Share

Hanya Omong Kosong

Author: Catatan_Sajak
last update Last Updated: 2025-04-10 21:34:26

Semua kebingungan di benakku akhirnya terpecahkan. Segala pertanyaan yang hinggap di kepala kini sudah terjawab. Sekarang apa yang harus kulakukan? Tidak ada. Semua sudah hancur sekarang. Segala angan dan harapan yang kupupuk bersamanya kini telah sirna tak berbekas.

Hatiku sakit. Sakit sekali. Dia yang sangat kutunggu kehadirannya untuk mengucap akad, ternyata sudah mengucap akad atas nama gadis lain.

Entah apa yang harus kujelaskan pada Nenek. Aku takut berita ini akan membuat kesehatan Nenek menurun lagi.

“Safa!”

Aku tertegun. Itu suara Nilam. Tetapi, kenapa dia ada di sini?

 “Kalau mau nangis, nangis aja, Saf! Aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang.” Suaranya bergetar dan serak. Dia pasti menangis juga. Duhai Allah, apa-apaan ini? Harusnya hari ini aku memberikan warna kebahagiaan pada mereka, tapi aku justru malah membuat mereka meneteskan air mata untukku.

“Kamu sama siapa ke Jakarta, Nilam? Bukannya kamu ada tugas penting di desa?”

“Aku nggak mungkin tenang, Safa. Apa sih yang dicari sama Azzam dari cewek lain? Padahal, kamu itu udah nyaris sempurna. Tapi dia malah tega mengkhianati kamu. Keterlaluan!” cerca Nilam mengeluarkan semua kekesalannya.

Aku hanya diam. Setetes air mataku semakin mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Aku tak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua terlalu tiba-tiba dan tak terduga. Pernikahan tinggal di depan mata, tapi malah terdengar kabar pihak laki-laki menikah dengan perempuan lain.

“Apa?”

Aku dan Nilam sontak terkejut. Kami saling menoleh sesaat, lalu sama-sama melihat ke arah belakang.

Jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat Nenek berdiri di sana dengan tatapan shock.

“Ne-Nenek?”

“Apa benar yang barusan Nenek dengar, Safa? Pernikahan kamu dan Azzam batal?” tanya Nenek dengan tatapan sendu.

Aku menundukkan pandangannya. Butir-butir sebening kristal itu berjatuhan dengan deras. “Iya.”

Tiba-tiba, Nenek memegangi dadanya dan berteriak kesakitan. Aku diserang panik. Gunung seakan ditimpakan padaku detik itu juga saat melihat Nenek tak sadarkan diri tepat di depan mata. Aku berteriak lantang dan langsung berlari menghampirinya.

Ya Allah ... Ya Allah ... jangan sampai yang kutakutkan kembali terjadi.

...

Ketakutan itu menjadi nyata. Kondisi Nenek kembali drop dan Dokter yang menanganinya pun tak kunjung keluar.

Aku terduduk di bangku lorong dengan air mata yang terus mendesak keluar. Dalam sehari, aku mendapat dua kabar yang menyayat hati sehingga membuatku seperti tak sanggup menerima lagi.

“Safa ....”

Mendengar Ibu dari lelaki penghancur hatiku memanggil, aku hanya diam. Kepalaku tertunduk dalam-dalam. Aku hanya mengenggam erat tangan Nilam yang setia duduk di sampingku ini. Hanya dia yang kupercaya saat ini. Tak ada siapapun lagi.

“Kami minta maaf. Ini semua karena kesalahan kami.”

Aku tak menjawab apapun. Aku lelah dan sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa sekarang. Bahkan, ucapan demi ucapan yang dilontarkan mantan calon mertuaku itu tak sedikitpun aku respon. Aku perlu waktu untuk menenangkan diri. Maka dari itu, aku memutuskan pergi dari lorong itu bersama Nilam menuju taman Rumah Sakit.

Aku tak peduli bila wanita itu menganggap tindakanku kurang sopan. Biarkan saja! Aku sudah tidak peduli lagi.

“Safa ....”

Tubuhku membeku. Suara itu?

“Aku benar-benar minta maaf.”

Sepasang tanganku mengepal kuat. Jeda seperkian detik, aku memberanikan diri mendongakkan wajah menatap pada lelaki itu. Lelaki yang dulu aku tunggu kehadirannya.

“Apa salah aku sama kamu, Azzam?” Aku menatap mantan tunanganku itu dengan penuh kecewa, marah dan benci. Sepasang tanganku mengepal.

“Aku benar-benar minta maaf.”

