"Kak, lagi apa!" kak Yati kaget mendengar panggilanku.
"Restiii...kaget kakak" kakak iparku itu geleng-geleng kepala."Kakak sih...masak kok sambil ngelamun," ucapku. Senyum manis pun terukir di wajah lusuh kakak iparku itu. Walau lusuh, tapi terlihat sangat tulus."Anak-anak mana, Kak?" tanyaku lagi."Lagi main di rumah kak Minah, Res.""Kaak...""Hmmm..." sahut kak Yati."Aku sebel sama kak Airin, Kak.""Kenapa lagi?" tanya kak Yati."Pemalas banget, bangun paginya siang. Masak nggak bisa, aku capek Kak. Semua tugas rumah aku yang ngerjain," ceritaku pada kak Yati.Kak Yati hanya diam, seperti tak merespon ucapanku. Tapi, ku tahu dia hanya pura-pura begitu. Seperti biasa, dia tak ingin terlalu ikut campur urusan orang lain."Kak Yati sih jarang sekali main ke rumah.""Kakak lagi repot, Res," ucap wanita sederhana itu seraya tersenyum. Tapi, dari senyumannya seperti menyembunyikan sesuatu.___________________"Kok Mak yang nyuci piring?" tanyaku. Terlihat emakku berdiri di hadapan piring kotor yang memenuhi wastafel."Iya, Kau lama banget main ke rumah Rozi...""Kak Airin mana?""Ada di kamar kayaknya," jawab emak pelan."Tak tahu di untung..." lirihku. Dengan emosi membuncah, aku tergesa-gesa ke kamar yang di tempati istri abangku itu"Kak Airin..." ucapku seraya menarik tangan kak Airin dengan kasar. Kak Airin pun duduk dengan terpaksa."Apa sih, Res. Nggak ada sopan santunnya Kau ini!" seru kak Airin."Tak usah beritahu aku tentang sopan santun. Kalau Kakak sendiri tak mengerti soal itu." aku melotot tajam padanya."Maksudmu apa Resti?" tanyanya pura-pura tak tahu."Kakak punya otak nggak sih?""Lancang Kau ya Resti!" bentaknya. Tatapan mata kak Airin mengisyaratkan emosi yang dalam padaku."Hh!... kalau Kakak punya otak, tak mungkin Kakak tak punya rasa malu seperti ini. Emak nyuci piring di belakang, Kakak enakan main HP di sini!" ucapku dengan lantang."Heh... Resti, Kau kira aku ke sini untuk jadi pembantu. Enggak ya, aku ke sini sebagai tamu. Enak saja Kau minta aku nyuci piring terus-terusan di rumahmu ini. Emang Kau kira aku mau di perlakukan seperti Yati. Lihat emakmu itu sudah tua, tapi tak juga sadar. Kalau aku jadi Yati sudah lama mulut emakmu itu aku sumpel dengan sambel.""Hah! Tamu kata kakak."aku geleng-geleng kepala, "Pengemis baru betul," ucapku dengan sinis."Aku nggak ngerasa ngemis tuh. Kalau membodohi keluargamu iya, terutama emakmu yang gila harta dan jabatan itu. Nanti kalau sudah aku dapatkan uang hasil penjualan tanah itu, aku akan segera pergi dari sini. Dan aku bisa shopping sepuasnya dengan uang hasil ngemis, eh membodohi emakmu itu hahaha.""Katanya Kau wanita berpendidikan, tapi tak tahu adap seperti ini." aku tersenyum sinis dan mengalihkan badanku ingin pergi dari hadapannya."Kau ya Resti..." kak Airin mendorongku, sehingga aku hampir tersungkur ke depan.Aku geram aku balas ia dengan kembali mendorongnya. Hingga ia terpental ke belakang. Untung Raffa sedang tidur, jadi ia tak sempat melihat pertengkaran Tante dan mamanya ini."Aduh!" jerit kak Airin. Terdengar melengking di telingaku."Ada apa," ucap emak berjalan tergesa-gesa dari belakang.Begitu juga dengan bang Rido, dia yang sedang tidur di depan TV pun tersentak bangun mendengar jeritan istrinya."Maasss..." kak Airin pun berhamburan ke pelukan bang Rido. Terlihat jelas ia memaksakan matanya untuk mengeluarkan airnya. Ya, kakak iparku itu pura-pura menangis."Ada apa, Dek?" tanya bang Rido cemas."Resti... Mas," ucapnya kak Airin lagi seraya menunjuk ke arahku."Kau apakan Airin, Resti?" tanya