Seperti seakan baru saja mengalami satu detakan cepat saat Dokter mengatakan Nenek sudah tak punya banyak waktu lagi. Tak disangka, Nenek ternyata mengidap kanker paru-paru dan sekarang sudah memasuki stadium lanjut.
Ya Allah, aku menangis sejadi-jadinya saat memasuki ruangan Nenek. Ternyata ini maksud dari keresahan hatiku selama ini. Aku adalah cucu yang buruk. Bisa-bisanya aku tak pernah tahu akan sakit yang sedang dideritanya selama ini.
“Jangan nangis, Cucuku sayang.”
Aku semakin terisak kuat kala merasakan jari jemari Nenekku menyentuh pipi dan menghapus air mataku dengan lembut. Kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?
“Safa, Nenek, kami benar-benar minta maaf. Kami juga tidak menyangka Azzam akan melakukan perbuatan rendahan ini.”
Aku memilih bungkam. Fokus pandanganku kini hanya serius menatap wajah Nenek yang semakin pucat. Tak ingin menghiraukan ucapan Pak Himawan, Papa dari lelaki yang sudah menghancurkan hatiku. Ya, memang dalam ruangan ini kedua orang tua Azzam juga turut masuk. Sebenarnya aku ingin mencegah, tetapi mereka bilang ada yang ingin dibicarakan pada Nenek.
“Saya sangat menyayangi cucu saya. Sebelum saya pergi, saya hanya ingin melihat dia menikah dan memastikan dia tidak sendirian lagi.”
Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat mendengar penuturan itu. Ya Allah, aku belum siap kehilangan Nenek sekarang.
“Nenek tenang saja. Safa akan tetap menikah.”
Aku tertegun. Barulah saat itu aku menoleh ke arah orang tua Azzam dengan tatapan bingung.
“Ta-tapi Azzam ....”
“Bukan dengan Azzam, tapi dengan putra kami yang lain,” ujar Pak Himawan dengan sorot meyakinkan yang semakin membuatku tak mengerti.
Hingga beberapa menit kemudian, terdengar pintu kamar Nenek dibuka. Aku menolehkan pandangan pada seseorang yang berjalan masuk itu. Seketika mataku terbelalak lebar. Ya Rabb! Apalagi ini? Kenapa ada dia di sini?
Lidahku semakin tak bisa berkata-kata lagi saat lelaki itu menghampiri Pak Himawan dan istrinya serta memanggil mereka dengan sebutan Mama Papa. Tidak mungkin kalau dia yang—
“Nek, perkenalkan dia Afnan. Afnanlah yang akan menikah dengan Safa.”
Deg!
Mataku lagi-lagi membeliak lebar. Menikah dengan Afnan? Dengan laki-laki yang selalu kudoakan untuk pergi sejauh mungkin dari hadapanku?
Tidak-tidak. Sekalipun hanya ada satu laki-laki tersisa di dunia ini dan itu hanya ada Afnan, aku tidak akan pernah mau. Dengan cepat kutorehkan kepalaku pada Nenek. Segala kalimat berisi penolakan yang hendak kuucapkan, seketika urung saat Nenek justru tersenyum dan memberi isyarat Afnan untuk mendekat.
“Jadi kamu saudara Azzam?” tanya Nenek dengan sorot mata berbinar. Seperti sudah mengenal lama. Afnan mengangguk pelan.
“Apa kamu bersedia menikah dengan Safa?”
Aku tersenyum kecut, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Lelaki itu juga pasti akan menolak menikah denganku.
“Aku bersedia menikahi Safa.”
Hah? Spontan aku menoleh ke arah Afnan dengan raut protes. Apa yang terjadi dengan dia? Bukannya sejak awal pertemuan, sikapnya sangat menunjukkan kebencian padaku.
“Kamu mau kan, Safa?”
Rasa pening kurasakan memikirkan segala kemungkinan yang terjadi setelah hari ini. Ingin rasanya aku menolak dengan lantang, tetapi tak tega melihat gurat wajah Nenek yang memohon. Aku memang tak menyukainya dan membencinya, tetapi semua itu akan kalah dengan rasa sayangku pada Nenek. Baiklah! Ikhlas dan berusaha berprasangka baik pada Sang Khaliq, aku akhirnya mengangguk. Bersedia menikah dengan Afnan.
...
Benar-benar bukan pernikahan impianku selama ini. Aku sekali lagi menoleh ke arah lelaki yang hari ini telah sah menjadi suamiku. Tak ada gurat senyum sedikitpun yang terpancar di wajah itu.