Aku memalingkan muka ke samping, sekaligus menghalau air mataku yang hendak jatuh. Tidak! Aku tak mau terlihat lemah di depan lelaki pengecut itu. Dia yang dulu berucap janji, tapi dia juga yang melanggar janji itu.

“Maaf? Apa kamu fikir dengan minta maaf, harga diri Safa yang sudah kamu injak-injak akan kembali lagi, hah? Kamu sudah menghancurkan hati Safa, Zam!” sungut Nilam dengan berapi-api.

“Saya tahu, permintaan maaf saya tidak akan memperbaiki apa-apa, tapi saya sungguh-sungguh merasa bersalah pada Safa, Nilam,” sahut Azzam.

Kembali, Azzam mengarahkan pandangan padaku. “Maafkan aku. Aku yakin, kamu pasti akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik lagi dari aku, Saf,” cakapnya.

“Sebaiknya kamu pergi dari sini!” usirku secara halus tanpa sudi menatap wajahnya lagi.

Azzam terdiam. Sedetik kemudian, lelaki itu mangguk-mangguk dengan senyum miris. “Aku tahu kamu nggak mungkin semudah itu memaafkan aku, Saf. Aku paham. Tapi, aku berharap suatu saat nanti kamu mau memaafkan aku.”

Aku tak menyahut apapun. Satu tanganku semakin mengepal. Ingin rasanya melayangkan tamparan pada wajah itu yang memang sudah terdapat luka lebam. Entah karena apa. Aku tak tahu dan tak peduli. Cinta yang bersemayam dalam hatiku untuk Azzam kini telah pergi tak tersisa dan berubah jadi kebencian.

Azzam perlahan membalikkan tubuhnya dan berpamitan pergi. Saat itulah, benteng pertahananku roboh, hancur berantakan. Aku menutup wajahku yang terisak dengan telapak tangan.

“Saf, udah!” Nilam mengusap-ngusap punggungku sekaligus menyalurkan ketenangan. “Cowok jahat kaya dia nggak pantes kamu tangisin!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Pernikahan impian   Luka Tak Terlihat

    Sudah beberapa hari kami kembali tinggal di desa. Rumah mungil yang dulu sempat kutinggalkan kini terasa lebih hangat. Lebih hidup. Mungkin karena hatiku juga sudah mulai pulang.Pagi ini, sinar matahari menyusup malu-malu lewat celah jendela ruang kelas TPA. Suara anak-anak yang mulai membaca iqra’ terdengar bersahutan dengan tawa-tawa polos yang kurindukan.“Bu Safa!” seru seorang anak sambil mengangkat tangan. “Ini huruf ‘tsa’ ya?”Aku tersenyum dan mengangguk. “Masya Allah, pintar! Betul, itu huruf ‘tsa’. Ayo, sekarang bareng-bareng, baca barisnya, ya.”Mereka mengangguk. Suara mereka menyatu dan membuat dadaku hangat.Setelah sesi belajar selesai, anak-anak mulai pulang satu per satu. Beberapa masih asyik bermain di halaman Mushola kecil kami. Aku sedang membereskan lembar-lembar kerja mereka ketika sebuah suara familiar terdengar di belakangku.“Alhamdulillah, akhirnya kamu balik juga ke tempat ini. Sempat aku pikir kamu bakalan nggak balik lagi.”Aku menoleh dan mendapati Nilam

  • Bukan Pernikahan impian   Memulai Babak baru

    Langit sore di desa begitu tenang. Seolah ikut menyaksikan langkah kami kembali menapaki jalan kecil berdebu menuju rumah kami di desa ini.Di sampingku, Mas Afnan berjalan dengan diam. Tapi, tangannya erat menggenggam jemariku. Hawa musim kemarau membuat dedaunan berguguran satu per satu. Tapi hari ini ada sedikit ruang lapang di dada. Ada yang terasa pulang.“Alhamdulillah, kita bisa sampai lagi di sini,” gumamku seraya menatap rumah sederhana itu dengan perasaan penuh campur aduk.Mas Afnan menoleh. Sorot matanya masih menyimpan luka, tapi ada ketegasan di sana. Ketegasan yang sama saat ia mengucapkan talak itu di hadapan keluarga dan Allah—bukan karena benci, tapi karena kebenaran harus ditegakkan.“Rumah ini selalu jadi tempat aku menenangkan diri,” ujarnya akhirnya. “Dan kamu adalah rumah itu, Safa.”Hatiku tercekat. Aku tak bisa membalas kata-kata itu selain dengan menunduk dan menguatkan genggamanku di tangannya. Aku masih mengingat jelas momen ketika semua kebohongan itu terb

