Malam ini suasana restoran cukup ramai pengunjung, membuat semua pegawai tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Disaat semua pegawai adu cepat untuk melayani pesanan para tamu, lain lagi dengan Shofi, gadis itu lebih banyak diam dan terlihat tak fokus. Pertemuannya dengan Nico beberapa jam lalu masih mengusik hati dan pikirannya.
Sejak sore Shofi telah mendapat tugas di dapur untuk membantu koki menyiapkan bahan-bahan untuk memasak, dan ia berulang kali melakukan kesalahan. Salah memotong ukuran sayuran, salah mengambil piring dan terakhir gadis itu menumpahkan sebotol minyak goreng.
"Pak Deni, maafkan saya," ucap Shofi penuh sesal pada Deni, koki di restoran Rafa.
"Kamu sakit, Shofi?" tanya Deni. Pria paruh baya itu dapat melihat perubahan pada Shofi yang tidak bersemangat seperti biasanya.
Shofi dengan cepat menggeleng.
"Shofi biar ikut nganterin pesanan saja, Pak." Yuli yang baru datang segera menggeser Shofi untuk menggantikan pekerjaanny
Mall terbesar di kota itu menjadi tujuan Rafa untuk mengajak Shofi menuju lantai ke tiga gedung itu. Di mana sebuah toko perlengkapan rumah tangga yang menjadi tujuan Rafa. Rafa mendatangi toko tersebut karena ia memerlukan beberapa perlengkapan makan yang unik untuk kebutuhan restoran. Namun, selain hak tersebut, Rafa juga bertujuan mengajak sang adik untuk berjalan-jalan. Rafa sedikit terganggu dan merasa cemas melihat wajah Shofi yang terus murung beberapa hari terakhir."Kakak sering ke toko ini?" Shofi melempar pertanyaan pada Rafa yang sibuk mengamati beberapa contoh piring saji dengan macam- macam bentuk. Kakak beradik itu tengah berada di lorong yang terdapat rak perabotan di kedua sisinya.Rafa menoleh pada Shofi. "Bagus yang mana, Dek?" Rafa malah menjawab pertanyaan Shofi dengan melempar pertanyaan. Laki-laki itu menunjukkan dua buah piring di tangannya.Shofi mengamati sekilas dua buah piring tersebut. "Yang kanan." Shofi menunjuk piring berbentuk pe
Suasana dalam kamar hotel yang mewah itu terasa sunyi, tapi sungguh menegangkan kala para penghuninya tenggelam dengan amarah yang membelenggu diri mereka masing masing.Sorot mata tajam dari Tiara terus membidik ke arah sang kekasih. Dadanya masih naik turun setelah mengeluarkan segala kemarahan dan rasa cemburunya.Sedang Rafa, laki-laki itu terlihat sedang mengalihkan perhatian dengan memilih mengutak-atik ponsel. Ia hanya berusaha meredam amarah usai pertengkarannya dengan Tiara. Ia tak ingin lepas kendali menghadapi kemarahan wanita itu atas tuduhan yang dilayangkan untuknya."Kamu mau bilang sendiri siapa wanita itu atau aku akan cari tahu sendiri?" desis Tiara.Tak mendapat jawaban dari Rafa dan merasa diabaikan oleh laki-laki itu, Tiara segera menghampiri Rafa kemudian merampas ponsel di tangan sang kekasih lalu tak segan untuk melempar be
Rintik hujan turun di kawasan restoran mengiringi langkah Rafa yang baru saja datang. Memasuki restoran, tak ada senyum simpul yang terulas di bibirnya untuk membalas sapaan dari semua pegawai seperti biasanya, hanya wajah datar yang ia suguhkan. Rafa lekas memasuki ruang kerjanya. Beberapa tumpukan map di meja kerja menyambut dan semakin membuat dirinya pusing. Rafa berdiri di samping jendela, bersedekap sambil menatap ke arah jendela yang menyuguhkan pemandangan kota. Hati dan pikirannya berkecamuk. Ada rasa marah dan lelah teramat sangat atas hubungannya dengan Tiara. Rafa berfikir dirinya kali ini harus segera mengambil tindakan agar tak terus terjebak dalam hubungan tanpa tujuan. Rafa segera menghampiri meja kerjanya lalu mengambil paperbag bertuliskan merk sebuah ponsel. Ia lekas mengoperasikan ponsel barunya lalu menyelipkan simca
Malam semakin larut. Rintik hujan sejak sore lalu terus mengguyur seolah turut menangisi kesedihan gadis malang yang terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Suasana dalam ruang rawat gadis itu begitu sunyi hingga suara helaan nafas dari orang yang berjaga di sana cukup jelas terdengar.Akbar yang tak beranjak sedikitpun dari ranjang Shofi dan terus menatap sedih pada sang adik yang baru bisa terlelap dengan tenang. Shofi tak lagi histeris saat bayangan kejadian mengerikan itu terlintas di benaknya. Ia hanya menangis sesenggukan dalam pelukan Akbar jika kembali dihantui kejadian mengerikan itu. Pelukan dari Akbar benar-benar memberikan ketenangan untuk Shofi.Akbar mengusap dengan sayang kepala Shofi yang terbungkus hijab instan berwarna baby blue itu. Ingatannya menerawang pada beberapa tahun yang lalu saat mengingat Shofi kecil. Hati Akbar gerimis saat teringat jika hidup Shofi sejak kecil selalu berteman dengan kesedihan. Dan kali ini ia gagal menjaga Shofi dan malah