Aku tersenyum miris. Aku yakin pasti Afnan bersedia menikah denganku karena paksaan juga. Harusnya kalau memang tak suka, Afnan menolak saja, bukan? Bukan main terima dan berakhir terjebak dalam keadaan canggung seperti sekarang.
Seperkian menit berlalu hanya dalam keheningan, aku tak tahu apa yang tengah di fikirkan Afnan sekarang. Akupun demikian, tak berani memulai pembicaraan lebih dulu karena canggung dan bingung mau mulai dari mana.
“Bapak ....”
“Kamu ....”
Sekalinya bicara, malah tak sengaja berbarengan. Aku menunduk seraya memainkan jari jemarinya dengan jantung berdebar.
“Apa tidak ada panggilan lain selain panggilan itu?”
Kerutan di dahiku muncul. Refleks, aku menoleh pada suamiku itu dengan alis bertaut. Seperkian detik berfikir, tetapi pada akhirnya sadar kalau Afnan tersinggung dengan panggilanku barusan. Lantas, aku harus memanggil dia dengan sebutan apa?
“Baca ini!” Aku sedikit terjingkat kaget saat tahu-tahu Afnan menyodorkan padaku sebuah map coklat. Aku menerimanya dengan kening bertaut dan membuka isinya karena penasaran. Sontak, aku membekap mulut karena shock dengan isi dari map itu.“I-ini ....”
“Aku rasa kamu juga pasti tahu kalau aku melakukan ini atas dasar paksaan,” ujar Afnan dengan nada dingin. “Kita sama-sama tidak mau membuat Nenek kamu sedih dan berimbas pada kesehatannya yang kembali menurun. Begitu, kan?”
Aku menelan ludah dengan berat, lalu ikut bangkit dari duduk dan menatap pada sepasang mata elang di hadapanku yang tengah menyorotku datar.
“Jadi, kamu menganggap pernikahan itu sebuah permainan?”
Afnan berdecak. “Pernikahan itu ikatan sakral. Tapi, bukan kamu yang aku inginkan menjadi istri aku, Safa. Jadi, anggap saja surat perjanjian itu sebagai landasan hubungan kita selama beberapa bulan ke depan. Setelah masa dalam surat itu habis, pernikahan ini juga harus berakhir.”
Ya Rabb! Aku meremas kedua tangan erat. Ya, aku memang tahu pernikahan ini hanya paksaan. Tetapi, tak sedikitpun aku mengira semua akan berjalan seperti ini.
Tetapi, apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Aku juga tidak bisa menuntut Afnan apapun karena akupun sama. Tidak mencintai lelaki itu.
“Baik, aku setuju.”
Afnan mangguk-mangguk, kemudian mengambil pulpen di atas nakas dan menanda tanganinya. Dia juga menyerahkan pulpen itu padaku untuk ditanda tangani di bagian satunya.
“Oke.” Afnan kembali mengambil map itu. “Kamu tidak perlu berperilaku atau menganggap aku sebagai suami kamu. Kita hanya orang asing yang tinggal di atap yang sama.” Setelah berucap demikian, Afnan langsung pergi, meninggalkan aku yang meneteskan air mata di sana.
Tunggu! Aku menangis? Menangis untuk apa? Yang dikatakan Afnan memang benar, ‘kan? Pernikahan ini dilakukan agar tak membuat Nenekku sedih. Tidak perlu berharap lebih.
