Share

Bukan Pernikahan Impian
Bukan Pernikahan Impian
Author: Muzdalifah Muthohar

Bab 1

INFERTIL 1

"Kenapa berhenti, Mas?" Vina menatap kecewa lelaki yang baru beberapa jam lalu menjabat tangan penghulu, untuk mengucap ijab kabul menghalalkan dirinya.

Bagaimana tak kecewa, mereka baru saja hendak mendaki bersama indahnya nirwana, tiba-tiba Abra menghentikan aksinya. Padahal Vina sudah terlanjur 'terbakar', dan berharap bisa mengarungi indahnya cinta berdua.

"Maaf Vin, aku nggak bisa malam ini. Kamu tidur aja dulu, ya?" lirih Abra, tanpa menatap Vina. Lelaki itu hanya menunduk, lalu buru-buru turun dari ranjang menuju kamar mandi. Meninggalkan Vina dengan banyak pertanyaan.

'Apa aku bau?' tanyanya dalam hati, karena Abra berhenti saat akan menyentuh bibirnya. Vina meniup nafas ke telapak tangannya, berusaha mencium bau nafasnya sendiri. Aroma mint tercium, karena sebelumnya Vina sudah gosok gigi dan berkumur dengan mouth wash.

'Apa aku tidak cantik, hingga Mas Abra tidak berselera padaku?' tanyanya lagi. Tapi mana mungkin? Semua orang mengakui dirinya cantik, bahkan tanpa polesan make up sekalipun, dia tetap terlihat cantik, apalagi tadi dia sempat memoles wajahnya dengan riasan tipis agar terlihat menarik.

'Kurang menggoda?' Dia bahkan memakai lingerie seksi pemberian mama mertuanya, yang berwarna hitam, yang katanya warna favorit Abra.

"Malam pertama pakai ini ya, Vin. Jangan lupa pakai parfumnya juga. Ini semua kesukaan Abra, biar dia klepek-klepek nanti." Ucap mertuanya, saat menyerahkan benda-benda itu masih terngiang-ngiang di telinga Vina. Tapi kenapa sekarang jadi begini?

'Atau, jangan-jangan Mas Abra belum mencintai aku, hingga dia tidak bisa menyentuhku malam ini?' gumam Vina dalam hati. Semua pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalanya, hingga membuat dia sangat penasaran dan ingin tahu apa yang menjadi penyebab gagalnya malam pertama Vina.

Sementara itu, di kamar mandi, Abra menatap pantulan dirinya di cermin. Air matanya menetes, Abra menangis tanpa suara. Meratapi kegagalannya malam ini.

"Maafkan aku Vin, maafkan aku," lirih Abra dengan suara pilu. Berkali-kali dia memukul dadanya, berharap beban itu segera sirna.

"Apa yang harus aku lakukan, ya Allah ... Apa yang harus kulakukan untuk membahagiakan istriku?" desis Abra pilu.

Abra menarik nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Hal itu dia lakukan berulang-ulang, untuk mengendalikan dirinya agar terlihat baik-baik saja di mata Vina.

Tak ingin membuat Vina curiga, Abra segera mencuci mukanya, menghilangkan jejak air mata. Dia tak mau Vina tahu, dibalik penampilannya yang sempurna, ternyata Abra menyimpan kerapuhan.

"Mas!" Vina memanggil Abra yang baru keluar dari kamar mandi.

Dengan wajah setengah basah, aura ketampanan Abra semakin menguar. Dia lebih terlihat jantan, membuat Vina semakin terpesona dengan suaminya ini.

"Lho, kenapa kamu nggak tidur?" ucap Abra sambil mengelap wajahnya yang basah dengan handuk.

"Aku mau tanya sesuatu, tolong jawab dengan jujur, ya?" tanya Vina terus terang. Abra melangkah menuju ranjang, setelah meletakkan handuk di jemuran kecil depan kamar mandi.

"Mau tanya apa?" tanya Abra lembut, tak lupa menyajikan senyum manisnya. Membuat hati Vina meleleh seketika, kalau saja tidak terlanjur kecewa.

Abra memposisikan diri tepat di samping Vina. "Apa ada wanita lain?" tanya Vina ragu, jujur dia takut Abra tersinggung.

Sebenarnya wajar saja Vina bertanya seperti itu, mereka menikah karena dijodohkan. Bertemu hanya beberapa kali untuk membahas acara pernikahan, rencana kedepan dan tentang tujuan pernikahan mereka. Membuat Vina tak tahu banyak tentang suaminya. Kenapa mau menerima perjodohan ini.

Kalau Vina sendiri menerima Abra karena laki-laki itu terlihat dewasa, berharap bisa ngemong dirinya yang punya sifat kekanak-kanakan. Dan wajah menawan Abra mampu memukau Vina, ditambah bonus kemapanan finansial. Sempurna bukan?

