"Woah! Akhirnya ketemu juga ya, Do!" Salah seorang dari mereka berseru gembira seraya memindaiku. Aku merasa jijik seketika.
"Iya, dong! Gue gitu, loh!" Edo menyahut dengan jumawa.
"Terus, ini maunya gimana? Langsung aja atau main-main dulu?" Pria itu bertanya kembali.
"Main-main dululah. Lo bawa kan obatnya?"
"Bawa, dong!"
"Bagus. Ayo mulai!"
Aku ingin berlari, ingin memaki, ingin menangis, bahkan memohon agar mereka mengasihani aku. Namun, rasa takut benar-benar menguasai, hingga membuatku jangankan bisa berlari untuk kabur, mengeluarkan suara pun rasanya tidak bisa. Lidahku seketika kelu dengan tenggorokan yang sakit sekali meski hanya untuk menelan salivaku sendiri.
'Ya Allah, haruskah aku berakhir di sini?'
'Haruskah aku menyerah?'
Tidak! Aku tidak ingin menyerah. Aku harus berjuang sekali lagi. Setidaknya, aku harus berlari ke arah jalan besar, dan menabrakan diri pada mobil agar cepat mati.
Persetan dengan larangan bunuh diri yang tertuang di surah An-Nisa' ayat 29 dan 30. Aku tidak peduli lagi. Itu lebih baik. Karena aku benar-benar tidak sudi menjadi mainan mereka.
Harapanku sudah musnah akan adanya pertolongan. Itu semua karena sikap abai Alan dan tempat ini yang sangat sepi. Kemungkinan bisa kabur pun, bahkan tidak ada.
Dari pada jadi mangsa mereka, lebih baik aku mati, kan? Aku harus mencari sesuatu yang bisa membunuhku dalam sekejap. Tetapi apa? apa?
Memindai sekeliling sekali lagi. Tidak ada apa pun di sini selain tanah lapang dan tembok beton tinggi. Ah, aku bisa menghantamkan kepalaku pada tembok itu, kan?
"Eh, eh, Mau kemana?!" Edo menarik tanganku, saat aku berhasil mengumpulkan sisa tenaga dan berniat untuk lari.
"Lepasin!" Aku meronta, berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga.
"Gak akan! Malam ini lo harus jadi budak kami, Lacur!" Edo menarik tanganku kuat, dan melemparkan aku pada teman-temannya yang menyambut dengan suka rela.
"Lepasin! Lepasin!" Aku terus meronta saat mereka semua mulai menggerayangi.
"Edo, lepasin! Gue mohon!" Aku menangis tersedu. Berharap Edo masih punya rasa belas kasihan.
Namun, percuma saja. Alih-alih rasa kasihan yang aku dapat, Edo malah seenaknya menarik hijabku dan melemparkannya ke sembarang arah.
Astagfirullah!
"Nah, begini lo lebih cantik, Mi." Edo dan teman-temannya tersenyum iblis.
"Apalagi kalau begini!"
Sret!
"Aaakkhhh!" Aku pun sontak menjerit, saat salah satu dari teman Edo menarik kerah kaos yang aku gunakan. Hingga robek memanjang dan memperlihatkan selangka leher dan lengan atasku.
Meski aku memang masih memakai tangtop tali lebar di dalam kaos. Tetap saja, rasanya aku makin ingin mati sekarang juga.
'Auratku! Kehormatanku! Ya Allah ... apa benar kau akan membiarkan ini semua terjadi padaku?'
"Edo. Gue mohon ... lepasin gue. Gue gak mau kayak gini. Gue gak ikhlas." Aku makin menangis pilu menatap Edo dan teman-temannya yang tengah tertawa keras penuh kemenangan.
"Bodo amat! Lo kira gue perduli sama keikhlasan elo? Nggak, ya! Mau lo ikhlas, kek. Nggak, kek. Penting gue dan temen-temen gue puas! Setelah itu, lo mau mati pun. Gue gak peduli!"
Bangsat! Edo memang layak disebut iblis!
"Nah, sekarang minum ini!"
Aku langsung menggigit tangan Edo, saat dia mencengkram dagu dan hendak memasukan sesuatu ke mulutku. Hal itu tentu saja membuat dia melolong kesakitan, dan langsung menampar wajahku keras sekali sampai terlempar kesamping. Kepalaku seketika berdenging.
"Dasar lonte! Lacur! Anjing! Berani lo gigit gue!" Edo menjambak rambutku. Membuat aku memekik kesakitan.
"Lo emang minta dihajar!" makinya sebelum kembali melayangkan tamparan keras bertubi-tubi.
Sakit, perih, nyeri, panas, kebas. Semuanya bercampur jadi satu. Tidak tahu mana yang lebih mendominasi. Yang jelas, aku hanya bisa menangis saja saat ini.
'Ya ... Allah, jika memang tidak ada pertolongan lagi. Aku mohon cabut saja nyawaku saat ini.'
"Gak usah pake obatlah! Kita mulai aja sekarang!" Edo pun mengkode teman-temannya untuk memegangi tangan dan Kakiku. Dia mulai membuka resleting celananya dan ....
