Tenang, Mayang. Tenang!
Aku kembali berusaha mengatur ritme napas. Aku tidak boleh terlalu panik.
Perlahan napasku sudah mulai normal. Pun dengan detak jantungku. Hanya saja rasa takut masih merajai.
Seperti deja vu, saat hendak merebahkan badan di samping Alvin, bel rumah kembali berbunyi.
Rasa takut perlahan menjalar ke seluruh persendian lagi. Merambat sampai ke dada hingga menciptakan rasa panas dan dingin dalam waktu bersamaan.
Aku meringkuk di sebelah Alvin. Kutarik selimut hingga menutupi tubuh.
Keringatku kembali membasahi wajah. Rasa takutku kali ini bahkan lebih parah daripada tadi. Aku harap malam ini segera berganti pagi. Aku bisa mati ketakutan jika seperti ini terus.
Telingaku sayup-sayup mendengar suara langkah kaki orang. Langkah itu mendekat ke arah sini. Siapa sebenarnya yang sedang bermain-main dengan keluarga kami?
"Bunda, nacinya tumpah."Aku mengangkat wajah. Sejenak melihat Alvin yang tengah lahap makan sendiri. Kuusap kepalanya sekilas. Lalu mencubit pipinya dengan gemas.Bukannya lantas menyendok makanan, pikiranku kembali melayang. Sebuah sentuhan lembut perlahan kurasakan pada tangan yang tengah memegang sendok."Kamu kenapa?" Rafael bertanya pelan. Untuk beberapa saat, aku justru memandangi wajahnya yang kini brewok. Semakin tampan saja dia. Dulu seperti orang Korea, sekarang entah bagaimana bisa jadi seperti aktor India. Ah, sepertinya aku sudah gila."Hei, ditanya, kok, malah bengong? Kamu kenapa?"Tangan kiri kuletakkan di atas tangannya yang berada di tangan kananku. Tangan kami jadi bertumpuk-tumpuk. "Aku nggak papa, kok, Mas. Aku cuma ngga nafsu makan aja."Dia menyelipkan rambutku di belakang telinga. Lalu sejenak mengusap pipi. Rasa hangatnya menjalar sa
Usai dari salon, aku mengajak Alvin keliling mall. Bocah itu paling suka jika naik eskalator. Katanya dia terbang. Ada-ada saja. Padahal, kan, tangganya yang bergerak.**Hari beranjak siang. Matahari yang bersinar terik, sungguh menyengat seakan siap membakar kulit siapa saja yang tidak memakai pelindung.Aku dan Alvin baru keluar dari mall selesai makan dari sana. Bocah itu merengek kelaparan. Sungguh menggemaskan.Baru saja membuka pintu mobil, ponselku berbunyi. Ada panggilan video dari Rafael. Oh, iya. Aku lupa kalau ini waktunya kami berdua saling menyapa."Hai!" sapanya di sana."Hai, juga!""Eh, ini siapa, sih? Tante Mayang, bukan? Kok cantik amat?"Aku tersipu. "Apaan, sih? Ini buat balikin mood lagi. Keren nggak?""Bukan keren, tapi cantik. Cantik banget."Aih! Aku m
"Sudah, Raf! Kamu ini kenapa? Kejadian yang menimpa Alvin itu musibah. Jangan marahi istrimu seperti itu." Ibu mertua membelaku. Tapi tetap saja rasanya sesak.Akhirnya air mataku jatuh juga. Makin lama aku malah terisak. Ah, malu sekali di depan Ibu menangis seperti ini.Aku berlari keluar. Berniat mencari toilet terdekat. Entahlah bagaimana rupaku saat ini seperti apa. Yang pasti aku sangat menyedihkan. Tampak dari orang-orang yang menatapku heran.Di sana, aku melihat ada toilet. Aku bergegas masuk. Tangisku tumpah di sana. Aku sampai sesenggukan. Sudah aku bilang, aku sangat takut jika Rafael marah."Eh, Mas mau ngapain masuk toilet cewek? Mau macem-macem, ya?"Tangisku terhenti saat mendengar keributan di luar sana."Istri saya ada di dalam. Saya cuma mau lihat dia.""Hoalah, Mas-Mas! Istri pergi ke toilet aja pakai disusul segala. B
