Share

Keberadaan Nashwa

"Diam atau?" Daren mengehentikan kalimatnya membuat sang empu ketakutan setengah mati. 

"Jangan mendekat! Atau aku teriak," ancam Nahwa sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. 

Daren tetap melangkah, menyisakan jarak yang nyaris berhimpitan dengan Nashwa. Wanita itu memejamkan mata dengan takut-takut memicingkan matanya. 

"Aku hanya mengambil parfum di sebelahmu. Berhentilah berpikir konyol." Kalimat Daren berhasil menusuk sang empu. Nahwa merutuki kebodohannya sendiri. Dengan perasaan malu ia beranjak dari kamar. Membiarkan pria bermulut tajam itu sendirian. 

"Ah, bodoh banget Nahwa ya Allah." Ia mendesah pelan, jemarinya memilin ujung hijabnya. 

"Loh, Nahwa kamu belum tidur?"

Nahwa menggeleng pelan sembari tersenyum hangat pada Ibu mertuanya. 

"Darennya udah pulang, kan?" 

"Udah, Ma. Barusan aja," jawabnya sambil menggaruk kepala yabg tak gatal. 

"Kamu kenapa? Berantem sama Daren?" Nahwa memalingkan wajahnya. Pasalnya pria itu berhasil membuat sang empu meringis menahan malu. Terlihat jelas wajahnya masih memerah seperti tomat. 

"Nggak kok, Ma. Cuman berdebat aja tadi," elaknya. 

'Gak mungkin kan, aku bilang kejadian tadi. Mana bisa-bisanya berpikir seperti itu,' batinnya. 

Wanita paruh baya tersebut hanya ber-oh ria. Meninggalkan Nahwa seorang diri, dengan langkah gontai ia mengambil minuman dingin di kulkas. 

"Enak, yah. Jadi menantu orang kaya. Lapar tinggal ambil, gak susah-susah buat kerja." Suara dari arah belakang, membuat Nahwa mengernyit heran. 

Detik kemudian ia memalingkan wajah ke sumber suara. Nela dengan langkah angkuh melewati Nahwa, bahkan dengan sengaja mendorong tubuh kurusnya hingga bergeser. 

"Alhamdulillah, Bi." Wanita berhijab tersebut hanya tersenyum simpul melihat sikap sang Bibi yang menurutnya menunjukan sifat ketidaksukaan secara terang-terangan. Tanpa basa-basi lagi gadis itu beranjak meninggalkan Nela yang masih mengomel tak jelas. 

"Ya Allah, kuatkanlah hamba." Nahwa mengelus dadanya seraya menarik napas panjang. Kesabarannya benar-benar diuji di rumah ini. 

Kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar Daren. Perasaan malu masih menyelimuti dirinya. 

"Ah, gimana ini ya Allah," keluhnya sesal. Bahkan menatap sang empu saja ia masih malu, apalagi harus tidur satu kamar dengan pria yang sama sekali tak mencintainya. 

Gadis itu menggigit kuku jemarinya dengan cemas, perilaku aneh yabg tak bisa ia tinggalkan ketika dirinya gugup. Langkahnya mondar-mandir tak jelas di depan pintu. 

"Mana ngantuk lagi, ya Allah. Udah, ah masuk aja. Lupain yang telah berlalu," ucapnya menyudahi pikiran buruknya. 

Jemari lentiknya meraih kenop pintu. Namun, dari dalam ruangan sang empu lebih dulu menarik gagang pintu membuat gadis bertubuh ramping tersebut tertarik secara paksa ke dalam. Pasalnya jemarinya masih memegang gagang kenop pintu. 

"Aduh." Nahwa meringis kesakitan ketika kepalanya terbentur pada dada bidang Daren. Pria itu hanya bergeming di tempat, membuat Nahwa semakin kebingungan. 

Tanpa sengaja bibir Daren berhasil mendarat di kepala Nahwa yang masih tertutup hijabnya. Seperti ada sengatan listrik, dengan gugup serta malu yang udah sampai di ubun-ubun. Nahwa menarik diri hingga menyisakan jarak hampir satu meter dengan sang empu. Dengan perasaan takut gadis itu berusaha menatap netranya. Namun, baru  saja netra mereka beradu,dengan cepat Nahwa menarik pandanganya. 

