Share

Keputusan Besar

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-10 21:35:55

Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.

Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.

“Jangan nangis, Cucuku sayang.”

Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?

“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”

Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini kedua orang tua Azzam juga turut masuk. Sebenarnya aku ingin mencegah, tetapi mereka bilang ada yang ingin dibicarakan pada Nenek.

“Saya sangat menyayangi cucu saya. Sebelum saya pergi, saya hanya ingin melihat dia menikah dan memastikan dia tidak sendirian lagi.”

Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat mendengar penuturan itu. Ya Allah, aku belum siap kehilangan Nenek sekarang.

“Nenek tenang saja. Safa akan tetap menikah.”

Aku tertegun. Barulah saat itu aku menoleh ke arah orang tua Azzam dengan tatapan bingung.

“Ta-tapi Azzam ....”

“Bukan dengan Azzam, tapi dengan putra kami yang lain,” ujar Pak Himawan dengan sorot meyakinkan yang semakin membuatku tak mengerti.

Hingga beberapa menit kemudian, terdengar pintu kamar Nenek dibuka. Aku menolehkan pandangan pada seseorang yang berjalan masuk itu. Seketika mataku terbelalak lebar. Ya Rabb! Apalagi ini? Kenapa ada dia di sini?

Lidahku semakin tak bisa berkata-kata lagi saat lelaki itu menghampiri Pak Himawan dan istrinya serta memanggil mereka dengan sebutan Mama Papa. Tidak mungkin kalau dia yang—

“Nek, perkenalkan dia Afnan. Afnanlah yang akan menikah dengan Safa.”

Deg!

Mataku lagi-lagi membeliak lebar. Menikah dengan Afnan? Dengan laki-laki yang selalu kudoakan untuk pergi sejauh mungkin dari hadapanku?

Tidak-tidak. Sekalipun hanya ada satu laki-laki tersisa di dunia ini dan itu hanya ada Afnan, aku tidak akan pernah mau. Dengan cepat kutorehkan kepalaku pada Nenek. Segala kalimat berisi penolakan yang hendak kuucapkan, seketika urung saat Nenek justru tersenyum dan memberi isyarat Afnan untuk mendekat.

“Jadi kamu saudara Azzam?” tanya Nenek dengan sorot mata berbinar. Seperti sudah mengenal lama. Afnan mengangguk pelan.

“Apa kamu bersedia menikah dengan Safa?”

Aku tersenyum kecut, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Lelaki itu juga pasti akan menolak menikah denganku.

“Aku bersedia menikahi Safa.”

Hah? Spontan aku menoleh ke arah Afnan dengan raut protes. Apa yang terjadi dengan dia? Bukannya sejak awal pertemuan, sikapnya sangat menunjukkan kebencian padaku.

“Kamu mau kan, Safa?”

Rasa pening kurasakan memikirkan segala kemungkinan yang terjadi setelah hari ini. Ingin rasanya aku menolak dengan lantang, tetapi tak tega melihat gurat wajah Nenek yang memohon. Aku memang tak menyukainya dan membencinya, tetapi semua itu akan kalah dengan rasa sayangku pada Nenek. Baiklah! Ikhlas dan berusaha berprasangka baik pada Sang Khaliq, aku akhirnya mengangguk. Bersedia menikah dengan Afnan.

...

Benar-benar bukan pernikahan impianku selama ini. Aku sekali lagi menoleh ke arah lelaki yang hari ini telah sah menjadi suamiku. Tak ada gurat senyum sedikitpun yang terpancar di wajah itu.

Aku tersenyum miris. Aku yakin pasti Afnan bersedia menikah denganku karena paksaan juga. Harusnya kalau memang tak suka, Afnan menolak saja, bukan? Bukan main terima dan berakhir terjebak dalam keadaan canggung seperti sekarang.

Seperkian menit berlalu hanya dalam keheningan, aku tak tahu apa yang tengah di fikirkan Afnan sekarang. Akupun demikian, tak berani memulai pembicaraan lebih dulu karena canggung dan bingung mau mulai dari mana.

“Bapak ....”

“Kamu ....”

Sekalinya bicara, malah tak sengaja berbarengan. Aku menunduk seraya memainkan jari jemarinya dengan jantung berdebar.

“Apa tidak ada panggilan lain selain panggilan itu?”

Kerutan di dahiku muncul. Refleks, aku menoleh pada suamiku itu dengan alis bertaut. Seperkian detik berfikir, tetapi pada akhirnya sadar kalau Afnan tersinggung dengan panggilanku barusan.  Lantas, aku harus memanggil dia dengan sebutan apa?

“Baca ini!”

Aku sedikit terjingkat kaget saat tahu-tahu Afnan menyodorkan padaku sebuah map coklat. Aku menerimanya dengan kening bertaut dan membuka isinya karena penasaran.

Sontak, aku membekap mulut karena shock dengan isi dari map itu.

“I-ini ....”

“Aku rasa kamu juga pasti tahu kalau aku melakukan ini atas dasar paksaan,” ujar Afnan dengan nada dingin. “Kita sama-sama tidak mau membuat Nenek kamu sedih dan berimbas pada kesehatannya yang kembali menurun. Begitu, kan?”

Aku menelan ludah dengan berat, lalu ikut bangkit dari duduk dan menatap pada sepasang mata elang di hadapanku yang tengah menyorotku datar.

“Jadi, kamu menganggap pernikahan itu sebuah permainan?”

Afnan berdecak. “Pernikahan itu ikatan sakral. Tapi, bukan kamu yang aku inginkan menjadi istri aku, Safa. Jadi, anggap saja surat perjanjian itu sebagai landasan hubungan kita selama beberapa bulan ke depan. Setelah masa dalam surat itu habis, pernikahan ini juga harus berakhir.”

Ya Rabb! Aku meremas kedua tangan erat. Ya, aku memang tahu pernikahan ini hanya paksaan. Tetapi, tak sedikitpun aku mengira semua akan berjalan seperti ini.

Tetapi, apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Aku juga tidak bisa menuntut Afnan apapun karena akupun sama. Tidak mencintai lelaki itu.

“Baik, aku setuju.”

Afnan mangguk-mangguk, kemudian mengambil pulpen di atas nakas dan menanda tanganinya. Dia juga menyerahkan pulpen itu padaku untuk ditanda tangani di bagian satunya.

“Oke.” Afnan kembali mengambil map itu. “Kamu tidak perlu berperilaku atau menganggap aku sebagai suami kamu. Kita hanya orang asing yang tinggal di atap yang sama.” Setelah berucap demikian, Afnan langsung pergi, meninggalkan aku yang meneteskan air mata di sana.

Tunggu! Aku menangis? Menangis untuk apa? Yang dikatakan Afnan memang benar, ‘kan? Pernikahan ini dilakukan agar tak membuat Nenekku sedih. Tidak perlu berharap lebih.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Akhir Yang Bahagia

    Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”

  • Bukan Pernikahan impian   Cahaya bernama Syahira Kanza

    Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka

  • Bukan Pernikahan impian   Aku Di sini, Safa

    Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M

  • Bukan Pernikahan impian   Kontraksi

    Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu

  • Bukan Pernikahan impian   Beban Tanggung Jawab

    Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Super Siaga

    Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status