Suasana pagi ini sedikit berbeda. Aku jadi lebih sibuk. Selain mengurus Alvin, aku juga harus mengurus Ibu mertua. Baru kali ini aku merasa benar-benar menjadi seorang menantu."Katanya kamu carikan perawat buat Ibu, May. Nanti kamu terlambat pergi kerjanya." Ibu Rafael menatap heran saat aku menyuapi beliau sarapan."Orangnya belum datang, Bu. Lagian aku juga nggak setiap hari bisa ngurus Ibu kayak gini, kan."Aku tahu beliau merasa sungkan. Mau bagaimanapun aku berusaha menepis perbedaan kami, tetap saja di mata beliau kami berbeda. Kami adalah si kaya dan si miskin."Ibu bisa makan sendiri, May. Kamu berangkatlah kerja. Ibu nggak enak kalau kamu terlambat nanti." Lagi, Ibu memintaku pergi.Aku menghela napas."Sudah, Ibu habiskan dulu makannya, ya. Nanti kalau aku udah berangkat kerja, Ibu minta tolong sama perawat saja. Sebentar lagi dia pasti sampai." Se
Kami sama-sama pamit pada seisi rumah sebelum berangkat kerja. Yang paling membuatku berat meninggalkan rumah, ya, si kecil Alvin ini. Meski kadang bikin geregetan, tapi lebih sering bikin gemas."Bunda kerja dulu, ya, Nak. Baik-baik di rumah. Nanti jangan lupa suapin Nenek, ya," pesanku padanya."Oke, Bunda!" Dia mengacungkan jempolnya.Di sela langkahku dan Rafael, tak sengaja kedua tangan kami saling bertaut. Ah, ini sepertinya disengaja olehnya.Aku dan Rafael menoleh di waktu yang bersamaan. Senyum sama-sama terbit dari bibir kami. Entah bagaimana, cinta di antara kami semakin lama semakin kuat. Mungkin salah satunya karena adanya Alvin juga.Kami masuk mobil yang sama. Sedikit mencondongkan badan, Rafael memasangkan sabuk pengaman padaku. Mendadak dadaku jadi berdebar-debar."Hm ... sok romantis ini ceritanya," sindirku.
Aku masih memegangi kepala yang berdenyut saat kaca mobilku diketuk-ketuk dari luar.Kubuka pintu mobil untuk menemui orang tersebut. Rasanya ingin kumaki-maki orang itu. Sudah jelas aku menghidupkan lampu sein. Apa dia tidak melihat?"Ammar? Kamu yang nabrak mobilku tadi?" Setelah melihat orangnya, kutelan kembali makian yang hampir saja terlontar."Maaf, May. Aku buru-buru tadi."Aku mengernyit heran. "Bukannya tadi kamu bilang mau ketemu klien? Kenapa bisa ada di belakangku?""Ya, benar. Klienku mengubah lokasi pertemuan kami. Aku sekarang menuju ke sana. Makanya buru-buru.""Oh." Tanganku kembali memegangi kepala. Rasanya makin lama makin pusing."Kepalamu berdarah, May. Ayo kuantar ke dokter."Aku menggeleng. "Nggak perlu. Aku harus bergegas. Masalah mobil nggak usah dipikirin. Akan aku bawa ke bengkel sendiri na
"Nomor siapa, ya? Apa mungkin teman lamaku?" Rafael tampak berpikir."Coba kamu balas. Siapa tahu penting." Aku berpendapat."Ide bagus." Rafael baru saja akan mengetik balasan, tapi gerakan jarinya berhenti."Kenapa?" tanyaku penasaran."Lah, ini maksudnya gimana? Nanya kabar ujug-ujug ngeblokir." Rafael menggaruk kepalanya. Nomornya diblokir? Aneh sekali. Lalu apa maksudnya mengirim pesan jika belum mendapat balasan sudah main blokir?Perasaanku berubah tak enak. Apa ini ada kaitannya dengan teror itu?Aku menggeleng. Jika selalu mengaitkan hal dengan teror dan orang misterius itu, aku bisa gila sendiri."Udah lah, Mas. Biarin aja, sih. Mending kita tidur aja, yuk!" ajakku sembari merebut ponselnya. Kuletakkan benda pipih itu di atas nakas.Baru akan merebahkan badan, Rafael menarik tanganku hingga duduk kembali.&nb
"Bentar, Mas. Ini kira-kira yang mati lampu di rumah kita aja apa semua, ya?""Nggak tahu aku. Udah, yuk, balik ke kamar aja. Nyalain ponsel kamu." Dia masih menggelayut di tubuhku dengan erat."Aku nggak bawa ponsel, Mas."Dia mendengkus. "Terus gimana caranya kita jalan sampai kamar?"Sebuah tepukan di pundak seketika membuat bulu kuduk berdiri. Aku menelan ludah dengan susah payah. Apa lagi sekarang?"Sayang, ini siapa yang nepuk pundak?" Rafael juga mengalami ternyata. Kupikir hanya aku saja.Aku menghela napas. "Nggak tahu, Mas."Seketika pikiranku teringat pada film horor yang sering kutonton. Biasanya, pemeran utama akan terjebak dalam situasi ini. Mereka berbalik, lalu setannya muncul. Astaga! Rasanya aku ingin pipis sekarang.Seperti diberi kode, aku dan Rafael perlahan berbalik bersamaan.