Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Lusy. Sesaat perempuan cantik itu tergagap. Dia terkejut, tak menyangka jika Riska akan melakukan hal itu padanya.
"Cukup, Lusy! Hentikan kegilaanmu ini! Tinggalkan Mas Ivan dan jauhi dia!" seru Riska marah.Saat itu mereka sedang bicara berdua di rumah Lusy. Riska tadi menelepon dan berkata kalau ada sesuatu hal penting yang ingin dia bicarakan. Lusy pun langsung menyuruh Riska untuk datang ke rumahnya sore itu karena kebetulan dia sedang bersantai dan tidak ada rencana keluar rumah. Mulanya Lusy bingung mendengar suara Riska yang terdengar begitu serius. Dia tak bisa menebak persoalan penting apa yang sekiranya ingin Riska bicarakan dengannya. Barulah ketika Riska sampai dan memulai percakapan, Lusy tahu hal penting apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Dan Lusy tak menyangka jika Riska akan memberikan sebuah tamparan di pipinya ketika pembicaraan mereka mulai memanas."Apa aku tidak boleh bahagia, Ris? ApaHari-hari yang berlalu meninggalkan jejak luka bagi Fara. Luka yang semakin lama semakin menganga lebar. Fara pun mencoba membalut luka itu sendirian. Sedangkan Ivan semakin asyik menikmati hubungannya dengan Lusy. Dia kini berani tidak pulang jika malam minggu pamit berkumpul dengan teman-temannya. Fara tahu kemana suaminya itu pergi dan dimana dia menginap. Tapi Fara tak pernah menyinggungnya. Dibiarkannya Ivan pergi menemui Lusy sesuka hatinya. Sebab Fara tahu, jika melarang Ivan menemui Lusy, itu sama saja dia menggores sendiri hatinya. Jadi Fara memilih diam. Toh, Ivan pun seakan menjaga hatinya dengan selalu berpamitan ingin menemui teman. Dia tak pernah mengucap ingin menemui Lusy meskipun sesungguhnya dia pergi untuk menemui perempuan itu. Sikap Ivan pun lebih lembut kini. Dia tak pernah lagi bicara ketus pada Fara. Walaupun masih sering menyebalkan dan membuat Fara cemberut, tapi setidaknya kata-katanya tak ketus lagi seperti dulu. Mungkin dia iba. Atau dia mengha
Minggu pagi itu Ivan di rumah. Bahkan sejak malam harinya dia tak keluar rumah sama sekali. Ivan tampak seperti seorang suami yang manis. Dia minta dikuatkan kopi dan camilan dengan kata-kata yang lembut. Mengajak Fara ngobrol sambil nonton tv di ruang tengah. Juga melingkarkan tangannya dengan mesra di pinggang Fara tiap kali mereka sedang berada di dekat orangtuanya. Kedua orangtuanya pun tersenyum senang melihat keromantisan yang Ivan ciptakan itu. Selalu, Ivan pandai bersandiwara dan menjadikan dirinya sebagai sosok yang sempurna di depan orang lain. Fara membiarkan Ivan melakukan itu. Dia tak peduli. Agaknya dia sudah terbiasa dengan sandiwara yang Ivan ciptakan. Ivan tak pernah berhenti untuk tampil sebagai seorang yang sempurna. Sebagai suami tanpa cela untuk Fara. Sandiwara Ivan terus berjalan di sepanjang hari itu. Dengan sabar Fara terus memakluminya. Dia duduk manis di samping Ivan. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Hebat sekali sandi
Pagi itu Fara mengemasi beberapa bajunya. Dia menyusunnya rapi ke dalam tas koper kecil miliknya. Ivan yang memperhatikan tampak mengerutkan kening. Suaminya itu bingung melihat Fara berkemas. Sementara Fara sendiri tampak acuh seolah tak menyadari tatapan bingung dari suaminya. "Kenapa berkemas? Memangnya kamu mau kemana?" Akhirnya Ivan bertanya. "Ke rumah bapak," sahut Fara acuh. "Tapi kenapa membawa banyak baju? Apa kamu mau menginap di sana?" "Ya. Apa tidak boleh?" Fara mengangkat wajahnya dan menatap Ivan. "Tentu saja boleh. Tapi kenapa mendadak seperti ini? Kenapa tidak minta izin sebelumnya padaku?" "Aku pikir Mas Ivan akan senang dengan kepergianku ini. Jadi mas pasti mengizinkan." "Apa kamu akan lama menginap di sana?" "Entahlah. Mungkin," sahut Fara tak pasti. "Lalu siapa yang akan melayani semua kebutuhanku?" "Ada bibik, kan?" "Bibik?" "Ya. Apa bedanya a
Hari-hari pun berlalu. Ivan menghabiskan waktunya bersama Lusy. Dan dia sangat menikmati itu. Pada kedua orangtuanya dia beralasan menemui teman-temannya karena Fara sedang tidak ada di rumah. Jadi sebagai pengisi waktu kosong saja, agar tak bosan dan kesepian di rumah tanpa istrinya. Alasan yang masuk akal hingga kedua orangtuanya pun membebaskannya untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Ivan merasa jalannya terbuka. Dia bisa menemui Lusy di setiap waktu luangnya. Bahkan hampir setiap malam dia menginap bersama Lusy di apartemennya. Mereka seperti sedang berbulan madu. Menikmati malam-malam hangat yang menggebu. Dan sama seperti Ivan, Lusy pun merasa begitu bahagia. Tak ada lagi penghalang baginya. Fara telah pergi dan menyerah kalah. Kini Ivan menjadi miliknya. Dan selangkah lagi, dia akan menjadi Nyonya Ivander Camilio Gusman. Oh, betapa indahnya! "Aku senang akhirnya dia pergi darimu, mas," kata Lusy sambil merebahkan kepalanya di dada telanjang Ivan.
