Share

Jomlo 4

Akhirnya, polisi datang kurang dari lima belas menit setelah aku menelpon. Tolong jangan tanyakan kenapa mereka tumben cepat datang. Karena aku sendiri pun tidak tahu. 

Aku hanya menghubungi Bang Elang, polisi yang sudah lumayan aku kenal. Lalu menyampaikan apa yang terjadi di sana. Setelah itu, menunggu seraya terus berdoa saat menyaksikan Live Boxing antara Alan dan genk Edo. 

"Aa--"

"Pakai dulu!"

Baru saja aku mau bersegera keluar dari mobil saat Alan akhirnya membuka pintu. Pria itu malah menahannya, dan menyodorkan sebuah kain dari sela pintu. 

'Eh, itu hijabku! Ya ampun ... ternyata dia sangat perhatian dan mau repot-repot mengambilkan kain ini demi menjaga kehormatanku.'

Seketika hatiku menghangat menerima perhatian Alan barusan.

"Dibelakang pintu ada jaket bersih. Pakai dan keluarlah," titahnya lagi tanpa melihatku. 

Aku menurut. Kututup kembali pintu mobil, memakai hijab dengan benar dan mencari jaket yang Alan sebutkan tadi. Wangi khas Alan pun langsung terasa memeluku. Membuat aku nyaman seketika. 

"Bro, jangan lupa. Lo sama Hamsi harus bikin BAP abis ini. Biar tuh cunguk segera di proses." Bang Elang menghampiri kami. Saat Edo dan kawan-kawannya sudah berhasil diamankan. 

"Biar saya saja. Hasmi tidak usah," jawab Alan cepat. Aku hanya menyimak dari dalam mobil

"Loh, tapi bukannya ini kasus percobaan pemerkosaan pada Hasmi, ya? Kenapa gak sekalian saja? Biar hukumannya double," usul Bang Elang. 

"Tidak usah. Hasmi tidak usah dilibatkan. Biar saya yang urus semuanya." Alan bersikukuh. 

"Tapi--"

"Anda tidak usah khawatir. Saya pastikan mereka akan mendekam lama di dalam penjara, tanpa harus membuka apa yang sudah terjadi pada Hasmi."

"Tapi Kenapa lo gak mau nyuruh Hasmi bikin BAP juga. Kan, kejadian ini memang harus dilaporkan ke pihak berwajib." Bang Elang masih mencoba meyakinkan Alan.

"Nama baik Hasmi akan tercemar jika terlibat. Meski ini hanya kasus percobaan pemerkosaan, tapi orang-orang tidak akan melihat Hasmi dengan tatapan yang sama lagi."

Lalu masalahnya di mana? Aku tidak keberatan padahal. Tapi, kenapa Alan sangat mengkhawatirkan hal itu? Kenapa Alan sampai sengotot ini melindungi nama baikku? Padahal dia kan cuma pengacara atasanku.

"Saya gak papa, kok." Aku turut buka suara setelah keluar dari mobil Alan. "Saya gak keberatan dengan opini masyarakat nanti. Saya--"

"Saya yang keberatan." Alan memangkas ucapanku cepat, dengan wajah datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Juga tatapan tajam yang mampu membuat aku khilangan kata-kata.

Nyaliku langsung ciut untuk membantahnya lagi. Namun di sisi lain, hatiku justru berdebar tak tahu malu menerima sikapnya yang protektif hari ini. 

Ada apa dengan diriku? Ada apa pula dengan sikap Alan hari ini?

Padahal sebelum ini. Biasanya kami seperti tom n jerry jika bertemu. Karena meski wajah dan sikap Alan kaku mirip beton, tapi tidak dengan mulutnya yang selalu mengeluarkan kata-kata pedas. Membuat aku kerap kali terpancing emosi tiap kali berbicara dengannya. Lalu ... apa arti sikapnya hari ini?

"Ekhem!" Bang Elang meminta atensi saat hening malah tercipta di sana. "Ya udah kalau lo maunya begitu. Tapi, lakukan cepat, ya? Gue pamit." Bang Elang memilih tak melanjutkan debatan. "Ah, iya. Hasmi, kamu mau pulang sama Abang atau--"

"Dia pulang bersama saya." Lagi, Alan menyela seenaknya. Membuat Bang Elang tiba-tiba mengulum senyum penuh arti. 

