa bersalah pada Ambar karena waktu itu aku malah terkesan cuek dan tak percaya padanya. Padahal begitu kami pulang. Aku segera menghubungi Elang, meminta bantuannya membenarkan ponselku dan Ambar guna mencari bukti disana. Elang itu jaksa dan kenalannya banyak. Pasti dia bisa bantu. Agh, aku memutuskan keluar untuk mencari udara.Bruk.“Duh, maaf Pak Syafiq. Saya gak sengaja.”“Gak papa, Bu Tria.”Aku membantu Bu Tria mengambil beberapa berkas dan buku batik besar yang sepertinya berisi perencanaan atau anggaran dana. SAku, Rafi dan Syam sedang menuju ke rumah dengan mobilku. Tak ada satupun yang berbicara. Sampai dihalaman rumah aku melihat ada motor yang terparkir. Aku langsung mengucap salam dan melihat Ambar sedang menangis dan ditenangkaan oleh Mbok Iroh. Sedangkan di depannya ada seorang laki-laki. Mungkinkah dia mantan pacar Ambar?“Dek ...,” panggilku.“Hiks ... hiks. Wa'alaikumsalam, Mas. Mas lihat aku, ini aku selingkuh lagi. Sama mantanku. Kemarin kamu dengar berita aku selingkuh sama mantan tunanganku, ‘kan? Sekarang kamu lihat aku sama mantan pacarku. Hiks ... hiks ... hahaha.”Deg. Hatiku bagai dihatam godam ketika Ambar langsung menyalahkan dirinya. Padahal aku sama sekali tak berpikiran ke arah sana.“Dek ...,” panggilku lembut.“Cukup Mas, aku udah gak kuat. Mantan babu ini udah gak kuat. Ambar udah gak kuat jadi istri Mas Syafiq.”Aku kaget mendengar ucapan Ambar. Aku langsung mendekatinya, hendak
*Ambar*Aku menghirup aroma wangi bercampur bau ketek yang tiga hari ini sangat kurindukan. Asem ... tapi aku suka. Beberapa hari ini rasanya berat sekali. Aku bahkan hampir menyerah. Syukurlah semuanya sudah diluruskan. Aku dan Mas Syafiq sudah saling mengungkapkan isi hati dan sudah saling memaafkan. Aku memilih mendusel ke arah ketek Mas Syafiq.“Wangi ya?”“Asem.”“Kalau asem kenapa malah ndusel?”“Tahu nih, dikasih pelet ya Mas?”“Hooh. Pelet cinta,” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Maaas. Sakit ... ih,” rengekku manja.“Habis hidung kamu gemesin.” Lihatlah dia malah tertawa, aku mengerucutkan bibirku.“Gak usah manyun gitu ah, nanti Mas khilaf.”“Mana khilafnya?”“Nantang mas, nih?”“Coba saja!” tantangku namun pipiku menghangat. Cup. Kecupan panas dan memabukkan mampir di bibirku. Mas
Aku, Ibu dan Umi sedang bersantai di teras belakang rumah sambil bercerita. Umi hampir seminggu sekali juga pulang. Maklumlah, calon cucu pertama makanya beliau sangat antusias.“Coba Umi udah pensiun. Selama kamu hamil umi disini aja nemenin kamu.”“Terus suami kamu gimana Kinan?”“Hahaha. Sejujurnya aku dilema In. Satu sisi suami, satu sisi calon cucu pertama. Aku jadi galau.”“Hahaha.”Kedua sahabat itu masih bercerita. Aku hanya menjadi pendengar dan kadang menyahut. Sesekali aku mengurut punggungku. Pegel.“Sakit , Nduk?”“Bengkek, Bu.”“Lagian, kamu makan terus makin melebar, ‘kan badannya.”“Iya. Mana hidung Ambar jadi makin minimalis ini? Gara-gara pipinya makin chubby.”“Hahaha. Yang penting Akbarnya suka. Eh, Nduk. Kamu kasih pelet apa sama Akbar? Bucin banget dia sama kamu.”Aku tertawa, gak mungkin aku bi
*Syafiq*Flashback 14 tahun yang lalu.Aku dan beberapa sahabatku sedang menunggu bus menuju ke rumah kami masing-masing. Sudah dua tahun ini, aku mondok di Al-Hikam. Biasanya aku pulang sebulan sekali. Tapi sejak kelas tiga, aku ijin kepada Abah Azzam, untuk pulang seminggu sekali. Mengingat kondisi Eyang putriku yang sedang sakit. Dan alhamdulillah, Abah mengizinkan.“Fiq, bus ke tempat kamu tuh!” ucap Zidan salah satu temanku.“Eh, iya. Duluan semua assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumsalam.”Aku segera memasuki bus. Sampai di dalam aku mencari kursi kosong. Wow, tumben penuh. Lalu kulihat ada dua bangku kosong dan segera menuju ke sana. Sengaja aku duduk di dekat jendela. Aku memang paling suka duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar.Aku merasakan kursi di sebelahku ada yang menduduki. Refleks aku menoleh.Deg. Tampak, seorang gadis manis tersenyum ke arahku.“Maaf Mas, ikut
