"Kenapa menatapku seperti itu?"Dion menatapku tajam, sorot mata bak singa yang siap menerkam mangsa. Tapi sayang, aku tidak takut. Sudah terlalu sering mendapatkan perlakuan seperti itu, hingga akhirnya aku pun terbiasa. "Kamu kecewa tak jadi menginap di hotel? Bukankah kamu sudah terbiasa menginap bersama tua bangka itu? Sudah berapa hotel yang kamu kunjungi?"Aku menghela napas, mengalihkan pandangan agar tak bertatap muka dengan lelaki itu. Jujur ucapan Dion bak belati yang menusuk tepat di jantung, menyakitkan. Namun menjelaskan juga percuma, dia tak akan percaya. Mobil yang kami naiki melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah. Kamar hotel yang sudah kami booking terpaksa kami tinggalkan. Semua karena pergulatan yang terjadi antara Dion dan dua perempuan itu. Hening, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Kami seperti orang asing yang duduk dalam satu mobil. Ah, bukankah kami memang orang asing. Bahkan pernikahan hanya sebuah status agar warisan jatuh di tangannya.
Pov Savira"Ada apa, Nung?" Aku bertanya saat Nunung sudah berdiri di hadapanku. Napas perempuan itu tersengal, sudah seperti berlari mengelilingi satu komplek. "A-ada orang di luar, Nyah.""Siapa?""I--itu, wanita edan.""Siapa sih, Nung!""Lihat sendiri saja, Nyah!"Nunung manarik tangan ini hingga membuatku berjalan mengikuti setiap langkah kakinya. Kemudian kami berhenti tepat di depan pintu utama. "Buka, Nyah!"Perempuan yang semula berada di depanku kini berpindah tempat, ia berdiri di belakang tubuh langsingku. Percuma bersembunyi, tubuhnya saja jauh lebih besar dariku. "Lha, harusnya kamu yang buka, Nung. Bukan aku!"Nunung menggeleng, perempuan yang tadinya bersemangat kini menciut seperti kerupuk tersiram air, melempem. Pintu segera kubuka, seorang wanita berambut pirang berdiri tepat di depan pintu. Kedua tangannya menyilang di dada, belum lagi tatapan sinis yang ia layangkan padaku. Julia, dia tamuku malam ini. "Ada perlu apa, Mbak?"Aku bertanya tanpa mempersilakan
Savira terdiam di sudut ranjang, bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Bibir bawah ia gigit seraya menahan suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi seraya menahan nyeri yang terasa di bawah perut. Kembali ia teteskan air mata kala mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Bukan karena ia tak mau memenuhi haknya sebagai seorang istri. Namun cara memintanya yang salah, hingga membuat Savira kecewa. Tetes demi tetes air shower jatuh membasahi tubuh Savira. Perempuan itu menangis terisak. Bahkan dadanya kian teras sesak. "Kenapa harus seperti ini, Tuhan?"Savira luruh di lantai, baju dan tubuh yang ia kenakan telah basah oleh air. Namun ia masih diam dengan posisi yang sama. Sekali pun dingin menusuk tulang. Dinding kamar mandi menjadi saksi kekecewaan yang Savira alami. Dingin, tubuh perempuan itu mulai menggigil. Savira pun segera menyelesaikan mandi besar. Setelah memakai pakaian ia pun melangkah gontai menuju ranjang. Lebih tepatnya sofa pan
Hendra meremas surat kabar yang baru saja ia baca. Kemudian melempar kumpulan kertas berisi berita kemarin di atas meja. Helaan napas keluar dari mulut lelaki itu. "Dugaanku benar, kejadian kemarin akan menjadi topik pembicaraan. Aku tak peduli bagaimana nasib Dion, perasaan Savira yang kini aku pikirkan."Pengakuan Julia di acara pernikahan Dion tak ubahnya bom yang meledak. Menghancurkan semua orang yang ada di sekitarnya. Bukan hanya nama Dion yang tercoreng tapi perusahaan Purnawan menjadi sorotan. Para investor pun mulai ragu dengan kinerja putra tunggal Purnawan."Apa mungkin Dion melakukan hal gila itu? Tak menutup kemungkinan janin yang dikandung Julia merupakan anak Dion. Bukankah mereka berdua menjalin hubungan lebih dari satu tahun?" Pikiran Hendra terus berkecamuk. Bahkan kopi yang ada di atas meja nyaris dingin karena terlalu lama diabaikan. Lelaki itu masih fokus memikirkan cara menghentikan kabar tersebut.Memberi uang bukan lagi menjadi solusi. Bukan hanya para pembu
