"Tidak!"Dion membuang muka, tangannya terlepas dari pundak Savira. Tarikan napas mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menelusup. Dion salah tingkah mendengar pertanyaan istrinya."Yakin? Tapi kenapa ekspresimu begitu?""Aku cuman ... Em ... gak mau disalahin kalau kamu benar-benar hilang."Dion menjawab sekenanya kemudian memilih mengalihkan pandangan."Ow ... Oke."Savira mengangguk meski tak percaya dengan jawaban Dion. Perempuan itu yakin jika Dion benar-benar mengkhawatirkannya. Meski Dion tak mengakuinya."Kenapa gak beri kabar? Kenapa juga di sini? Kamu sakit atau gimana?"Dion mencecar Savira dengan berbagai pertanyaan. Belum ada jawaban tapi dia terus bertanya. "Satu-satu, Dion. Aku pusing dengernya.""Kenapa kamu ada di sini, Ra?"Dion kembali berbicara, satu pertanyaan keluar dari mulutnya. "Ibu sakit, Dion.""Sekarang di mana? Kenapa tidak beri kabar?""Daya ponsel habis, lupa gak bawa charger."Dion dan Savira berjalan menuju kamar inap Wati. Sepanjang jalan mereka han
"Kamu menyukai Savira?"Regina mendekat, dia tatap penuh selidik putranya. Cepat-cepat Dion mengalihkan pandangan. Lelaki itu tak ingin Regina tahu, ada gejolak dalam hatinya. Karena Dion pun tak mengerti perasaannya seperti apa."Ingat, Dion. Savira itu musuh kita!"Dion hanya mampu menganggukkan kepala. Sejujurnya ada kebimbangan yang kini ia rasakan. Beberapa bulan tinggal satu atap bersama Savira membuat rasa benci berubah menjadi empati, bahkan benih cinta mulai bersemi. Hari demi hari yang mereka lalui mampu menyadarkan Dion, jika semua praduganya salah besar. Apa lagi darah di seprai menjadi saksi kalau Savira bukan wanita murahan. Dia mampu menjaga mahkotanya."Dia yang menghancurkan pernikahan mama dan papa, Dion! Kamu harus ingat itu!"Regina membalikkan badan, melangkah pergi dengan menghentak-hentakkan kaki. Sesekali perempuan itu memaki. Bahkan mengutuk Savira dengan kata-kata keji. Dia lupa jika ucapan itu bisa berbalik padanya.Benturan pintu menjadi tanda jika perempu
Dion membuka mata. Rasa ingin buang air kecil memaksanya bangun meski kantuk masih mendera. Lelaki itu menyibak selimut, seketika matanya melotot."Astaga!"Dion kembali menutup tubuhnya dengan selimut. "Kenapa bisa telanjang begini?" gumamnya lirih.Dion menoleh ke samping, matanya kembali membola kala melihat Savira tidur terlelap. Sama sepertinya, Savira tidur tanpa memakai busana. Hanya selimut yang menutupi setiap inci tubuhnya."Kenapa Savira juga sama sepertiku? Apa yang terjadi semalam?"Dion mencoba mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu."Apa aku melakukannya lagi?"Lelaki itu beranjak dari ranjang dengan hati-hati, dia punguti pakaian yang berserakan lalu menuju kamar mandi. Guyuran air hangat mampu menghilangkan rasa kantuk yang sempat mendera.Azan subuh berkumandang di masjid tak jauh dari kediaman Dion. Seperti alarm Savira pun terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia mengejapkan mata beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina."Sudah bangun!"Seket
Dion melajukan kendaraan roda empatnya dengan cepat. Klakson terus saja ia tekan agar pengendaraan di depan menyingkir. Sesekali tangan kanannya mengepal di stang mobil.Beberapa pertanyaan berkecamuk meminta sebuah penjelasan. Namun logika dan hati sedang bergulat hebat. Dia tak tahu mana yang benar di antara keduanya.Dion menepikan mobilnya sembarangan. Kunci mobil ia lempar ke arah satpam yang sedari tadi berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu pun bergegas melangkah menuju ruangan Hendra.Sepanjang jalan beberapa kali karyawannya tersenyum dan menyapa. Namun Dion hanya membisu, tak ada jawaban apa lagi sebuah senyuman. Pikiran lelaki itu fokus pada sebuah pertanyaan, benarkah foto itu?Tanpa mengetuk pintu Dion dorong pintu ruangan Hendra. Namun kosong, asisten pribadinya tak ada di ruangan itu. Dion mendengus kesal lalu melangkah menuju ruangannya."Hendra mana, Lid?"Sekertaris Dion seketika berdiri."Mau saya panggilkan, Pak?""Suruh ke ruangan saya, sekarang!"Dion membuka pintu
