Jarak dari kosan ke kafe pinggiran kota di tempuh sekitar tiga puluh menit. Ketika sampai sana, sudah ada dua motor menunggu. Dua pria yang sedang minum kopi kaget melihat kedatangan Sabda yang mengajak seorang perempuan dan itu bukan Bela yang dikenal oleh mereka. Meski mereka juga sudah tahu kalau setahun belakangan ini Sabda tak lagi membahas soal Bela jika mereka ada kesempatan kumpul-kumpul bareng."Hai," sapa Sabda, mereka berjabatan tangan."Kenalin, ini Senja istriku!" Senja mengangguk dan tersenyum setelah melepas masker yang dipakainya."Apa!" pekik salah seorang pria bernama Joni karena kaget."Kapan nikah, kenapa nggak ngabarin atau ngasih tahu di grup?" tanya Ari. Pria yang bertubuh gemuk."Baru sebulan ini. Kami belum ngadain resepsi, baru akad nikah saja," jawab Sabda sambil mengajak Senja duduk bergabung dengan rekannya."Pengantin baru rupanya," goda Joni sambil tersenyum."Kalian udah sarapan?" tanya Sabda."Sudah, barusan. Kamu ajak istrimu sarapan dulu. Sambil nung
Aroma wangi daun teh menyegarkan penciuman ketika rombongan Sabda melewati jalan berkelok di tengah perkebunan. Kabut tipis dan hawa sejuk khas pegunungan menyambut kedatangan mereka.Rombongan menepi dan berhenti di tanah yang agak lapang. Mereka semua turun dari atas motor. Sabda membantu istrinya melepaskan helm, setelah itu melepas helmet yang dipakainya sendiri. Udara segar terhirup bebas masuk ke paru-paru hingga terasa di kerongkongan. Mereka berpencar mencari tempat untuk memuaskan diri dengan menatap pemandangan yang hijau menawan di kejauhan. Sebagian lagi mengeluarkan ponsel untuk merekam dan mengambil video.Sabda menggandeng tangan Senja menuju ke tanah yang lebih tinggi. Di atas sana, pria itu merangkul pundak istrinya sambil memandang pegunungan membiru nun jauh di hadapan."Sayang, kamu tahu. Melihat pemandangan seperti ini, menghirup udara segar bebas polusi adalah liburan mewah bagi orang-orang kota."Senja mengangkat wajah memandang suaminya. Sabda tersenyum ketika
Dikarenakan cuaca yang benar-benar dingin, membuat Sabda dan rombongan enggan keluar vila untuk makan malam di hari kedua mereka menginap. Mereka memilih memesan menu makanan dari kafe yang tidak jauh dari vila dan meminta pihak kafe untuk mengantarkan. Dan mereka duduk berkumpul di ruang tamu vila setelah selesai makan malam.Cuaca malam ini dinginnya memang lebih ekstrim. Biasanya tak sampai seperti ini. Sebab sudah beberapa kali mereka menghabiskan pergantian tahun di Bukit Menoreh."Dinginnya menggila," ucap Joni sambil merapatkan jaketnya."Biasanya tak seperti ini. Mungkin ini puncaknya musim kemarau," balas Ari."Enak yang bawa selimut hidup, kita bertiga yang bakalan meringkuk kedinginan," sahut Fadil sambil memandang Sabda dan Agung."Salah sendiri kenapa kamu nggak mau ngajak Angel." Ari yang bicara."Angel mana mungkin diizinin ikut sama ibunya, nikah aja belum. Bisa-bisa pulang touring bakalan bunting." Jawaban Joni menimbulkan tawa teman-temannya. Mereka ngobrol di ruang
Di sebuah kamar hotel Sudarmala Resort, Labuan Bajo, Bu Airin duduk di balkon kamar bersama Pak Prabu. Wanita itu berwajah muram sambil memandang kerlip lampu di kejauhan. Beliau merasa dipermalukan oleh putranya sendiri di depan keluarga Pak Pras. Andai tidak ada perempuan itu, tentu pertunangan Sabda dan Bela sudah berlangsung hari ini dan pernikahan akan di rencanakan dua bulan kemudian. Sebelum pernikahan Arga dan Citra."Mama, jangan terlalu keras sama Sabda. Sampai nggak boleh muncul pula di tengah keluarga kita. Apa ini nggak berlebihan." Pak Prabu menegur istrinya dengan nada pelan. "Semakin keras Mama menentang Sabda, Dia pun bisa lebih keras kepala lagi. Mama tahu bagaimana anak kita, kan? Selagi dia merasa benar, jangan harap kita bisa membelokkan pikirannya.""Coba Papa kasih ancaman padanya. Di berhentikan dari pekerjaan misalnya." Bu Airin tetap ngotot. Membuat Pak Prabu menggeleng pelan."Mama, pikir hal ini bikin dia takut? Jika dia berhenti kerja dari perusahaan kel