Entahlah, tatapannya menyimpan sorot tajam yang membuat siapapun akan bergidik ngerih ketika bersitatap dengannya. 

"Aku mau masuk, permisi." Nashwa langsung masuk ke kamar. Sesuai kesepakatan mereka tidak seranjang. Berarti Daren akan memilih untuk tidur di sofa maupun di ruang kerja. Tentu tanpa sepengetahuan orang tuanya. 

Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Ia sangat dingin nyaris dingin dan tak tersentuh sedikitpun. Diam-diam gadis itu menangis dalam selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Ia menangisi takdir yang tak begitu adil serta membuatnya harus menanggung beban yang sama sekali bukan kemauannya. Bukankah takdir seperti itu. Tidak tertebak dan menebak akan terjadi seperti yang diinginkan manusia. Manusia hanya mempunyai pilihan bukan takdir yang menerka dari pilihan tersebut. 

Entah apa yang terbaik baik seorang manusia. Sampai-sampai Tuhan menguji seorang hamba untuk memilih jalan takdirNya. Namun, semua tentang perkiraan yang selalu meleset. Takdir milik-Nya yang dituliskan pada setiap garis hidup manusia. Entah sekuat apa manusia yang diuji oleh-Nya. Sampai-sampai ia lupa bagaimana caranya bahagia. Namun, tak lupa bagaimana caranya bersyukur terhadap Tuhan. 

Dengan cepat jemarinya menghapus setiap buliran bening, kerinduannya membuncah ketika mengingat sang ayah. Namun, semuanya terasa sia-sia ketika ia meratapi hidupnya. Tak ada yang akan berubah ketika manusia berandai-andai, setan selalu punya jalan pintas untuk menggoda manusia. 

"Nahwa harus bisa, yah. Hanya tersisa lima bulan lagi." Ia menarik  napas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan. Nyaris semuanya tentang beban yang berkepanjangan dan tentang sabar yang katanya mempunyai batas. Entah batas mana lagi yang sudah diperkirakan olehnya. 

"Ya Allah, ampunilah hamba jika mempermainkan ikatan suci sebuah pernikahan. Sungguh hamba tak ingin menjadi istri yang durhaka. Tapi salahkah takdirku jika mempunyai imam yang tak bisa membimbingku dan mencintai diriku layaknya Engkau mencintaiku. Sungguh kuatkanlah raga serta jiwaku, hingga tak mengeluh apapun kehendak-Mu." 

Pintu terbuka menampilkan siluet pria memasuki tempat tidur. Cepat-cepat Nahwa menghapus genangan air matanya dan pura-pura tidur. Dirinya berpikir mungkin Daren mengambil barang yang tertinggal di kamarnya. Betul saja pria tersebut mengobrak-abrik lemari bahkan sofa, membuat dahi Nahwa berkerut kebingungan. 

"Bisakah kau kirimkan alamatnya?" 

Ucapan Daren dari seberang telepon membuat Nahwa menajamkan pendengarannya. Sedari pagi ia merasa curiga akan gerak-gerik Daren. 

"Jadi, benar Nashwa pergi ke New York bersama pria asing?!" Daren memicingkan matanya menatap wanita yang terlihat sudah tertidur pulas. Namun, hal janggal kembali terjadi ketika dirinya menaikkan nada satu oktaf dan berhasil membuat orang tidur terkejut bahkan seperti orang terkejut ketika sadar. 

"Sebentar, jangan matikan panggilan ini." Daren dengan curiga menatap Nahwa yang tengah tertidur. Nahwa yang merasakan derap langkah Daren semakin mendekat ke dirinya. Membuat jantung sang empu berdegup kencang. Ia menutup mata rapat-rapat. 

"Jangan pura-pura, atau aku akan memberikan sanksi karena telah menguping permasalahan ini," ancam Daren. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status