Abra terkekeh sambil mengacak pelan rambut Vina. "Kamu itu ada-ada saja. Mana ada wanita lain? Kamu satu-satunya wanita yang ada di hati dan hidupku."

"Alah, gombal!" Vina mencebikkan bibirnya, membuat Abra makin gemas mengacak rambut istrinya, yang dihadiahi pelototan oleh wanita cantik itu.

"Aku serius, Vin. Nggak ada perempuan mana pun, hanya kamu yang --- " ucap Abra yang langsung dipotong oleh Vina.

"Siapa tahu Mas masih belum bisa move on dari mantan. Buktinya, nggak bisa nyentuh aku, pasti keinget mantan, kan?" tuduh Vina tanpa tedeng aling-aling, dengan memasang wajah jutek.

"Jangan ngadi-ngadi kamu. Nggak ada perempuan lain."

"Yakin nggak ada wanita lain?" cerca Vina merasa tidak puas dengan jawaban suaminya.

"Aku harus apa biar kamu percaya? Kalau kamu minta aku menunaikan kewajibanku malam ini, aku belum bisa. Maaf ya? Aku belum bisa, aku beneran capek banget, Vin. Kamu tahu sendiri, seminggu ini aku sibuk wara wiri ngurus pesta pernikahan kita. Kurang tidur, kurang istirahat, banyak pikiran. Ditambah lagi harus berjam-jam berdiri menyalami tamu tadi, kamu pikir nggak capek?" lirih Abra berharap istrinya mau mengerti.

Meski penjelasan Abra masuk akal, tapi menurut Vina ada yang janggal. Dia pernah mendengar cerita dari temannya yang sudah menikah, kalau kaum laki-laki tidak mengenal kata lelah untuk urusan 'itu'. Apalagi dimalam pertama, nggak tidur semalampun dijabanin. Tapi kenapa Abra berbeda? Jangan-jangan .... Ah nggak mungkin. Vina berusaha menepis pikiran negatifnya.

"Dijamin kamu nggak bisa jalan nanti, habis malam pertama, Vin. Apalagi suamimu itu sudah cukup dewasa, dia pasti sudah nggak kuat karena kelamaan nahan," seloroh Nia sahabatnya, sebelum acara resepsi pernikahan berlangsung.

"Masak sih? Kok kedengerannya horor banget." Vina bergidik ngeri.

"Emang horor, Vin. Tapi ngeri-ngeri sedap," Nia mengangkat kedua alisnya menggoda Vina, membuat pipi calon pengantin itu merona seketika.

"Nggak usah overthinking gitu. Malam pertama itu indah, kalau nggak gitu nggak mungkin banyak pasangan yang mencuri malam pertama sebelum akad." Ucapan Nia membuat hati Vina sedikit lega.

Kalau ceritanya seperti itu, kenapa berbanding terbalik dengan Abra? Laki-laki itu justru terlihat kalem, sama sekali nggak bernafsu. Yang salah itu omongan Nia atau Mas Abranya? tanya Vina dalam hati

"Sudah, nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu. Kita tidur sekarang, yuk!" ucap Abra seperti bisa membaca pikiran istrinya. Dia lalu merangkul pundak Vina dan menjatuhkan kecupan di puncak kepala Vina.

Romantisnya Abra memperlakukan Vina, membuat Vina menurut dan menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Night, Vin." Abra mencium puncak kepala Vina sekali lagi, sebelum akhirnya terlelap.

Vina masih terjaga, dia masih memikirkan gagalnya malam pertamanya. Hingga ponsel Abra berbunyi, ada beberapa pesan WA masuk. Bukan bermaksud lancang, Vina hanya penasaran, siapa orang yang menghubungi suaminya di malam pertama.

Vina membuka ponsel suaminya yang tidak terkunci itu, lalu membaca satu persatu pesan yang masuk.

(Gimana, Bra?)

(Kalau ada apa-apa hubungi aku)

"Maksudnya apa, coba?" gumam Vina dalam hati.

Memang bukan pesan romantis, kontak pengirimpun diberi nama Anthony. Tapi entah mengapa Vina merasa pesan ini aneh? Terkesan iseng, tapi seperti ada maksud terselubung. Ada apa antara suami dan si pengirim pesan? Ini malam pertama mereka, ya meskipun gagal. Tapi nggak etis aja, kalau ada orang yang menghubungi suaminya. Kecuali ada hal mendesak.

Jangan-jangan si Anthony ini pacar sesama jenisnya Mas Abra? Atau mungkin dia itu wanita, tapi kontaknya diberi nama laki-laki, untuk menutupi hubungan mereka? Begitu pikir Vina.

Bersambung ....

Pada penasaran nggak? Kira-kira si ganteng ini kenapa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status