Sementara aku? Malah makin bingung dengan sikapnya ini. 'Kenapa aku merasa Alan aneh malam ini?'

"Ya udah, gue pamit. Baik-baik di jalan, ya? Dan jangan lupa obati luka-luka kalian," ucap Bang Elang mengingatkan seraya menepuk kepalaku pelan. 

Aku menanggapinya biasa. Karena Bang Elang memang selalu seperti ini. Polisi playboy itu memang sering seenaknya menepuk kepalaku. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Alan. Pria itu kini terlihat menatap Bang Elang dingin.

'Kenapa? Apa dia cemburu? Tapi hak apa dia cemburu? Kami bukan sepasang kekasih!'

****

"Sudah?"

Aku hanya mengangguk pelan menjawab tanya Alan, seusai mendapat perawatan di klinik terdekat untuk luka-luka yang aku dapatkan dari Edo. 

Sebenarnya, Alan juga seharusnya mengobati lukanya itu. Tetapi dia menolak, dan katanya akan langsung melakukan visum ke rumah sakit saja untuk kelengkapan berkas. 

Sampai sekarang aku masih belum paham kenapa dia melarangku turut andil dalam melaporkan Edo. Ingin bertanya, aku tidak berani. Tatapan Alan terlalu tegas, seperti memberi peringatan jika dia tidak ingin dibantah. Jadi aku pun akhirnya menurut saja. 

"Okeh, kita pulang," ajaknya setelah mendapat jawaban dariku. 

"Tebus obat dulu, A'." Aku mengingatkannya. Alan hanya mengangguk. Lalu menggiringku mengikuti langkahnya ke parkiran. 

Obat yang diresepkan Dokter di sini memang sebagian tidak tersedia sementara. Habis katanya, makanya aku harus mencari apotik lain demi melengkapi resep tersebut.

"Nanti kamu tidak usah turun. Biar saya saja yang beli." 

Alan mulai lagi memberikan larangannya. Akan tetapi, kali ini aku tidak bisa menurut. Soalnya ....

"Tapi saya ada yang mau dibeli juga nanti."

"Apa?"

'Aduh! Masa aku harus bilang hal itu. Mana bisa. Aku malulah kalau minta hal itu padanya.'

"Gak usah deh A'. Saya beli sendiri saja." Terpaksa aku pun menolaknya. Karena memang yang ingin aku beli nanti bersifat pribadi. 

"Kenapa? Kamu tidak percaya saya bisa membelikan barang itu?" Alan malah salah paham.

"Bukan begitu ih, Aa. Jangan suudzon." Aku membantah cepat. 

"Lalu?" kejar Alan penasaran.

Aduh, gimana ini? Aku malu memintanya. Rasanya tidak pantas saja aku meminta hal itu pada pria. Apalagi kami tidak punya hubungan apapun. Mana bisa aku kurang ajar.

"Pokoknya saya beli sendiri saja. Soalnya ini sifatnya pribadi." Sebisa mungkin aku memberi alasan agar Alan tidak melarangku kembali. 

Alan terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengerti seraya terus fokus pada jalanan di depan. 

"Sebenarnya saya tahu apa yang ingin kamu beli," ucapnya tiba-tiba.

"Apa?" tanyaku penasaran. 

"Pembalut atau obat haid."

Eh! 

"Kok Aa tahu?" tanya itu meluncur cepat tanpa bisa aku cegah. 

Alan tidak langsung menjawab. Pria itu malah menyuruh aku keluar karena kami memang sudah sampai. Tetapi sebelum keluar, Alan mengambil sebuah jas dari kursi belakangnya. 

Kukira buat apa. Ternyata Jas itu dia ikatkan di pinggangku, lalu memberikan kode padaku untuk melihat kursi samping kemudi yang terdapat noda merah di sana.

"Kamu 'Tembus' Hasmi. Makanya tadi saya larang keluar mobil."

Seketika aku ingin pinjem helm orang yang lewat.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
y ampunnnn.... malu akuhhh
goodnovel comment avatar
PenTi Komenq Bae Lach
Ya allah malu bngt hasmi......
goodnovel comment avatar
Dewi Balfas
ya Allah malu.a hasmi wkwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status