*Happy Reading*
"Aku capek pacaran, Fan. Kapok tepatnya. Jadi, kalau kamu emang beneran serius sama aku. Langsung ketemu Abah aja, deh. Nanti pacarannya biar abis ijab qobul aja."
Aku pun refleks menggaruk belakang leher yang sebenarnya tidak gatal, saat akhirnya teringat kalimat di atas yang kayaknya memang pernah aku ucapkan pada Irfan.
Jangan tanya bagaimana kondisi wajah dan perasaanku. Tentu saja sudah memerah seperti orang demam kembali, dan kikuk parah.
Ah, lagi-lagi aku mempermalukan diri sendiri.
"Sudah ingat?" Seakan tahu apa yang aku rasakan, Alan pun menyindir. Namun, tetap dengan wajah datar dan hanya melirik sekilas saja ke arahku. Membuatku langsung membuang muka ke arah jendela pintu di sampingku.
"Ternyata susah ya, nikah sama pengacara itu. Sukanya ngajak muter-muter mulu. Padahal jalan pintas langsung ke inti terbuka lebar. Tapi malah milih yang njelimet banget. Gak kasian apa, sama otak saya yang p
*Happy Reading*"Aa, ih! Jangan ambekan kenapa? Bukan gitu maksud Hasmi." Aku ingin meralat ucapanku, agar mood Alan kembali. "Hasmi cuma ..."Kemudian aku pun terdiam sejenak. Memikirkan cara lain untuk mengurangi rasa bersalahku, dan juga tak membiarkan Alan makin salah paham."Cuma apa?" Alan tidak sabaran."Cuma belanja sendiri, biar bisa nawar.""Berarti kehadiran saya memang sangat mengganggu?""Bukan!"Ih, nyebelin! Tumbenan dia ambekan gini.Aku kembali terdiam, memikirkan jalan tengah masalah ini. Gimana caranya bisa belanja sendiri tanpa menyinggung Alan? Tapi juga tidak membuat Alan menunggu dengan bosan.Tau sendiri kan, kalau ibu-ibu udah belanja. Pasti gak bisa bentar. Sekalipun aku belum jadi ibu-ibu. Tapi kadang jiwa ibu-ibu selalu terpanggil jika sedang belanja. Kasian Alan kalau harus kubuat menunggu lama. Karena itulah, sebisa mungkin aku harus cari cara biar Alan sibuk atau--Aha! Aku punya ide
*Happy Reading*Aku mematut diriku cukup lama di cermin kamar. Berlatih beberapa ekspresi berkali-kali. Juga memeriksa setiap detail wajahku dengan seksama.Akan tetapi, tetap saja pada akhirnya aku mendesah kecewa.Sial!Apa aku memang sudah setua itu?"Kamu ngapain?""Astagfirullahaladzim ..."Aku langsung berjengit kaget. Saat sebuah suara berat tiba-tiba muncul tanpa peringatan."Aa ih! Ngagetin aja tau, gak?" omelku akhirnya. Sambil mencebik kesal ke arah Alan, yang sore ini sangat tampan dengan peci dan koko putihnya.Ah, dia pasti baru pulang sholat dari masjid."Saya udah ucap salam tadi. Tapi gak ada sahutan," jawab Alan enteng, sambil membuka peci dan koko yang langsung memperlihatkan kaos polos yang dia kenakan didalamnya.Setelah menggantung koko dan peci di belakang pintu, pria itu berlalu pergi dan duduk di tepian tempat tidur. Sambil lewat, dia pun menyugar rambutnya yang masih sedikit
*Happy Reading*"APA YANG KAMU LAKUKAN PADA ANAK SAYA ALAN?! SAYA BUNUH KAMU KALAU TERJADI SESUATU SAMA ANAK SAYA?!"Alan langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Saat baru saja akan menyapa si penelepon, namun sudah di sambut seruan lantang penuh emosi. Membuatku cukup terkejut mendengarnya."Maaf. Tapi apa maksud Bapak? Saya tidak mengerti," balas Alan akhirnya. Menempelkan kembali ponselnya di telinga.Pria di depanku ini terdiam beberapa saat, menyimak dengan seksama ucapan orang di seberang sana. Keningnya tiba-tiba berlipat dalam."Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar tidak mengerti maksud Bapak. Memanfaatkan? Membuang? Saya tidak pernah merasa melakukan itu." Alan kembali membuka suara lagi.Pria di hadapanku ini kembali terdiam menyimak. Dengan kening berkerut makin dalam. Alan lalu mendesah panjang dan berat, kemudian memijat keningnya beberapa kali."Saya turut prihatin dengan apa yang menimpa anak bapak. Tapi sek