Regina melotot kala melihat video yang diputar Dion. Perempuan itu membisu, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Video itu kembali memaksanya mengingat kejadian lima tahun silam. "Kenapa Dion memiliki video itu?" tanyanya dalam hati. "Bingung, kenapa aku punya bukti perselingkuhan mama?"Regina menelan ludah dengan susah payah, tak menyangka Dion mampu membaca pikirannya. Perlahan dia atur napas, menghilangkan rasa gugup yang sempat mendera. "I--ini tak seperti yang kamu pikirkan, Dion. Mama bisa jelaskan."Tangan Regina menyentuh telapak tangan Dion. Namun secepatnya Dion tepis kasar. Lelaki itu justru menghadiahi Regina dengan tatapan tajam dan mematikan. "Kebohongan apa yang mau mama katakan? Mama bilang ini rekaya? Setelah puluhan foto dan video di sana?""Mama gak mungkin selingkuh, Dion. Itu bohong!"Regina terus mengelak, menyangkal setiap bukti yang terlihat jelas di layar laptop. Perempuan itu dengan percaya diri mengarang berbagai cerita agar Dion kembali perc
"Kenapa diam, Ra?""Apa kamu mencintaiku?"Savira masih diam meski dalam hati berkata iya. Namun logika menentangnya. Ibarat berdiri di tengah persimpangan dan tak tahu harus memilih yang mana. Seperti itu perasaan Savira. "Kamu masih panas, ya? Sampai ngomongnya ngelantur begitu."Savira menyentuh kening Dion. Tubuh Dion memang masih panas, tetapi tak seperti tadi. "Apa aku terlihat mengigau, Ra?" Dion menarik tangan Savira hingga terlepas dari kening. Sikap Dion menimbulkan getaran di hati Savira. Buru-buru dia mengalihkan padangan, takut Dion tahu apa yang kini ia rasakan. Beberapa saat mereka terdiam, sibuk dengan detak jantung yang kian berdebar tak menentu. "Em ... aneh saja kamu bicara seperti itu. Bukan seperti Dion yang bisanya.""Maafkan aku, Ra. Aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan."Savira melotot, mulutnya membisu. Selama tinggal bersama, baru kali ini Dion mengucapkan kata maaf. Satu kata yang mustahil diucapkan oleh Dion Adi Purnawan. "Apa ada yang konslet?" batin
Savira duduk setelah mengeluarkan semua isi dalam perutnya. Perempuan itu menyandarkan tubuh seraya memijit kepala yang terasa berdenyut. Baru beberapa menit menghirup aroma pesawat,namun dirinya seakan mau pingsan. Belum lagi isi perut yang meronta, hendak berlari keluar. Tak tahan, Savira pun ingin melarikan diri. "Turun yuk, Dion!"Savira hendak membuka sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya. "Mau terjun bebas, Ra?""Gak tahan, Dion.""Apanya?" Dion menautkan dua alis, tak mengerti dengan ucapan istrinya. "Aku pengen muntah, gak tahan."Savira menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekuat tenaga ia tahan guncangan dalam perut. Dion segera mengambil kantung muntah dan memberikannya pada Savira. Perempuan itu dengan sigap mengambilnya. Dion memijit tengkuk Savira agar membuatnya merasa nyaman. "Masih mual?""Bau apaan sih ini? Gak enak banget!"Dion mengendus-endus, tapi tak menemukan bau busuk yang Savira maksud. Semenjak masuk pesawat, lelaki itu justru suka mencium pewangi
"Kenapa, Sayang?"Dion semakin mendekatkan wajahnya. Lelaki itu tak sabar ingin mengecup kening istrinya. "Aku mau muntah."Savira berlari menuju kamar mandi. Dia keluarkan semua isi perutnya, hingga lidahnya terasa begitu pahit. Namun perutnya terus meronta sampai tubuh perempuan itu lemas. "Kamu kenapa sih, Ra? Kan sudah turun dari pesawat. Ya, kali masih mabuk udara."Dion memijit tengkuk Savira agar tubuhnya lebih membaik. Namun aroma mulut Dion justru kembali memancing rasa mual dalam perutnya. Untuk kesekian kali Savira muntah dan tubuhnya semakin lemas. "Kamu kenapa sih, Ra?""Diem! Jangan ngomong terus, Dion! Bau mulut kamu gak enak!"Savira menutup hidung dengan kedua tangannya. "Apaan, sih? Orang gak bau kok."Dion terus mencium bau mulutnya. Namun tak ada yang aneh. Aroma kopi justru keluar dari mulutnya, bukan bau jengkol yang menjijikkan. "Kamu habis makan apa sih, Dion?""Gak makan apa-apa, Ra.""Tapi bau!"Savira semakin rapat menutup hidungnya. Dia pun mendorong