Ciitttt ....
Brak!
drap ... drap ... drap ....
Bugh! Bugh! Bugh!
Kejadiannya cepat sekali. Tahu-tahu Edo dan teman-temannya sudah terjungkal di atas tanah dengan mengenaskan.
Aku tidak bisa mendeskripsikannya dengan detail, karena terlalu terkejut dengan kehadiran pria itu dan aksinya.
Belum habis rasa terkejut yang aku rasakan. Pria itu, yang tadi sempat mengabaikanku sudah menarik lenganku cepat dan menyeret aku ke arah mobilnya.
"Masuk!" titahnya tegas, membukakan pintu mobil di sebelah kemudi.
Aku yang linglung masih tidak bisa mencerna semuanya, hanya menurut dan duduk cepat di kursi yang dia tunjuk dengan guliran matanya yang tajam.
Setelah aku duduk, dia pun segera memakaikan aku belt dan melemparkan ponselnya padaku.
"Kodenya 211120. Telpon polisi segera!"
Hah?! apa?
Seperti tak ingin menunggu aku mencerna semuanya terlebih dahulu. Alan sudah bergerak cepat lagi mengunciku dari luar, lalu kembali mendekati Edo.
Ya. Pria yang menyelamatkanku memang Alan. Pengacara yang biasa aku juluki jalan tol atau manusia batu, yang tadi mengabaikanku. Namun, kini tiba-tiba kembali datang menyelamatkanku.
Aku tidak tahu motif Alan apa? Dan kenapa bisa berubah haluan secepat ini? Tetapi yang justru membuatku bingung sekarang adalah, Kenapa pria itu balik lagi ke tempat Edo? Kenapa tidak langsung kabur saja bersamaku?
Mau sok jagoan?
Akhirnya, polisi datang kurang dari lima belas menit setelah aku menelpon. Tolong jangan tanyakan kenapa mereka tumben cepat datang. Karena aku sendiri pun tidak tahu.Aku hanya menghubungi Bang Elang, polisi yang sudah lumayan aku kenal. Lalu menyampaikan apa yang terjadi di sana. Setelah itu, menunggu seraya terus berdoa saat menyaksikan Live Boxing antara Alan dan genk Edo."Aa--""Pakai dulu!"Baru saja aku mau bersegera keluar dari mobil saat Alan akhirnya membuka pintu. Pria itu malah menahannya, dan menyodorkan sebuah kain dari sela pintu.'Eh, itu hijabku! Ya ampun ... ternyata dia sangat perhatian dan mau repot-repot mengambilkan kain ini demi menjaga kehormatanku.'Seketika hatiku menghangat menerima perhatian Alan barusan."Dibelakang pintu ada jaket bersih. Pakai dan keluarlah," titahnya lagi tanpa melihatku.Aku menurut. Kututup kembali pintu mobil, memakai hijab dengan benar dan mencari jak
*Happy Reading* 'Tembus' Satu kata yang dikatakan Alan malam itu, sukses bikin aku megap megap bak ikan koi kekurangan air. Sumpah demi apapun. Malam itu rasanya aku pengen pinjem helm sama siapa aja yang, setelah mendengar kata itu. Sayangnya, gak ada yang lewat bawa helm, jadinya gak ada yang bisa nyelametin mukaku. Namun yang paling menyebalkan adalah, Alan mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun. Membuat aku malah menebak-nebak isi pikirannya saat itu. Apa kasian? Apa lucu? Atau malah pengen bully? Apapun itu, pokoknya aku tengsin abis! Makanya, setelah kejadian malam itu. Aku sebisa mungkin menghindari Alan, jika melihatnya di rumah sakit, sedang mengunjungi Dokter Karina. Pokoknya, aku belum siap deh, ketemu dia lagi. Masih tengsin banget, Mbak bro! "Mi, kamu beneran gak mau saya titipin laporan ini buat Alan. Biasanya kan, kamu paling getol sama tugas ini." Dokter Karina mu
*Happy reading* "Eh, neng Hasmi. Baru pulang ngevet, ya?" Aku langsung mendengkus kesal, saat baru saja keluar rumah sakit pagi itu, tak sengaja bertemu dengan Bang Elang yang sepertinya sedang ada tugas di sana. Entah itu ada kasus baru, atau mengambil hasil visum salah satu korban kasus yang tengah dia selidiki. Pokoknya, pria itu berhasil membuat aku jengkel dengan sapaanya barusan. Mentang semalam adalah malam jumat, seenaknya aja dia mengira aku baru pulang ngevet. Aku kan baru pulang mandi kembang tujuh sumur--eh, pulang sift malam. "Gak ada sapaan lebih manusiawi apa, Bang? Segala Babi ngevet lo bawa-bawa. Nyindir diri sendiri atau gimana?" Aku membalas dengan kesal. Bang Elang tergelak renyah di tempatnya, seraya menepuk kepalaku. "Mana ada Abang abis ngevet. Orang kayak Abang pastinya abis sunah rosul, dong. Emang situ, jomlo! Oops! Lupa kalau udah punya Aa Alan." Aku tahu dia sedang men
