Share

Lembaran luka

"Maaf, Nak. Calon pengantinnya kabur." Sesaat lelaki yang tengah mempersiapkan akad nikahnya, terduduk lemas. Bak tersambar petir di siang bolong, seketika raganya tak bisa menahan rasa sakit yang semakin merajam lukanya.

 Lelaki bertubuh tegap itu luruh ke lantai dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Matanya berembun, tak percaya akan peristiwa nahas yang menimpa hari bahagianya.

"Astagfirullah, bagaimana ini, Pak, nasib kita," lirih wanita disebelah pengantin pria. Aurez mengelus punggung putranya dengan penuh kasih sayang.

"Enggak mungkin! Nashwa enggak mungkin ninggalin aku gitu aja, gak mungkin, Bu. Dia wanita yang baik," kilah Daren tak percaya. Netranya menatap sang Ibu, wanita paruh baya itu hanya mengangguk sembari menahan isakan tangis. 

Suasana tampak tegang. Mempelai wanita menghilang bak tertelan bumi, hanya meninggalkan sepucuk surat permintaan maaf. 

"Bagaimana bisa bapak kehilangan Nashwa, putri bapak sendiri!" teriak wanita paruh baya tersebut. Nela tak percaya akan semua sandiwara keluarga mempelai wanita, ia yakin ada hal tak beres saat pertama kali bertemu Naswah di acara lamaran keponakannya.  

Pak Basyah hanya menunduk malu sambil meminta maaf atas perlakuan putri sulungnya. Lelaki bermata teduh itu hanya bisa menatap lantai yang bersejajar di titik terendah dalam hidupnya. 

Di tengah-tengah keributan. Ruangan akad tengah penuh, bisik-bisik tamu mulai mengusik kedua keluarga yang akan terikat. Sementara Daren mengacak rambutnya frustasi, membuatnya hampir gila.

"Kami akan bertanggung jawab, atas perlakuan anak kami yang sangat memalukan bagi keluarga kita." Daren tak perduli pembicaraan kedua orangtuanya dengan pihak wanita. Pikirannya kalut, perasaanya semakin hancur mendengar kepergian Nashwa, tepatnya selama mereka berpacaran selama 4 tahun. Kepergian wanita yang sangat dicintainya menimbulkan luka yang semakin dalam. 

"Nahwa, akan menggantikan posisi Nashwa. Keluarga kita sudah menanggung malu, bagaimanapun juga akad akan tetap berjalan." Perempuan berhijab putih polos tersebut menganga tatkala mendengar namanya yang terucap oleh sang Ibu.

"Kenapa aku yang nanggung, Bu? Aku gak mau!" Netranya berembun, tak percaya akan keputusan yang diambil sepihak oleh ibunya. 

Daren hanya terduduk lemas, raganya tak kuat untuk berdiri seakan separuh hidupnya telah kehilangan kendali. 

"Bu! Itu keputusan gila. Jangan mengada-ada. Tak seharusnya Nahwa menanggung bebannya, kita yang salah, bukan Nahwa," tukas Pak Basyah dengan tenang. Namun, tegas.

"Nama kita tercoreng, Pak!" 

"Biar saja nama kita yang tercoreng! Asalkan jangan masa depan Nahwa yang ikutan tercoreng!" ucap lelaki paruh baya itu dengan setiap penekanan di kalimatnya. 

"Aku bersedia."

Semua keluarga menatap sumber suara. Gadis tersebut tampaknya berubah pikiran dengan keputusannya. Meskipun begitu, pihak keluarga lelaki tetap menyalahkan keluarga mempelai wanita, sementara keluarga Basyah hanya bisa meminta maaf dan bertanggung jawab akan peristiwa nahas di hari yang seharusnya bahagia. 

"Nahwa! Apa yang kau ucapkan?!" bentak Basyah sambil menatap putri bungsunya. Sama seperti sang Ayah, putrinya hanya bisa menunduk malu atas kejadian yang mencoreng nama serta reputasi keluarganya. 

"Kita gak punya pilihan lagi, Yah," ucapnya sedikit bergetar. Netranya hanya menunduk tak kuasa menatap kehancuran cinta pertamanya, ia lebih memilih untuk hancur kesekian kalinya. 

"Jangan mempertaruhkan masa depanmu, dengan menikahi lelaki pilihan kakakmu! Bukan pilihanmu sendiri Nahwa."

"Bukan ini yang Nahwa mau, Ayah. Tapi takdir … takdir yang membuat kita begini," balas Nahwa dengan nada nyaris tercekat. Detik kemudian pertahanannya runtuh, bulir air mata mulai menganak di sudut netranya. Perlahan ia mulai menangis, melihat kehancuran yang semakin menjadi. 

Para tamu undangan mulai pergi satu per satu, hanya keluarga inti saja yang akan mengikuti acara akad yang sempat tertunda, tidak. Lebih tepatnya akad yang tergantikan. Aurez mencoba meyakinkan putranya bahwa semua akan membaik seiring berjalannya waktu. Sementara, Pak Basyah hanya bisa terdiam melihat keputusan yang tak adil bagi putri bungsunya. 