Aku berjalan di samping Mas Afnan menuju teras depan rumah. Mobil dinas sudah terparkir, dan sopir Papa tampak bersiap menunggu di balik kemudi. Tapi tangan Mas Afnan masih menggenggam tanganku begitu erat, seolah enggan melepaskan walau hanya untuk sebentar.Aku menatapnya, lalu membungkuk sedikit untuk mengecup punggung tangannya dengan takzim. “Selamat bekerja, Suamiku,” ucapku lembut sambil tersenyum manis. “Semangat ya!”Tapi bukannya beranjak ke mobil, Mas Afnan malah menarikku ke pelukannya. Pelukan hangat dan erat yang penuh berat hati. “Masyaa Allah, Saf ... kamu semanis ini mah ikut sama aku aja yuk. Sekalian jalan-jalan.”Aku tertawa kecil, menahan rasa gugup yang sempat datang sesaat sebelum kami keluar tadi. “Mas nggak akan fokus kerja kalau aku ikut,” sahutku menggoda, mencoba membuat perpisahan ini terasa lebih ringan.Mas Afnan meringis, lalu cemberut seperti anak kecil yang permintaannya dit
Pagi itu udara terasa berbeda. Mungkin karena kenyataan bahwa hari ini Mas Afnan akan pergi untuk beberapa hari. Atau mungkin, karena pemandangan di hadapanku sekarang.Mas Afnan berdiri di depan cermin. Mengenakan celana bahan hitam dan kemeja putih yang rapi. Sebuah jas formal berwarna hitam ia kenakan menyempurnakan penampilannya. Baru kali ini aku melihatnya dalam balutan pakaian seperti itu. Dan jujur saja, aku terpaku. Dia tampak sangat ... tampan.Mataku menelusuri setiap detailnya. Rahangnya yang tegas, rambutnya yang disisir rapi, dan sorot matanya yang penuh percaya diri. Suamiku. Lelaki yang dulu kuanggap hanya jodoh titipan, sekarang berdiri di sana seperti tokoh utama dari cerita hidupku sendiri.Mas Afnan menoleh dan menemukan aku yang berdiri terdiam menatapnya. Senyum jahilnya langsung mengembang. “Kenapa? Baru sadar suaminya ganteng banget pakai jas kantor?” godanya sambil merapikan kerahnya.Aku buru-buru memalingkan wajah, m
“Kalau aku tahu ini yang mau Papa katakan,” ucap Mas Afnan terdengar dingin dan tegas. “Aku nggak akan pernah mau datang ke sini.”Aku menoleh ke arahnya. Nafas Mas Afnan masih memburu dengan rahang yang mengeras.Azzam yang duduk di seberang malah menyeringai kecil. “Kau pikir aku sudi kau datang kembali ke rumah ini?”Suasana langsung menegang. Mas Afnan menajamkan pandangan dan bersiap menyahut, tapi suara Papa mendadak menggelegar.“Sudah cukup kalian berdua!”Seketika ruang makan itu hening. Mas Afnan memalingkan wajahnya, sementara Azzam tampak menahan ejekannya.Papa melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tenang tapi jelas berat, “Papa mohon, Nak. Ini semua juga demi masa depan kamu.”Aku bisa merasakan bagaimana hati Mas Afnan memberontak. “Dari awal aku udah bilang kan, kalau aku nggak mau ikut campur soal kantor.”Dan seperti yang kuduga, Azzam k
“Aku minta maaf, Safa. Maaf ... karena sudah membuat kamu menangis di malam pertama kita. Padahal, dari awal kamu tidak pernah memaksa aku, aku yang mengiyakan pernikahan ini terjadi.”Suara Mas Afnan terdengar berat. Seolah menahan sesal yang sudah lama tertahan. Aku menghela nafas panjang, lalu membalikkan tubuh. Menghadapkan sepenuhnya tubuhku ke arahnya, meski pelukannya belum juga terlepas dariku.Kutangkupkan tanganku di kedua sisi wajahnya yang hangat, tapi masih menyorot sendu. Aku menatap matanya dalam-dalam dan mencoba meyakinkannya dengan senyum terbaikku.“Tapi sekarang kamu udah berubah, Mas. Kamu udah jadi sosok suami yang baik buat aku. Bahkan, sekarang aku justru merasa istri yang paling beruntung di dunia ini karena memiliki kamu,” ucapku disertai tawa pelan.Niatku ingin mencairkan suasana, sekaligus agar Mas Afnan tidak perlu lagi merasa bersalah. Namun, Mas Afnan tetap diam.Sepasang matanya masih menatapku l
Aku hanya bisa diam di sofa dan mencoba terlihat tenang, meski dadaku ikut bergemuruh, sejak kulihat ekspresi Mas Afnan usai menerima telepon barusan. Wajahnya tegang, alisnya mengerut, dan nada bicaranya tadi pun terdengar seperti menahan sesuatu yang ingin diluapkan.Saat dia duduk di sampingku, aku langsung menoleh pelan, mencoba menebak-nebak isi pikirannya.“Mama minta kita ke Jakarta buat nginep,” ucapnya datar, tapi dari sorot matanya aku tahu hatinya tidak tenang.Tubuhku otomatis menegang. Jakarta. Rumah Mama Diana. Dan itu berarti ... Azzam.Aku menunduk sesaat, mencoba menyembunyikan reaksi gugupku. Tapi Mas Afnan rupanya masih terus bicara.“Kenapa Mama tiba-tiba nyuruh kita ke sana sih?” keluhnya dengan suara frustasi yang terdengar jelas. “Dan yang paling buat aku jengkel, Azzam juga ternyata sudah balik ke rumah. Aku rasa anak itu pasti ngadu yang aneh-aneh ke Mama.”Aku menahan nafas. Tengg
Malam semakin larut. Hanya suara detak jam dinding dan hembusan angin dari celah jendela yang menemani lamunanku. Di sebelahku, Mas Afnan sudah terlelap dalam tidurnya. Wajahnya terlihat damai sekali. Lelaki yang selama ini kusebut suami, yang dulu sempat membuatku menangis dalam diam, namun kini justru membuatku tersenyum tanpa alasan.Aku menatap wajahnya lama. Ada sesak yang perlahan menjalari dadaku. Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Rasanya tak adil. Dia telah berusaha berubah, telah menjadi suami yang luar biasa untukku, tapi justru difitnah oleh saudaranya sendiri di hadapan orang tua mereka.“Kenapa, Azzam?” bisikku pelan dan hampir tak bersuara. “Kenapa kamu tega lakukan semua ini ke Mas Afnan?”Aku menyeka air mata yang terus mengalir. Aku tahu Mas Afnan tak pernah sempurna, kami melalui banyak luka, banyak hal yang membuatku hampir menyerah. Tapi hari ini, dia sudah berubah. Dia mencintaiku, dan aku bisa merasakannya.