emak padaku."Nggak ku apa-apain...""Bohong, Mak. Resti dorong aku," ucap kak Airin tergugu di pelukan bang Rido.Aku hanya terdiam memandangi dan mendengar kak Airin dan sandiwaranya itu."Sudah gila Kau Resti!" bentak bang Rido pula."Sudah... sudah jangan ribut, ayo Airin ceritakan sama emak. Mengapa Resti mendorongmu," ucap emak. Kak Airin menatapku tajam, mungkin ia sudah mempersiapkan senjata untuk menjatuhkan ku. Tapi aku tak gentar sedikitpun. Aku berdiri santai menunggu ia bicara. Dan tak sabar mendengar apa yang akan dia katakan."Resti, Mak. Dia marah dan mendorongku, karena saat pulang Resti melihat Mak sedang mencuci piring, padahal aku baru saja istirahat setelah menyapu seluruh rumah ini," ujar kak Airin dengan nada suara manja. Muak sekali aku mendengarnya."Resti juga bilang, kalau Emak tak suka padaku. Karena aku tak seperti kak Yati yang sangat cekatan melayani keluarga ini...""Tak pernah emak bilang begitu," sanggah emak pula. Emak melotot tajam padaku, "Resti apa maksudmu bicara seperti itu?""Iya Resti, jangan samakan Airin dengan kak Yati. Mereka itu sangat jauh berbeda," sahut bang Rido pula. Abang kandungku itu pun mendelik tajam ke arahku. Ku lirik pada kak Airin, ia menyunggingkan senyum, pertanda ia berhasil membuat bang Rido dan emak percaya pada dongengnya."Sudah bicaranya, Kak?" tanyaku pada kak Airin, "Puas Kakak sudah bisa berbicara bohong...""Resti! Jangan memperpanjang masalah, lebih baik sekarang Kau minta maaf pada Airin," ucap bang Rido sangat lantang."Hh!... baik aku akan minta maaf." kak Airin tersenyum puas, "Tapi, sebelum aku minta maaf, lebih baik abang dan Emak dengarkan ini dulu," ucapku seraya mengeluarkan gawai dari saku cardigan-ku.Aku stel sebuah rekaman suara. Emak terperangah mendengarnya dan bang Rido geleng-geleng kepala seraya menatap istrinya tajam."Oo...ternyata seperti itu kau terhadap emakku, terhadap keluargaku ya, Airin. Aku kecewa padamu..." lirih bang Rido seraya melepaskan tangan Airin yang sedari tadi ia genggam. Kemudian bang Rido pergi dengan wajah yang teramat kecewa.Emak juga demikian. Ia pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Hanya kekecewaan yang tergambar jelas di raut wajahnya.Sekarang tinggal aku dan kak Airin saja. Aku mendekat pada kakak iparku yang cantik itu, lalu berbisik, "Aku lebih pintar 'kan dari Kakak. Makanya jangan coba-coba untuk melawan Resti."Aku melangkah keluar kamar ini dengan tersenyum puas. Tadi sebelum menemuinya aku stel dulu aplikasi perekam suara di handphoneku. Menghadapi orang licik, kita harus licik juga bukan?"Mas... maafkan aku..." lirihku. Lelaki tampanku itu sedang duduk termenung di teras samping rumah mertuaku ini.Dia bergeming, masih tetap termenung, entah apa yang ia pikirkan.Aku pun duduk di sampingnya, tanpa ditawari, "Mas, dengarkan aku dulu," ucapku lagi seraya memegang tangannya dengan lembut."Aku... kecewa padamu, Dek..." lirihnya. Tatapannya masih lurus ke depan."Adek, sama sekali tak menghargai keluargaku. Terutama emak, wanita yang telah melahirkan aku.""Bukan begitu, Mas. Tadi, aku hanya terpancing emosi mendengar ucapan Resti," ucapku seraya mendengus kesal. Terbayang wajah ngeselin gadis nyebelin itu, arrgh!"Mas dengerin sendiri 'kan, bagaimana Resti berbicara padaku. Tidak sopan sama sekali," ucapku lembut. Berharap mas Rido luluh mendengarnya."Sudah tahu Resti memang begitu, masih Adek dengar," ucapnya seraya melihat ke arahku. Kelihatannya, mas Rido sudah mulai mendengar ucapanku."Ya, Mas. Maaf..." lirihku lagi. Aku tahu mas Rido tak akan bisa marah lama-lama
