Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.
Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.
Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.
“Safa!”
Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini?
“Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.
“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”
“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa sih yang dicari sama Azzam dari cewek lain? Padahal, kamu itu udah nyaris sempurna. Tapi dia malah tega mengkhianati kamu. Keterlaluan!” cerca Nilam mengeluarkan semua kekesalannya.
Aku hanya diam. Setetes air mataku semakin mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua terlalu tiba-tiba dan tak terduga. Pernikahan tinggal di depan mata, tapi malah terdengar kabar pihak laki-laki menikah dengan perempuan lain.
“Apa?”
Aku dan Nilam sontak terkejut. Kami saling menoleh sesaat, lalu sama-sama melihat ke arah belakang.
Jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat Nenek berdiri di sana dengan tatapan shock.
“Ne-Nenek?”
“Apa benar yang barusan Nenek dengar, Safa? Pernikahan kamu dan Azzam batal?” tanya Nenek dengan tatapan sendu.
Aku menundukkan pandangannya. Butir-butir sebening kristal itu berjatuhan dengan deras. “Iya.”
Tiba-tiba, Nenek memegangi dadanya dan berteriak kesakitan. Aku diserang panik. Gunung seakan ditimpakan padaku detik itu juga saat melihat Nenek tak sadarkan diri tepat di depan mata. Aku berteriak lantang dan langsung berlari menghampirinya.
Ya Allah ... Ya Allah ... jangan sampai yang kutakutkan kembali terjadi.
...
Ketakutan itu menjadi nyata. Kondisi Nenek kembali drop dan Dokter yang menanganinya pun tak kunjung keluar.
Aku terduduk di bangku lorong dengan air mata yang terus mendesak keluar. Dalam sehari, aku mendapat dua kabar yang menyayat hati sehingga membuatku seperti tak sanggup menerima lagi.
“Safa ....”
Mendengar Ibu dari lelaki penghancur hatiku memanggil, aku hanya diam. Kepalaku tertunduk dalam-dalam. Aku hanya mengenggam erat tangan Nilam yang setia duduk di sampingku ini. Hanya dia yang kupercaya saat ini. Tak ada siapapun lagi.
“Kami minta maaf. Ini semua karena kesalahan kami.”
Aku tak menjawab apapun. Aku lelah dan sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang. Bahkan, ucapan demi ucapan yang dilontarkan mantan calon mertuaku itu tak sedikitpun aku respon. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri. Maka dari itu, aku memutuskan pergi dari lorong itu bersama Nilam menuju taman Rumah Sakit.
Aku tak peduli bila wanita itu menganggap tindakanku kurang sopan. Biarkan saja! Aku sudah tidak peduli lagi.
“Safa ....”
Tubuhku membeku. Suara itu?
“Aku benar-benar minta maaf.”
Sepasang tanganku mengepal kuat. Jeda seperkian detik, aku memberanikan diri mendongakkan wajah menatap pada lelaki itu. Lelaki yang dulu aku tunggu kehadirannya.
“Apa salah aku sama kamu, Azzam?” Aku menatap mantan tunanganku itu dengan penuh kecewa, marah dan benci. Sepasang tanganku mengepal.
“Aku benar-benar minta maaf.”
Aku memalingkan muka ke samping, sekaligus menghalau air mataku yang hendak jatuh. Tidak! Aku tak mau terlihat lemah di depan lelaki pengecut itu. Dia yang dulu berucap janji, tapi dia juga yang melanggar janji itu.
“Maaf? Apa kamu fikir dengan minta maaf, harga diri Safa yang sudah kamu injak-injak akan kembali lagi, hah? Kamu sudah menghancurkan hati Safa, Zam!” sungut Nilam dengan berapi-api.
“Saya tahu, permintaan maaf saya tidak akan memperbaiki apa-apa, tapi saya sungguh-sungguh merasa bersalah pada Safa, Nilam,” sahut Azzam.
Kembali, Azzam mengarahkan pandangan padaku. “Maafkan aku. Aku yakin, kamu pasti akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi dari aku, Saf,” cakapnya.
“Sebaiknya kamu pergi dari sini!” usirku secara halus tanpa sudi menatap wajahnya lagi.
Azzam terdiam. Sedetik kemudian, lelaki itu mangguk-mangguk dengan senyum miris. “Aku tahu kamu nggak mungkin semudah itu memaafkan aku, Saf. Aku paham. Tapi, aku berharap suatu saat nanti kamu mau memaafkan aku.”
Aku tak menyahut apapun. Satu tanganku semakin mengepal. Ingin rasanya melayangkan tamparan pada wajah itu yang memang sudah terdapat luka lebam. Entah karena apa. Aku tak tahu dan tak peduli. Cinta yang bersemayam dalam hatiku untuk Azzam kini telah pergi tak tersisa dan berubah jadi kebencian.
Azzam perlahan membalikkan tubuhnya dan berpamitan pergi. Saat itulah, benteng pertahananku roboh, hancur berantakan. Aku menutup wajahku yang terisak dengan telapak tangan.
“Saf, udah!” Nilam mengusap-ngusap punggungku sekaligus menyalurkan ketenangan. “Cowok jahat kaya dia nggak pantes kamu tangisin!”
Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”
Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka
Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M
Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu
Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung
Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a