Senyum haru terukir di bibir perempuan itu saat memandang bunga mawar yang tercium wanginya. Ini untuk pertama kalinya Sabda memberikan bunga padanya. Dulu Arga sering sekali mengirimkan buket bunga ke kosannya. Bahkan di pagi terakhir sebelum kejadian di vila itu Arga masih mengirimkan bunga lewat kurir florist langganannya."Kenapa diam? Kamu nggak suka bunga mawar?" tanya Sabda menyelidik. Membuyarkan lamunan Senja."Maaf, aku hanya terkejut saja, Mas. Aku suka kok. Makasih, ya.""Oke, Sayang."Gerimis di luar makin lebat. Di kejauhan kabut tebal membatasi pandangan. Tahun baru yang syahdu. Seorang pramusaji datang membawakan pesanan. Aroma nasi goreng spesial membuat keduanya tak sabar untuk segera menyantapnya. "Kita akan melanjutkan perjalanan setelah hujan reda. Teman-teman masih asyik tiduran ini." Sabda menyodorkan ponselnya pada Senja. Dia menunjukkan pesan yang dikirim rekannya untuk dibaca sang istri.💦 💦 💦Tahun baru kelabu. Arga memandang rintik hujan dari balkon ka
Selesai makan, Sabda pamit ke apotek membeli beberapa obat untuk persiapan dan minyak kayu putih. Senja di rumah beres-beres bekas makan tadi. Sambil menunggu Sabda kembali, Senja browsing di internet mengenai tanda-tanda perempuan yang sedang hamil muda. Dan semua tanda-tanda itu ada padanya saat ini.Perasaannya campur aduk. Sampai bingung perasannya kini sedang bagaimana. Merasa surprise, terharu, bingung, dan ia tidak tahu seperti apa harus menyambut kehidupan baru di rahimnya. Besok dia akan menyempatkan diri membeli alat tes kehamilan di apotek. Sebenarnya bisa saja dia menelepon Sabda untuk membelikannya sekarang, tapi ia memutuskan untuk melakukan tes diam-diam saja dulu. Setelah tahu hasilnya, baru memberitahu sang suami.Beberapa menit kemudian Sabda telah kembali. "Ini di minum dulu obatnya, habis itu kamu lekas istirahat." Sabda memberikan satu sachet obat masuk angin."Aku minum di belakang ya, Mas.""Kenapa harus di belakang? Nanti kamu buang pula. Minum saja di sini." S
Siang itu, Pak Tedjo mengajak cucu-cucunya untuk makan siang bersama. Pria yang masih sangat sehat di usia senjanya telah memesan satu ruangan di sebuah restoran ternama di kota mereka. Lelaki dengan sembilan cucu itu tampak bahagia melihat beberapa cucunya bisa datang. Walaupun Sabda datang terlambat."Maafkan Sabda, Kek. Telat sampai," ucap Sabda sambil mencium tangan Kakek dan Neneknya. Kemudian menyapa sepupunya yang lain sebelum duduk. Di sana ada Chandra, Arga, Nindi, Bumi, dan Sheila. Ketiga cucunya yang lain tidak bisa ikut karena sedang sekolah dan kuliah."Nggak apa-apa, yang penting kamu bisa datang. Ayo, kita mulai makan siangnya. Kalian pasti sudah lapar, kita makan sambil berbincang."Seorang pramusaji restoran meladeni mereka makan. Biasanya kalau ada pertemuan begini, Sabda dan Arga akan duduk berdekatan dan ngobrol bareng. Tapi sekarang, keduanya duduk berseberangan tidak saling menatap."Sabda, kata Mamamu pertunanganmu dengan Bela di tunda? Mau ditunda sampai kapan
Bu Tedjo menyentuh bahu cucunya. Wanita yang memakai kaftan warna putih bercorak bunga-bunga dengan khimar bersulam benang emas memandang penuh tanya pada sang cucu dan putranya. Tanpa disadari kedua laki-laki itu, Bu Tedjo mendengar pembicaraan mereka."Siapa perempuan hamil yang kalian bicarakan tadi?" "Temanku, Nek." Teman tidur, batin Sabda. Di sana bukan tempat yang tepat untuk menceritakan pernikahannya. Sabda akan mengajak Senja bertemu mereka nanti."Oh, makanya kamu lekaslah menikah biar segera punya anak. Arga sebentar lagi juga menikah."Sabda tersenyum kemudian mengangguk. Dibimbingnya sang nenek untuk kembali duduk di tempatnya tadi. Melihat ketenangan seluruh kerabatnya, tampak mereka belum tahu mengenai pernikahan diam-diamnya. Ini berarti Arga, Bela, dan keluarganya tidak menceritakan hal ini pada yang lain. Buktinya mereka masih diam.Baguslah mereka mau menyimpan sendiri rahasia ini. Meski ini pun demi kepentingan pribadi masing-masing. Arga diam karena tidak ingin