Motor berhenti perlahan di depan TPA dan aku langsung melirik ke samping, melihat Mas Afnan yang masih duduk tegak, matanya menyapu sekeliling area itu dengan seksama. Lagi-lagi. Aku sampai harus menahan senyumku yang nyaris tumpah.“Tenang, Mas,” ucapku sambil menepuk pelan lengannya. “Nggak ada yang bisa gantikan posisi Mas di hati aku kok. Nggak usah cemburu.”Mas Afnan langsung memicingkan mata ke arahku, ekspresinya datar tapi aku tahu dia kepancing. “Siapa juga yang cemburu?” sahutnya ketus.Aku menahan tawa. Duh, Masku ini … muka kamu itu lho, udah kayak papan reklame yang tulisannya ‘aku cemburu’ tapi masih aja gengsi ngaku. Aku menyandarkan telapak tanganku pada tangannya yang masih menggenggam setang motor, lalu dengan cepat mengecup punggung tangannya, membuat dia langsung melirikku tajam dengan mata melebar.Aku menyeringai menggoda. “Udah sana berangkat, Mas. Nanti telat ngurusin Ma
Aku mencuci muka lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali. Tapi hawa panas di wajahku masih belum juga reda. Rasanya pipiku seperti menyimpan bara api yang tak kunjung padam. Benar-benar panas.“Ya Allah, Safa ... tenang. Tenang,” gumamku pelan sambil menatap bayangan sendiri di cermin kamar mandi. Ya ampun, sudah seperti kepiting rebus saja pipiku ini.Padahal, ini bukan pertama kalinya Mas Afnan bersikap romantis. Bahkan, kami sudah lebih dari itu. Tapi kenapa sekarang rasanya beda, ya? Kenapa sentuhannya tadi bisa buat jantungku serasa hampir copot? Kenapa tatapannya terasa menusuk langsung ke dalam hati? Dan kenapa reaksiku harus secanggung dan segugup ini? Haduh, Safa.Aku menggerutu lagi sambil mengusap wajah dengan handuk kecil. Tapi belum sempat aku benar-benar menenangkan diri, suara ketukan pelan di pintu membuat tubuhku menegang seketika.Tok! Tok!“Saf … Safa,” panggil suara Mas Afnan. Suaranya
“Udah ah, Mas. Sana nunggu aja di meja makan,” ucapku pelan, mencoba mengusirnya dengan halus. Bukan karena tak suka, tapi karena aku sendiri sudah tak tahan dengan sikap manisnya yang makin hari makin bikin jantungku nyaris copot dari tempatnya.Tapi bukannya menjauh, Mas Afnan malah mematikan kompor. Aku refleks menoleh, terkejut. “Eh, lho—Mas?”Belum sempat kuprotes, tanganku ditarik lembut dan tubuhku diputar hingga aku kini berdiri menghadapnya sepenuhnya. Nafasku tercekat. Mata itu ... tatapan matanya yang lekat dan dalam membuatku tak bisa bergerak.Mas Afnan mengangkat tangannya, menyentuh rambutku yang memang hari ini aku cepol asal karena kupikir tidak akan ke mana-mana. Tangannya bergerak perlahan, merapikannya dengan gerakan lembut yang membuat leherku terasa panas.Aku baru saja akan berkata sesuatu saat jemarinya menyentuh bibirku.“Boleh?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Aku mene