Ivan melangkah pelan memasuki ruang tamu rumahnya yang sepi. Sore ini, tidak seperti biasanya sepulang dari bekerja dia langsung menuju ke rumahnya. Padahal kemarin-kemarin dia pasti akan mampir dulu ke apartemennya untuk berjumpa dengan Lusy. Bahkan kadang dia tetap berada di sana sampai pagi. Tapi kali ini Ivan ingin pulang. Entah apa sebabnya dia menolak ajakkan Lusy untuk bertemu tadi. Dia memberi alasan kalau badannya sedang tidak enak. Jadi dia ingin beristirahat di rumah saja malam ini. Meski tahu kalau Lusy kecewa, tapi Ivan tetap mengikuti kata hatinya untuk pulang. Baru saja beberapa langkah dia berjalan masuk, sebuah suara terdengar menyapanya. Ivan pun menoleh dan mendapati ibunya yang sedang berdiri di pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah. "Tumben sekali kamu pulang sore, Van? Biasanya malam baru sampai," kata ibunya menyambut kedatangan Ivan. "Lagi malas kumpul dengan teman, ma. Badan rasanya lemas," sahut Ivan menghamp
Fara berdiri, menatap Ivan dengan wajah yang cemberut. Sementara Ivan tersenyum senang melihat kehadiran Fara di ruangan itu. Sikapnya sama sekali tak menunjukkan kalau sedang ada masalah besar yang mereka hadapi. Wajah Ivan tampak polos seperti orang yang tak bersalah. "Sayang," panggil Ivan dengan sebuah senyuman manis. "Masih ngambek?" tanyanya melanjutkan. Fara tak menjawab. Dia terus berdiri diam dengan tatapan mata yang menyiratkan betapa dia kesal dengan sandiwara suaminya itu. "Fara," panggil Pak Surya karena dilihatnya Fara yang cuma berdiri diam. Fara pun melangkah maju dan duduk di samping ayahnya. "Mas Ivan ngapain kemari?" tanyanya segera. "Loh, kamu kok bertanya seperti itu? Ivan kan suamimu, Fara. Jadi wajar saja kalau dia datang kemari menemuimu. Dia kangen sama kamu." Pak Surya menyela dengan nada bicara yang lembut. "Iya, Fara. Aku kangen sama kamu," kata Ivan, juga dengan nada suara yang lembut.
Fara terbangun karena sebuah tepukan lembut di pipinya. Dia pun membuka matanya dan mendapati wajah Ivan yang begitu dekat dengan wajahnya. Hangat embusan napas suaminya itu terasa menyapu pipinya. Dan dilihatnya Ivan tersenyum seolah senang telah berhasil membuatnya terjaga. "Bangun, pemalas. Sudah pagi," kata Ivan pelan. "Aku masih mengantuk. Semalam mas membangunkan aku terus," sahut Fara dengan sikap malas. "Jangan mengeluh. Itu kewajiban seorang istri," kata Ivan menyahuti. "Huh?" "Melayani suami, itu tugas seorang istri." Ivan menegaskan kalimatnya tadi karena dilihatnya Fara seperti bingung. "Memperlakukan istri dengan baik dan menjaga perasaannya juga tugas seorang suami," celetuk Fara cepat. "Aku memperlakukanmu dengan baik. Aku selalu memberimu nafkah lahir dan batin. Iya, kan?" "Ya. Tapi tidak menjaga perasaannya. Tidak setia dan...." "Cukup! Jangan menyulut pertengkaran! Ini masih p
Mereka sampai di rumah mertua Riska sebelum jam makan siang. Begitu mereka sampai, rengekan dua buah hati Riska langsung terdengar menyambut mereka. Rupanya kedua bocah itu tidak mau dijemput pulang. Mereka masih betah menginap di rumah nenek mereka yang asri dan berhalaman luas itu. Riska pun sibuk mendiamkan rengekan kedua putranya. Dia berjanji untuk membawa mereka pulang sore hari. Jadi mereka masih ada waktu siang ini untuk bermain bersama dengan teman-teman mereka di halaman rumah nenek mereka yang luas ini. Fara tertawa melihat tingkah dua bocah itu. Si sulung tampak protes karena merasa waktu yang diberikan oleh ibunya begitu sempit. Dia ingin satu atau dua hari lagi. Tapi setelah dibujuk dengan lembut akhirnya dia mau diam dan menurut. "Biarkan saja mereka di sini barang satu atau dua hari lagi, Ris. Mereka masih betah di sini," kata ibu mertuanya. "Tapi saya takut jika mereka terlalu lama di sini, nanti akan merepotkan ibu," sahut Riska member