Aku menatap jam tanganku, masih setengah jam lagi. Sambil menunggu kereta datang, aku bermain dengan ponselku. Akhirnya kereta yang kutunggu datang juga. Aku pun naik dan mencari nomer kursiku.“Permisi, maaf kursi saya di dekat jendela,” ucapku pada seorang wanita yang duduk di dekat jendela, padahal itu tempat dudukku.Wanita itu bergeser tanpa menatapku“Terima kasih.” Aku langsung duduk tanpa menoleh ke arahnya.Kereta pun melaju menuju arah Purwokerto. Aku masih bermain dengan ponselku. Ada beberapa chat yang belum sempat kubalas. Antara lain pesan dari sahabat, rekan kerja, para pembeli yang memesan meubel dan terakhir pesan wanita tercintaku, Umi. Beliau harus mendapat prioritas pertama sebelum membalas chat yang lainnya.Aku sibuk membalas pesan dan tanpa aba-aba seseorang di sampingku menyandarkan kepalanya. Refleks aku hendak menyingkirkan kepalanya. Namun tanganku terhenti sebelum menyentuh kepalanya.Deg. Jantungku be
Ambar*Aku hanya mengamati tingkah suamiku dengan geli. Dia sedang merajuk, ya ampun. Gemesin pokoknya.“Ckckck. Ada umi, Akbar. Inayah nanti sore juga ke sini. Kamu gak usah lebay, ih. Lagian ada abi juga nantinya. Abi udah lagi perjalanan ke sini. Kamu tenang aja. Udah sana berangkat,” hibur Umi. Tapi sepertinya sang putra masih belum mau dibujuk.“Tapi Umi, Akbar gak tenang di sana. Lagian kenapa harus Akbar sih! Dosen lain kan banyak? Ada Rafi yang masih single juga.”“Lah, sejak kapan kamu jadi ngambekan kayak gini? Mana Akbar yang biasanya penuh dedikasi.”“Sejak nikah, Umi,” celetuk Rafi. Rafi pun terlihat jengah melihat aksi masnya yang ngambek gak mau mendampingi mahasiswanya ikutan lomba di Jogja.“Jogja deket Mas, lagian cuma sehari doang.”“Ck. Kamu tuh ya, kamu itu belum nikah Fi. Belum ngerasain jadi suami dan calon bapak. Makanya kamu gak tahu rasanya khawatir.&rdquo
Aku sedang menikmati segelas es dawet dengan nikmat. Sesekali mengelus perutku yang sudah memasuki usia delapan bulan.“Mau makan apa lagi?”Aku tersenyum ke arah Mas Syafiq, “ Enggak Mas, udah cukup ini.”“Beneran? Ntar dedek bayinya ileran loh?”“Ileran gak papa. Nanti kalau udah gede biar bisa bikin peta di baju cowok ganteng.”Aku dan Mas Syafiq tertawa.“Ya udah, mas mau nyambut tamu dulu ya? Kamu duduk di sini aja. Jangan capek-capek.”“Siap, Mas.”Tak lama setelah kepergian Mas Syafiq, Tuti datang.“Minggir. Minggir. Minggir. Aku mau duduk.” Tuti langsung mendudukkan diri pada kursi di sebelahku. Dia menyandarkan punggungnya pada punggung kursi. Tampaklah perut buncitnya yang sama besar dengan ukuran perutku.“Huft, capek Mbar.”“Emangnya kamu habis ngapain?”“Ghibah.”“Ck. Ghibahin siapa
Linda*Lagi, aku harus menahan diri mendengarkan omelan ibuku. Selama dua puluh lima tahun usiaku selalu saja ibu membanding-bandingkan aku dengan orang lain seperti Ambar dan Tuti terutama dengan Ambar.Mendengar nama kedua wanita itu aku merasa sebal. Seperti hari ini, hampir satu jam aku mendengar omelan ibu yang lagi-lagi membandingkan aku dengan Ambar.“Ambar itu bisa ngasih uang tiap bulan, bisa nyekolahin adiknya, bisa beli sawah, bisa rehab rumah. Kamu? Bensin aja masih minta sama ibu.” Begitulah kira-kira perkataan ibuku. Dia sedang panas gara-gara Ambar baru saja membeli sebidang sawah. Lagi, aku yang menjadi pelampiasan kemarahannya. Kadang aku berpikir, ada masalah apa sebenarnya antara ibuku dan ibunya Ambar. Kenapa ibu selalu kebakaran jenggot kalau keluarga Ambar selangkah lebih maju daripada keluarga kami.Menjadi anak tunggal katanya suatu berkah tapi bukanlah berkah yang kurasakan tapi sakit hati setiap hari. Ibuku bukanlah sosok ibu