Acara akad akan dimulai, hiasan dinding di sebelah pelaminan membuat dada Nahwa semakin sesak. Nashwa Aghirah Abasyah, nama kakaknya tersemat indah dengan bentuk italic bersambung dengan nama yang akan menjadi suaminya. 

Takdir begitu miris. Acara lamaran untuk sang kakak. Namun, saat akad nikah malah namanya-lah yang bersandingkan dengan pria yang telah melamar sang kakak. 

4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, jika alasan Nashwa pergi hanya karena tak cinta, ke mana saja perasaannya selama 4 tahun belakangan ini? Semua tampak ganjil menurut pemikiran Nahwa. 

"Apakah kedua mempelai sudah siap?"

Nahwa tersenyum getir, semua keluarga telah berkumpul di tengah ruangan yang akan berlangsungnya akad. Sementara dirinya masih mematung didepan cermin. Gadis itu sangat cantik dengan polesan tipis make up, serta lesung pipinya membuat Nahwa semakin anggun. Kulitnya yang putih bersih sangat senada dengan gamis seragam keluarga berwarna gading. Gamis yang akan dipakai di resepsi sang kakak malah menjadi saksi pakaian pernikahannya seumur hidup ataupun tidak. 

Jatuh cinta adalah ujian terbesar dari-Nya. Saat manusia cinta dengan rasa berlebihan, saat itu juga keimanannya serta cintanya pada sang Pencipta sedang dipertaruhkan. 

Bagaimana ia memilih. Memilih ciptaan-Nya atau memilih penciptanya. Semua ini hanya diniatkan Nahwa. Untuk tidak jatuh. Melainkan jatuh pada pria yang mencintainya, pria yang akan menyebutkan namanya di Ijab qabul. 

"Kamu tak bisa berencana dengan siapa dirimu akan menikah. Namun, apa yang menjadi takdir tak akan melewatkanmu, dan apa yang Nahwa rencanakan belum tentu terbaik bagi-Nya. Namun, saat Allah berencana dengan caranya yang bertentangan dengan cara kita. Saat itu juga Allah sedang menyiapkan hal terbaik dalam hidupmu." Lelaki paruh baya itu menyadarkan lamunannya. Tangan kokohnya memegang bahu Nahwa yang sedikit terguncang dengan isakan tangis. 

Pak Basyah mencoba menenangkan hati putri bungsunya. "Masyaallah, cantik sekali anaknya ayah. Kamu sangat mirip dengan almarhumah umi," ucap Pak Basyah melontarkan pujiannya. Detik kemudian mereka berdua tertawa kecil sembari menutupi luka masing-masing. Terlihat buliran bening yang tengah menganak di sudut pelupuk mata mereka, sekuat tenaga mereka tahan agar tak lolos membasahi pipi. 

"Kita gak tau 'kan, rencana apa yang telah disusun-Nya. Tapi kita tau kalau ini takdir yang terbaik yang telah dirancang-Nya ribuan tahun lalu." 

Nahwa mengangguk menanggapi nasihat sang Ayah. Perlahan perasaannya mulai tenang tatkala zikir tak henti-hentinya ia senandungkan setengah berbisik. Sekuat tenaga dirinya menahan isakan tangis saat acara akad terlaksana. 

Pak Basyah menuntun putri bungsunya yang sangat cantik. Dengan khimar polos berwarna putih menjuntai indah menutupi dadanya serta gamis berwarna gading yang senada. Polesan make up natural serta postur tubuh yang mendukung membuat siapa saja akan terpana dengan kecantikannya, terkecuali Daren … pria yang sangat mencintai kakaknya bahkan tak menatap sedikit pun ke arah Nahwa. 

"Apakah mempelai wanita sudah siap?" tanya Pak penghulu. Gadis itu hanya mengangguk sembari menunduk. 

"Baiklah mari kita mulai."

"Saudara Daren Brajawijaya bin Wijaya saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya yang bernama Nahwa Akhira Abbasyah dengan mas kawinnya berupa seperangkat alat salat dibayar tunai."

Daren menghela napas panjang sembari membaca basmallah. "Saya terima nikahnya dan kawinnya Nash-w*." Sesaat, Daren menjeda kalimatnya. Pak penghulu mengulangi akad nikah.

Daren hanya beristighfar sementara hati wanita itu semakin sakit melihat calon suaminya mengingat nama sang kakak yang memang seharusnya diucapkan di acara bahagia ini. 

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Nahwa Akhira Abbasyah binti Basyah dengan maskawinnya yang tersebut tunai!" ucap Daren dengan lantang. Seisi ruangan terharu bahagia, tapi tak dengan mempelai pengantin baru. 

"Sah!"

"Dasar lelaki brengs*k!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status