"Mas...kapan sih, mobil kita di ganti," rengek Airin, istriku. Dia baru saja pulang dari arisan sosialitanya."Lihat Amel, teman arisan adek, tadi pamer mobil baru. Padahal suaminya hanya punya toko grosir sembako. Masa adek yang istri seorang pengusaha masih pakai mobil butut sudah ketinggalan zaman pula," ucapnya lagi seraya bergelayut manja di lenganku."Jangan samakan rezeki orang dengan kita, Dek. Mana tahu suaminya mbak Amel punya toko grosir banyak dan tersebar di mana-mana...""Ah... Mas, selalu ngomong begitu. Suka banget hidupnya stay di tempat saja. Susah sekali di ajak maju," sungutnya. Wajah cantik itu seketika muram."Bukan begitu, Dek. Tapi, untuk saat sekarang mas memang tak bisa mengabulkan permintaanmu, usaha kita lagi sepi, Dek," ucapku lagi, berusaha menjelaskan."Aku 'kan nggak minta di belikan mobil lagi, Mas. Mobil yang kita sekarang di ganti ke yang lebih bagus, palingan Mas tambah dikit aja," ucapnya masih keukeh dengan keinginannya."Apa bedanya sih, Dek. Ade
Air muka suamiku berubah, setelah tadi ia berbicara di telpon dengan seseorang. Aku pun mendekat ke arahnya perlahan, mana tahu ia butuh teman berbagi."Kita ke rumah emak sekarang, Dek," ucapnya dengan cepat. Wajah tampan itu terlihat gusar."Ada apa, Bang?" tanyaku."Emak pingsan, Dek. Barusan Resti yang nelpon.""Emak sakit, Bang?" tanyaku pula."Nggak tahu, Dek. Tadi Resti cuma bilang emak bertengkar dengan bapak," jelasnya lagi, kemudian bang Rozi pergi memanggil anak-anaknya yang sedang bermain di rumah tetangga sebelah."Dek, abang antar anak-anak ke rumah kak Minah dulu ya," ucapnya lagi. Rani, Alif dan Pian sudah nangkring di atas motor ayah mereka."Iya, Bang," jawabku. Kemudian masuk membawa Ilham ke dalam rumah untuk ku pakaikan baju, karena tadi Ilham bermain hanya memakai singlet saja.___________________"Mana emak, Res?" tanya Bang Rozi pada adiknya itu. Mata Resti terlihat sembab, seperti habis menangis."Di kamar, Bang," jawab Resti serak. Bang Rozi pun segera pergi
"Pak..." panggilku pelan. Saat bapakku sedang asyik memberi ayam peliharaannya makan."Hhmm..." sahut bapak. Ia menoleh sekilas padaku, setelah itu kembali fokus dengan ayam-ayam itu."Resti...mau bicara sebentar, Pak," ucapku lagi dengan perasaan ragu-ragu."Ya, bicara saja Res." lelaki cinta pertamaku itu tersenyum. Aku menghela nafas panjang, ini adalah waktu yang pas untuk aku kasih tahu rekaman itu pada bapak. Bang Rido sedang ke kota menemani istrinya ke salon. Emak juga ikut dengan mereka, katanya sekalian jalan-jalan untuk nyenengin emak. Entahlah, sepertinya ada embel-embel lain, makanya kak Airin begitu manisnya mengajak emak jalan-jalan."Tapi, Bapak janji. Setelah mengetahui semuanya nanti, Bapak harus tegas mengambilnya keputusan...""Ayo sini." bapak menarik tanganku untuk duduk di bangku di bawah pohon mangga.Setelah kami duduk, aku putar rekaman suara kak Airin bertengkar denganku tempo hari. Bapakku tak memberi tanggapan apa-apa tentang rekaman itu. Mukanya terlihat
