Share

Jomlo 3

"Woah! Akhirnya ketemu juga ya, Do!" Salah seorang dari mereka berseru gembira seraya memindaiku. Aku merasa jijik seketika.

"Iya, dong! Gue gitu, loh!" Edo menyahut dengan jumawa. 

"Terus, ini maunya gimana? Langsung aja atau main-main dulu?" Pria itu bertanya kembali.

"Main-main dululah. Lo bawa kan obatnya?"

"Bawa, dong!"

"Bagus. Ayo mulai!"

Aku ingin berlari, ingin memaki, ingin menangis, bahkan memohon agar mereka mengasihani aku. Namun, rasa takut benar-benar menguasai, hingga membuatku jangankan bisa berlari untuk kabur, mengeluarkan suara pun rasanya tidak bisa. Lidahku seketika kelu dengan tenggorokan yang sakit sekali meski hanya untuk menelan salivaku sendiri.

'Ya Allah, haruskah aku berakhir di sini?'

'Haruskah aku menyerah?'

Tidak! Aku tidak ingin menyerah. Aku harus berjuang sekali lagi. Setidaknya, aku harus berlari ke arah jalan besar, dan menabrakan diri pada mobil agar cepat mati. 

Persetan dengan larangan bunuh diri yang tertuang di surah An-Nisa' ayat 29 dan 30. Aku tidak peduli lagi. Itu lebih baik. Karena aku benar-benar tidak sudi menjadi mainan mereka.

Harapanku sudah musnah akan adanya pertolongan. Itu semua karena sikap abai Alan dan tempat ini yang sangat sepi. Kemungkinan bisa kabur pun, bahkan tidak ada. 

Dari pada jadi mangsa mereka, lebih baik aku mati, kan? Aku harus mencari sesuatu yang bisa membunuhku dalam sekejap. Tetapi apa? apa? 

Memindai sekeliling sekali lagi. Tidak ada apa pun di sini selain tanah lapang dan tembok beton tinggi. Ah, aku bisa menghantamkan kepalaku pada tembok itu, kan?

"Eh, eh, Mau kemana?!" Edo menarik tanganku, saat aku berhasil mengumpulkan sisa tenaga dan berniat untuk lari.

"Lepasin!" Aku meronta, berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga.

"Gak akan! Malam ini lo harus jadi budak kami, Lacur!" Edo menarik tanganku kuat, dan melemparkan aku pada teman-temannya yang menyambut dengan suka rela. 

"Lepasin! Lepasin!" Aku terus meronta saat mereka semua mulai menggerayangi.

"Edo, lepasin! Gue mohon!" Aku menangis tersedu. Berharap Edo masih punya rasa belas kasihan.

Namun, percuma saja. Alih-alih rasa kasihan yang aku dapat, Edo malah seenaknya menarik hijabku dan melemparkannya ke sembarang arah.

Astagfirullah!

"Nah, begini lo lebih cantik, Mi." Edo dan teman-temannya tersenyum iblis. 

"Apalagi kalau begini!"

Sret!

"Aaakkhhh!" Aku pun sontak menjerit, saat salah satu dari teman Edo menarik kerah kaos yang aku gunakan. Hingga robek memanjang dan memperlihatkan selangka leher dan lengan atasku. 

Meski aku memang masih memakai tangtop tali lebar di dalam kaos. Tetap saja, rasanya aku makin ingin mati sekarang juga. 

'Auratku! Kehormatanku! Ya Allah ... apa benar kau akan membiarkan ini semua terjadi padaku?'

"Edo. Gue mohon ... lepasin gue. Gue gak mau kayak gini. Gue gak ikhlas." Aku makin menangis pilu menatap Edo dan teman-temannya yang tengah tertawa keras penuh kemenangan.

"Bodo amat! Lo kira gue perduli sama keikhlasan elo? Nggak, ya! Mau lo ikhlas, kek. Nggak, kek. Penting gue dan temen-temen gue puas! Setelah itu, lo mau mati pun. Gue gak peduli!"

Bangsat! Edo memang layak disebut iblis!

"Nah, sekarang minum ini!"

Aku langsung menggigit tangan Edo, saat dia mencengkram dagu dan hendak memasukan sesuatu ke mulutku. Hal itu tentu saja membuat dia melolong kesakitan, dan langsung menampar wajahku keras sekali sampai terlempar kesamping. Kepalaku seketika berdenging.

"Dasar lonte! Lacur! Anjing! Berani lo gigit gue!" Edo menjambak rambutku. Membuat aku memekik kesakitan. 

"Lo emang minta dihajar!" makinya sebelum kembali melayangkan tamparan keras bertubi-tubi.

Sakit, perih, nyeri, panas, kebas. Semuanya bercampur jadi satu. Tidak tahu mana yang lebih mendominasi. Yang jelas, aku hanya bisa menangis saja saat ini. 

'Ya ... Allah, jika memang tidak ada pertolongan lagi. Aku mohon cabut saja nyawaku saat ini.'

"Gak usah pake obatlah! Kita mulai aja sekarang!" Edo pun mengkode teman-temannya untuk memegangi tangan dan Kakiku. Dia mulai membuka resleting celananya dan ....

Ciitttt ....

Brak!

drap ... drap ... drap ....

Bugh! Bugh! Bugh!

Kejadiannya cepat sekali. Tahu-tahu Edo dan teman-temannya sudah terjungkal di atas tanah dengan mengenaskan.

Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan detail, karena terlalu terkejut dengan kehadiran pria itu dan aksinya.

Belum habis rasa terkejut yang aku rasakan. Pria itu, yang tadi sempat mengabaikanku sudah menarik lenganku cepat dan menyeret aku ke arah mobilnya.

"Masuk!" titahnya tegas, membukakan pintu mobil di sebelah kemudi.

Aku yang linglung masih tidak bisa mencerna semuanya, hanya menurut dan duduk cepat di kursi yang dia tunjuk dengan guliran matanya yang tajam. 

Setelah aku duduk, dia pun segera memakaikan aku belt dan melemparkan ponselnya padaku.

"Kodenya 211120. Telpon polisi segera!"

Hah?! apa? 

Seperti tak ingin menunggu aku mencerna semuanya terlebih dahulu. Alan sudah bergerak cepat lagi mengunciku dari luar, lalu kembali mendekati Edo.

Ya. Pria yang menyelamatkanku memang Alan. Pengacara yang biasa aku juluki jalan tol atau manusia batu, yang tadi mengabaikanku. Namun, kini tiba-tiba kembali datang menyelamatkanku. 

Aku tidak tahu motif Alan apa? Dan kenapa bisa berubah haluan secepat ini? Tetapi yang justru membuatku bingung sekarang adalah, Kenapa pria itu balik lagi ke tempat Edo? Kenapa tidak langsung kabur saja bersamaku?

Mau sok jagoan?

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
kskskskkskskd
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
untung Ada alan
goodnovel comment avatar
Mblee Duos
semangat nulisnya kak, ceritanya bagus! Silakan mampir juga ke cerita aku ya Kak, MAMA MUDA VS MAS POLISI. Terimakasih......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status