"Mas ... Mbak!"Akbar dan Alya menghentikan langkah lalu berbalik menatap Rafa."Jika hanya pernikahan yang dapat menyelamatkan Shofi ... izinkan aku untuk menikahinya," ucap Rafa penuh kesungguhan.Akbar yang terkejut mendengar hal tersebut segera memasang wajah tenang meski dadanya bergemuruh. Ia menangkap sebuah jalan keluar dari pernyataan Rafa. Berkebalikan dengan Akbar, Alya tak menutupi keterkejutannya. Terperangah hingga tanpa sadar mulutnya menganga."Kau mulai melihat Shofi bukan sebagai Adikmu? Sejak kapan?" tanya Akbar. "Kau mencintainya?"Pertanyaan Akbar sedikit membuat Rafa terkesiap, tapi dengan cepat ia menguasai diri. "Masih jauh untuk merasakan hal itu, tapi aku selalu tidak bisa melihatnya menangis dan aku selalu ingin melindunginya.""Aku yakin putra Kyai Sholeh juga sanggup melindungi Shofi. Dia bahkan berulang kali meminta Shofi untuk menjadi istrinya," tutur Akbar. Ia menatap penuh
"Aku ... aku setuju untuk menikah dengan Kak Rafa."Hening. Semua terpaku di tempatnya, masih berusaha mencerna apa yang sudah Shofi sampaikan. Hal itulah yang ditunggu oleh semua, tapi kenapa sulit sekali untuk menunjukkan kelegaan."Alhamdulillah." Hingga ucapan Heni memecah keheningan yang menguar. Wanita itu menunduk sambil mengusap air mata bahagia yang menyeruak dan jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan. Keinginannya untuk menjadikan Shofi menantu sebentar lagi terwujud.Alya dan Akbar saling pandang lalu melempar senyum sebelum kemudian menoleh pada Shofi."Semoga ini menjadi awal kebahagiaan kamu, Dek." Alya berdiri dari duduknya lalu memeluk Shofi yang hanya mampu mengulas senyum lemah.Sedangkan Rafa, laki-laki itu masih tak bisa berkomentar, tapi terus memindai Shofi yang menghindari tatapannya."Tapi sebelum itu ... aku ingin memastikan sesuatu, Kak," ujar Shofi. Ia memberanikan diri menatap Raf
Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarokatuh.Ucapan salam menutup rokaat terakhir sholat Dzuhur yang dilakukan pengantin baru itu terdengar. Untuk pertama kalinya, Rafa menjadi imam untuk sang istri. Setelah mengucapkan doa, Rafa menoleh pada Shofi di belakangnya. Masih dengan suasana yang canggung, ia mengulurkan tangan dan disambut oleh Shofi juga yang tak kalah canggung.Mencium punggung tangan sang suami untuk kedua kalinya. Shofi tersenyum malu usai mencium tangan Rafa."Semoga pernikahan kita membawa banyak kebahagiaan dan keberkahan ya, Dek?" ucap Rafa penuh pengharapan."Amin," ucap Shofi pelan. "Kakak, tidak menyesal 'kan menikahiku?" Pertanyaan dari Shofi membuat Rafa mengernyit."Kenapa bilang seperti itu?"Shofi menggeleng. "Aku hanya takut tidak bisa menjadi istri yang baik buat kamu, Kak.""InsyaAllah kamu bisa, Dek. Kamu wanita Sholihah. Malah Kakak yang harus lebih ber
Suara gesekan daun pohon mangga yang tertiup angin malam menjadi pemecah keheningan di dalam kamar Shofi. Perempuan itu sedang beradu pandang dengan sang suami yang baru tersadar dari tidurnya. Keduanya masih terpaku dengan apa yang mereka dengar barusan. Bibir Shofi bergetar saat ingin melempar pertanyaan. Apa yang ia dengar membuat tanda tanya besar dalam benaknya."Ra?" tanya Shofi. "Ra siapa, Kak?"Meski jantungnya berdebar, Rafa memilih untuk menutupi kegugupannya dengan mengulas senyum. "Maaf, Dek. Kakak beberapa hari ini banyak berinteraksi dengan Client baru yang bernama Mira. Jadi sampai terbawa mimpi," kilah Rafa. Ia sengaja menutupi kebohongannya."Kenapa kamu bangun?" Ia segera menyela saat Shofi terlihat hendak bertanya kembali. "Kamu terbangun apa belum tidur sama sekali?"Meski merasa masih belum puas dengan jawaban sang suami, Shofi tak ingin bertanya lebih detail. Ia memilih mengangguk atas pertanyaan Rafa