"Dek..." panggil suamiku pelan."Hmm," sahutku seraya mengalihkan badanku berhadapan dengannya."Belum tidur," ucapnya lagi. Matanya menatapku lekat, seolah ingin menyampaikan sesuatu.Aku menggeleng."Dek, tadi bapak bilang...ingin mengalihkan sertifikat tanah itu atas namaku," ucapnya lagi dengan pelan."Hah!..." mataku terbelalak."Menurutmu bagaimana, Dek?" tanya bang Rozi lagi.Aku menarik napas panjang seraya menatap lelaki yang sangat kucintai itu."Aku yakin Abang pasti sudah tahu jawabannya," jawabku lembut. Aku terus menatapnya.Suamiku mengangguk, kemudian tersenyum seolah mengisyaratkan kalau dia mengerti dengan apa yang kupikirkan.___________________"Bang Rozi! Bang Rozi!" lengkingan suara terdengar dari teras rumahku. Rumah yang hanya sepetak ini memudahkan suara itu sampai di telingaku, walaupun aku di belakang rumah sekalipun.Aku bergegas menuju teras, di sana telah berdiri Rido sambil berkacak pinggang."Mana bang Rozi, Kak?" tanya Rido saat melihatku."Ada, lagi i
"Bapak kenapa?" tanyaku pada lelaki cinta pertamaku itu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk termenung di depan TV yang sedang menyala, matanya sama sekali tak fokus kepada layar kaca itu."Hmmm... nggak ada apa-apa, Nak," jawabnya pelan, ia terlihat menarik napas dalam-dalam."Ayo cerita pada Resti, Pak," ucapku seraya memegang tangannya.Bapak menoleh, tapi terlihat seperti ragu berbicara."Resti akan jadi pendengar yang baik. Ayo cerita, Pak. Jangan di pendem sendiri," ucapkan lagi seraya bergelayut manja di tangan yang telah menafkahi ku itu.Bapakku mengangguk, "Bapak bingung, Nak... Emakmu terus memaksa bapak menjual tanah itu," ucapnya pelan, terdengar seperti bisikan di telingaku."Tapi, setelah melihat kelakuan Rido dan Airin bapak tak rela kalau uangnya di serahkan pada mereka." aku masih diam mendengarkan curhat bapakku, tak ingin berkomentar apapun, karena tadi aku sudah berucap kalau aku akan jadi pendengar yang baik."Bagaimana menurutmu, Nak?" bapak meminta pendapatku, o
"Abang saja yang pergi ya," ucapku pada bang Rozi. Malam ini, selepas magrib aku dan anak-anak di ajak ke rumah emak oleh bang Rozi, katanya besok Rido mau pergi. Jadi malam ini kami di suruh kumpul bersama di sana."Jangan gitu dong, Dek. Ini bapak yang minta, masak Adek tolak," balas bang Rozi pula."Tapi, Bang...""Kenapa?...Kau takut di sindir emak dan Airin," ucapnya lagi, seolah bisa membaca pikiranku.Aku tersenyum kecut mendengar ucapannya, "Tenang ada...Abang," ucapnya seraya berlagak seperti jagoan.Aku tersenyum geli melihat tingkah lelaki-ku itu, "Sudah... nggak usah di ambil hati, biarkan saja mereka bicara apa, yang penting Adek tetap yang terbaik di hati abang." kali ini bang Rozi berbicara seraya tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya. Ya Tuhan, dia berusaha merayuku. Tapi, Tak bisa di pungkiri hatiku merasa tersanjung mendengar ucapannya.Akhirnya kami pun pergi ke rumah emak, tetap seperti biasa bang Rozi mengantar anak-anak dulu, baru kemudian menjemputku berdua d
"Aku mau pulang!" teriak Airin dari dalam kamarnya. Aku dan Resti saling berpandangan, walau kami sedang berada di dapur namun suara Airin terdengar jelas. Ya, setelah musyawarah tadi, aku melanjutkan mencuci piring dan Resti menyapu lantai."Sabar, Dek.jangan malam ini...mas janji besok pagi, pagi-pagi sekali kita pulang." suara Rido terdengar sangat jelas dari arah dapur. Oh... rupanya Rido Airin memang berjalan ke arah sini, tepatnya Rido berusaha mengejar Airin dari belakang."Nggak... Mas, aku merasa di permalukan di sini. Baru saja minta tolong, keluarga Mas sudah menghina ku, andai saja papa mamaku tahu, mereka pasti tak akan terima," ucap Airin dengan angkuhnya. "Kemarin bilang bersedia menjual tanah itu, tapi tiba-tiba sekarang tanah itu sudah beralih nama," Airin terus berjalan ke ruangan tanpa penyekat di sebelah dapur yang di khusus untuk menyetrika pakaian dan menyimpan peralatan rumah tangga yang jarang di pakai. Tangan lentiknya terus memilah-milah pakaian miliknya di