  • Bukan Pernikahan impian   Kembali Ke Tempat Seharusnya

    Mobil Mas Afnan melaju perlahan memasuki halaman rumah. Senja sudah hampir hilang, langit mulai gelap, menyisakan rona jingga samar di ufuk barat. Suasana rumah begitu hening dan hanya suara gesekan dedaunan yang tertiup angin yang terdengar.Kami turun dari mobil tanpa banyak bicara. Mas Afnan menggenggam tanganku erat seolah ingin memastikan aku benar-benar ada di sisinya. Langkah kami menyusuri teras dan masuk ke dalam rumah yang seolah ikut menyimpan duka hari ini.Begitu pintu tertutup, Mas Afnan menghela nafas panjang, lalu menuntunku ke ruang tamu. Kami duduk bersebelahan. Mas Afnan menunduk dengan kedua tangannya saling bertaut.“Safa …,” panggilnya lirih seraya menatapku dalam-dalam. “Aku minta maaf. Semua ini pasti berat buat kamu. Tapi aku janji, aku janji mulai sekarang nggak akan ada lagi kebohongan yang nyakitin kamu. Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu rumah tangga kita.”Aku menatapnya dengan mataku berkac

  • Bukan Pernikahan impian   Talak Dari Afnan

    Ruangan itu seolah menahan nafas. Tegangan di dalam kamar makin menebal seakan dinding-dindingnya pun ikut menahan gejolak yang nyaris meledak. Papa Himawan berdiri dengan wajah merah padam dan menatap Sarah tajam, sementara Sarah semakin tersudut di atas ranjangnya.“Bicara, Sarah! Jelaskan! Kenapa kamu tega melakukan ini semua?!” desak Papa Himawan lagi. Suaranya meninggi, tak mampu lagi menahan kekecewaan dan amarahnya.Air mata Sarah semakin deras. Bahunya bergetar hebat, dan akhirnya, dengan suara serak, ia pecah juga. “Aku udah bilang sama Mama, sama Papa, kalau aku cinta sama Kak Afnan!” teriaknya di antara tangisnya.Ruangan itu hening seketika seolah semua baru saja dipukul kenyataan yang menyakitkan.Sarah terisak, matanya basah, wajahnya merah. “Mama juga tahu, penyebab aku kecelakaan sampai koma dua tahun itu karena aku mau nemuin Kak Afnan! Aku mau nyusulin Kak Afnan waktu dia lagi kuliah di luar kota! Tapi kalia

  • Bukan Pernikahan impian   Hanya Sandiwara

    Pintu rumah terbuka, dan Mas Afnan melangkah masuk. Wajahnya masih menyimpan sisa tegang dari percakapan telepon tadi. Begitu matanya menangkap sosokku yang berdiri menunggunya di ruang tamu, aku buru-buru memaksakan senyum. Meski hatiku masih bergetar, aku mencoba menenangkan diriku. Aku melangkah mendekat, menunduk, lalu dengan takzim mencium punggung tangannya. Tangannya hangat, sedikit bergetar, dan genggaman balasnya begitu erat seolah dia sedang mencari sandaran.Mas Afnan menatapku penuh sayang, meski di balik matanya aku tahu ada kegelisahan yang ia sembunyikan. “Mama sama Sarah masih belum ada kabar, Saf?”“Belum, Mas. Sejak pagi nggak ada yang pulang, nggak ada juga yang nelpon atau ngabarin.”Mas Afnan menghela nafas panjang dan meletakkan tas kerjanya di sofa. “Sebenarnya mereka ke mana ya? Kalau Papa sama Azzam ‘kan memang lagi ada pekerjaan di luar kota. Tapi Mama dan Sarah, tumben begini. Biasanya paling nggak M

  • Bukan Pernikahan impian   Jebakan Untuk Afnan?

    Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di depan rumah Mama Diana. Rumah itu terlihat lengang, sepi, hanya suara kicau burung yang terdengar bersahutan di halaman. Mas Afnan mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke arahku. Sorot matanya masih sama. Letih, penuh tanya, dan sembunyikan luka.Kami turun tanpa banyak bicara. Langkah kami pelan saat memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, suasana sepi langsung menyambut kami. Tak ada suara, tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu. Hanya udara pagi yang mengalir melalui jendela yang terbuka sebagian.Mas Afnan menatap sekeliling, lalu menghela nafas. “Kosong. Mungkin semuanya lagi keluar,” gumamnya sambil melepas jasnya. “Kamu langsung istirahat aja ya, Saf. Aku juga mau siap-siap ke kantor.”Aku mengangguk patuh, berusaha tersenyum meski hatiku masih terasa berat. “Iya, Mas. Kamu hati-hati di jalan nanti.”Mas Afnan mengusap lembut kepalaku. Sentuhannya hangat tapi t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status