*Happy Reading*Flashback onHari ini,adalah hari ulang tahun pacarku yang ke 27. Namanya Dimas dan dia adalah Dokter umum di kampungku.Sebenarnya aku udah sengaja ambil cuti beberapa hari buat merayakan ultah Dimas hari ini. Tetapi karena aku ingin memberikan kejutan padanya, semalam aku menelponnya jam 12.01 malam untuk mengucapkan selamat ulang tahun, dan pura-pura meminta maaf karena tahun ini tidak bisa pulang untuk menemaninya merayakan hari jadinya itu.Aku ini memberikan surprise gitu ceritanya, gengs. Seperti di tivi-tivi.Biar romantis aku bakalan datang tiba-tiba di depan kontrakannya, dan memberikan kejutan juga hadiah yang sangat dia idamkan selama ini.Sebuah henpon terbaru yang sangat dia idam-idamkan.Terus acara selanjutnya. Nanti aku bakalan ajak dia makan malam berdua dan ya ... pokoknya bakal menghabiskan waktu sama-sama. Apa aja? Yang penting kami bakal pacaran sampe puas.Sekaligus melepaskan rindu, yang su
*Happy Reading*Sebenarnya, saat mendengar nama itu dari umi tadi. Aku ingin sekali mengajukan seribu alasan untuk menolaknya. Bagaimana pun, rasa sakit itu masih kerap kali terasa kala aku mengingat mereka berdua.Nah, jika dengan mengingat mereka saja hatiku udah nyeri. Kalian bisa bayangin kan, gimana sakitnya kalau aku bertemu langsung dengan dua penghianat itu?Sakitnya sampe pengen nyakar kedua wajah mereka!!Tidak, aku bukannya belum bisa move on atau apa? Aku udah bisa move on kok, setelah kejadian itu. Serius, deh! Buktinya sejak kejadian itu, aku sempet menjalin hubungan dengan beberapa pria. Ya ... walaupun tidak ada yang berhasil satu pun. Akan tetapi, yang penting aku nggak trauma sama laki-laki, kan?Hanya saja, entah kenapa hatiku masih saja sakit, jika ingatan itu tak sengaja melintas di kepalaku. Rasanya nyesek gitu. Apalagi yang aku rasakan langsung doubel penghianatan. Dari cinta pertama, plus sahabatku. Jadi, ya ... kalian ngert
*Happy Reading*"Oh ya? Wah, selamat ya, Rin."Alih-alih sakit hati. Aku lebih suka mengikuti permainan Rina saja yang benar-benar keliatan ingin membandingkan aku dengan kakak perempuannya itu.Akan tetapi gak papa, katanya doa itu berbalik, kan? Makanya, aku sih doa yang baik-baik saja buat mereka, biar nanti baliknya baik juga sama aku."Makasih ya, Mi. Alhamdulilah rezeki si jabang bayi kayaknya," jawab Ririn, polos-polos ngeselin gimaaa gitu. Sambil mengusap perutnya yang sebenarnya masih rata, dan menggandeng tangan suaminya yang dari tadi hanya diam.Oh, dia hamil lagi."Wah, doubel selamat dong, ya? Moga sehat-sehat selalu ya, ibu sama debaynya sampai harinya." Doaku setulus mungkin.Tenang pemirsah, aku gak sejahat itu kok, sampai doain dia keguguran. Karena, seperti yang aku bilang tadi, doa itu berbalik. Jadi, siapa tahu abis ini aku yang isi, yee kan?Eh, iya lupa belum toel Alan. Gak papa. Nanti aku toe
*Happy Reading*"Nanti saya delivery order buat situ," jawabku akhirnya dengan sinis.Tamu kok ya ngerepotin."Emang di sini bisa delivery juga? Bukannya ini kampung terpencil?"Allahhu robbi, nih orang gak ngerti sindiran apa gimana, sih?"Tentu aja bisa. Tapi mungkin datangnya dua tahun kemudian," jawabku lagi, yang sukses membuat Gito meradang."Kamu--""Gito cukup!! Kita ini lagi ngelayat. Bukan lagi me time di cofee shop. Jadi berhenti merengek." Dimas memotong omongan Gito dengan pedas. Membuat Gito kembali mendengus kesal.Mamam tuh!!Lalu tak lama kemudian. Teh Laras pun datang, dengan salep luka bakar yang kumaksudkan tadi, dan sebelum Dimas meraih salep itu. Aku lebih dulu mengambilnya, kemudian langsung mengoleskannya pada Umi dengan perlahan. Agar tidak menyakiti kulit tangan Umi yang benar-benar merah akibat ulah si Gito-Gito itu.Bangsul emang tuh cowok! Pepes juga dah nih lama-lama, sama cabe sekilo
*Happy Reading*"Pak Alan?! Astaga! Apa kabar, Pak? Gak nyangka saya bisa ketemu Bapak di sini."Gito tiba-tiba menyeruak ke hadapan Alan, yang baru saja ingin melangkah ke rumah. Kemudian langsung menjabat tangan Alan dengan hormat dan buru-buru. Mirip orang yang sedang cari muka.Jujur, aku masih bingung dengan keadaan ini. Karenanya, lebih baik aku menyimak saja apa yang akan terjadi selanjutnya."Kamu siapa?" tanya Alan datar, ternyata tidak mengenal Gito sama sekali.Alan melihat Gito dengan bingung, sebelum melirik aku dan menaikan alis satu tanda minta clue soal Gito. Tetapi karena aku juga gak tahu, ya sudah kujawab saja dengan bahu terangkat."Saya salah satu karyawan Bapak di Jakarta." Gito mengenalkan diri dengan sopan."Karyawan saya? Baru?" Alan memastikan."Betul, Pak. Saya Karyawan baru di firma hukum Bapak." Gito masih menjawab dengan senyum ala bintang iklan pasta gigi."Oh