*Happy Reading*Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu ya aku sama nih manusia lempeng. Hingga aku kayaknya gak bisa jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan tuh dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.Lebih menyebalkannya. Tuh cowok kek gak ada kerjaan hari ini. Ngintilin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.Ya ... Ampun, nih cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!"Kenapa melihat saya seperti itu? Gak suka saya gangguin kencan kalian?"Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. M
*Happy Reading*Aku pun dengan otomatis melirik Irfan, yang langsung terlihat gusar melihat wanita itu, sambil mencuri lirik ke arahku.Bangke!!Jadi aku sudah ditipu selama ini?Baru aja aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Alan tiba-tiba menginterupsi dengan santainya."Oke! Karena sekarang bini lo udah dateng. Gue pergi, ya? Ayo, Sayang," kata Alan kemudian, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Apa?!Jadi nih pengacara juga udah tau, kalau Irfan ini punya keluarga? Kenapa dia gak kasih tahu, sih? sengaja ya, mau bikin aku kehilangan muka?Atau … jangan- jangan Dia sekongkol sama Irfan?"Sayang?" panggil Alan lagi. Sambil memberikan kode lewat ekor matanya, untuk meraih tangannya.Sayangnya, karena aku masih shock. Aku pun malah menatap uluran tangan itu dengan linglung. Memang apa yang harus aku lakukan? Menyambut tangan Alan dan ikut dramanya yang lain? Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam sit
Jomlo 9*Happy Reading*"Pergilah," titah Alan, saat kami sudah sampai di lobby Mall.Aku pun sontak melirik Alan dan mengernyit tak mengerti.Pergi?Pergi kemana?"Kenapa diam? Gak mau pergi, huh? Mau minta saya anterin, gitu?" tanya Alan lagi, seraya menaikan sebelah alisnya ke hadapanku.Aku yang masih setengah linglung pun, belum bisa berkomentar apapun. Karena belum sepenuhnya bisa mencerna yang terjadi barusan.Barusan aku lagi ngapain, sih?Lagi jalan sama Irfan, kan?Terus papasan sama Alan. Terus makan siang bertiga, dan … Ah, iya. Aku baru dapat kejutan hebat dari si brengsek Irfan."Saya harap kamu tidak baper karena kejadian tadi, Suster. Tolong, apapun yang saya katakan di dalam. Jangan masukan hati. Karena ... uhm ... sebenarnya saya hanya ingin membalas jasa saja," jelas Alan tiba-tiba. Tanpa diminta siapapun."Balas ... jasa?" beoku reflek"Ya!" jawab Alan tegas. "Sepert
Jomlo 10*Happy reading*"Mi, Bantuin Alan sono," kata Dokter Karin tiba-tiba."Maksudnya, Dok?" bingungkuIya bingung. Orang dari tadi aku cuma jadi pendengar, kok. Tiba-tiba malah disuruh bantuin Alan. Bantuin apa pula?"Ya ... gitu. Bantuin Alan, Mi. Kasian," jawab Dokter Karin makin membuatku pusing."Gaje, deh. Bantu apa pula? Kenal juga enggak sama tuh cewe. Ya, kali saya tiba-tiba muncul belain Alan. Nanti kalau doi salah paham gimana?" protesku tak terima.Suka ngadi-ngadi emang nih Dokter sebiji."Nah, itu maksud saya!"Eh?"Siapa tau kalo tuh cewe liat Alan udah punya gandengan lain. Dia bakal sadar dan--""Dih, ogah!!" tolakku cepat, kala sudah bisa mencerna arah pembicaraan Dokter Karin barusan.Pasti deh, yakin aku mah, kalau dia mau minta tolong biar aku pura-pura jadi pacarnya tuh jalan tol.Ih, gak mau!!"Tapi kan, kasian Alan, Mi," kata Dokter Karin lagi."
Jomlo 11*Happy Reading*"Ka-kamu sendiri mana? Kalo kamu beneran udah tunangan sama dia. Mana buktinya? Cincin tunangan kalian mana?"Eh, Sialan! Gue di balikin, pemirsah!Haduh ... Ini sih, namanya senjata makan tuan. Kagak enak banget sumpah!Bentar, aku mikir dulu, ya?"Gini nih kalo orang gak pernah sekolah. Embak, di mana-mana juga, yang namanya tanya itu, pasangannya jawab. Bukan malah balik nanya. Ngerti gak, sih?"Ngeles terus!"Alah! Bilang aja kalo kamu emang gak bisa buktiin pertunangan kalian. Kamu itu kan, cuma ngaku-ngaku!"Ya, salam. Pinter juga nih cewe."Eh, gak usah kaya maling teriak maling deh, ya? Saya sih, gak perlu buktiin apa-apa di sini. Karena saya memang di pihak yang benar. Tuh, buktinya aja calon saya lebih pro ke saya kan, dari pada ke situ?"Huh! Jangan harap aku mau ngalah, ya? Gini-gini juga aku pernah jadi juara debat loh, se-RT waktu di kampung."Mana bisa itu dija