Beberapa hari Dion dan Savira saling diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya. Kejadian tempo hari semakin membuat hubungan keduanya merenggang, mereka benar-benar seperti orang asing. Ah, bukankah mereka orang asing yang terpaksa menjadi suami istri karena surat wasiat?Hari ini Dion mulai bekerja di kantor. Libur honey moon telah usai, kini ia harus di hadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu diperiksa dan ditanda tangani. Bagi lelaki itu tumpukan pekerjaan dan laporan adalah neraka."Kenapa harus ke kantor? Tak bisakah jalan sendiri? Males banget."Dion menggerutu seraya mengenakan kemeja berwarna putih. Sebuah jas berwarna cream melengkapi penampilannya kali ini. Lelaki dengan tubuh atletis itu nampak semakin menawan. Tidak heran banyak perempuan yang tergila-gila padanya."Belum be..." Savira menutup mulutnya. Keinginan bertanya dia lupakan."Kenapa tutup mulut"Dion menatap Savira dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. Seketika Savira membalikkan bad
"Aduh, kenapa harus begini?" rutuk Savira seraya mengusap wajah kasar."Bener, kan? Mbak ini istri Dion Adi Purnawan, anak pengusaha tambang itu, kan?""Mbak salah orang. Ya kali istri pengusaha pakai motor butut gini."Savira menjawab sambil menahan gugup yang mendera. Bahkan butir-butir keringat menempel di keningnya. Ragu, ia langkahkan kaki mendekat ke arah penjual es kelapa muda."Balik badan pasti ketahuan. Ah, ini nih akibat enggak nurut sama suami. Baru juga keluar sudah mendengar ucapan tak enak. Emang bener ... susah punya suami tampan dan kaya. Fansnya berceceran di jalan."Savira terus berbicara dalam hati. Berbagai argumen menari dalam kepala. Pernikahan mereka memang bermula dari keterpaksaan, namun tanpa disadari ada rasa yang tumbuh di hati keduanya. Meski tertutup dengan ego masing-masing.Seorang perempuan menatap lekat netra Savira. Bahkan wajahnya kian mendekat hingga tinggal tiga jari jarak keduanya. Savira menelan ludah dengan susah payah. Tatapan itu membuat ia
"Kapan kelarnya?" Dion mengusap wajah kasar. Kepalanya bersandar di kursi. Sesekali ia pijit kepala yang terasa berdenyut, pusing.Dokumen yang harus Dion periksa masih menumpuk di atas meja. Dia hanya menatap tapi enggan menyentuh. Sudah setengah hari ia berkutat dengan laporan dan dokumen. Namun tumpukan berkas itu tak kunjung berkurang. Lelah, Dion pun menyerah."Gak kuat gue lama-lama!"Dion memejamkan mata, mengabaikan dokumen penting yang terus meronta. Ingin menghilang, tapi lelaki itu tak memiliki kekuatan. Ancaman Hendra mengikatnya untuk tetap duduk di sana."Kalau Mas Dion gak sanggup mengurus aset biar Savira yang akan turun tangan. Tapi jangan salahkan saya jika Mas Dion tak memiliki banyak uang untuk bersenang-senang."Kalimat yang keluar dari Hendra terus terngiang di telinganya. Memaksa lelaki itu untuk bertahan dengan tumpukan laporan demi sebuah warisan."Aku kira memiliki perusahaan ... aku bebas menikmati kekayaan. Tapi ternyata salah, hidupku justru seperti di ne
Dion segera membopong Savira ke lantai atas, di ikuti Nunung di belakangnya. Dengan sigap Nunung membuka pintu kamar agar majikannya dapat masuk."Telepon dokter Hans, Nung!"Dion merebahkan Savira di atas ranjang. Perlahan ia buka pakaian Savira yang telah basah agar demamnya tak semakin parah."Tuan mau ngapain?" "Kamu gak denger? Telepon dokter Hans, sekarang!""Ba--baik, Tuan."Nunung membalikkan badan, belum sampai pintu gerakan kakinya terhenti."Nomor teleponnya berapa, Tuan?""Ada dibuku telepon,Nung!" Nunung segera keluar sebelum Dion semakin marah. Mengerikan jika atasannya mengeluarkan taring.Dion tertegun melihat Savira, seketika menelan ludah dengan susah payah. Sebagai lelaki normal, ia tergoda saat menatap setiap inci tubuh Savira. Namun segera ia buang pikiran kotor yang memenuhi isi kepalanya. Sadar, istrinya tengah tak sadarkan diri."Sial, pikiranku jadi ke mana-mana!"Dion mengusap wajar kasar. Perlahan ia memakaikan baju Savira. Kembali ia diam kala pikiran ko