Share

Pelukan Yang Berbalas

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-10 14:39:30

“Mas ...,” suaraku tercekat. “Mas juga masih cinta aku, ‘kan? Lihat aku, Mas. Tatap aku. Aku nggak khianatin Mas. Aku mohon ... jangan pergi. Jangan tinggalin aku ....”

Mas Afnan masih tak bergeming, tapi aku bisa lihat kerongkongannya bergerak. Dia menelan ludah dengan berat. Pandangannya tertuju ke lantai. Seakan takut kalau dia menatapku, semua pertahanan itu akan runtuh.

Aku melangkah lebih dekat.

“Mas, lihat aku,” pintaku dengan suara bergetar. “Tatap aku baik-baik. Apa Mas udah nggak cinta sama aku?”

Tak ada jawaban.

Mataku membasah lagi. Dada sesak. Aku menahan tangis yang sudah tak tertahan. Aku mulai kehabisan cara. Aku sudah menangis. Memohon. Bicara dari hati. Tapi dia tetap diam.

Kalau ini satu-satunya cara agar dia sadar ... agar dia ingat siapa aku, baiklah! Akan aku lakukan. Dengan tangan gemetar ini, aku nekat menjangkau dasi yang melingkar rapi di leher kemejanya. Dengan gerakan mendadak, aku menariknya.

Mas Afnan kaget. Matanya membesar karena terkejut, dan sebelum i
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Seperti Dulu Lagi

    Mas Afnan melangkah mendekat. Tak terburu-buru. Tapi sorot matanya tak lepas dariku. Tidak marah, tapi jelas terluka.“Ini yang kamu inginkan, ‘kan?” lanjutnya lebih pelan, tapi menghantam hatiku lebih keras dari teriakan. “Aku diem ... aku nggak ganggu kamu ... aku nggak nyentuh kamu, aku bahkan pulang larut supaya kamu bisa bernafas. Bukankah ini yang kamu inginkan?”“Bukan,” suaraku nyaris tak terdengar. Air mataku jatuh satu-satu.Mas Afnan menggeleng pelan. “Aku cuma pengen deket, Saf. Bukan karena aku nggak sabar. Tapi karena aku ingin kamu tahu, kamu tetap milikku. Istriku. Tapi kalau bahkan itu aja kamu tolak aku harus gimana lagi?”Aku merasa lumpuh. Tidak tahu harus menjawab apa. Yang aku tahu hanya dadaku sakit. Sangat sakit.Mas Afnan maju. Langkahnya pelan, tapi pasti. Aku tak mampu menatap langsung ke matanya. Sampai ia berhenti, hanya satu langkah dari tempatku berdiri. Jaraknya d

  • Bukan Pernikahan impian   Ini Yang Kamu Mau?

    Tiga hari telah berlalu. Tapi tidak dengan hatiku.Aku masih di sini, di rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bersamanya, tapi justru jadi saksi bagaimana aku perlahan menjauh dari satu-satunya orang yang selalu ada untukku. Bukan karena aku ingin. Tapi karena aku takut. Takut kenyataan akan lebih pahit dari yang bisa kuterima.Hari ini aku memasak seperti biasa. Menyiapkan makan siang untuk Mas Afnan yang sedang cuti sementara dari Kantor. Sayuran rebus dan ikan bakar sederhana, tapi kualami kesulitan menikmati momen-momen yang biasanya menenangkan ini.Ketika sedang sibuk menata bumbu, aku merasakan lenganku ditarik pelan dari belakang. Tubuh Mas Afnan memelukku erat. Kehangatannya menyelimuti tubuhku.“Aku kangen, Saf,” ucapnya pelan, tepat di telingaku.Tubuhku menegang. Jantungku berdebar tak karuan, bukan karena rindu, tapi panik. Cemas. Gelisah yang tiba-tiba meluap begitu saja.Aku menggenggam tangan Mas Afnan y

  • Bukan Pernikahan impian   Telepon dari Mama

    Cahaya pagi menelusup malu-malu dari celah gorden dan menghangatkan kulitku yang masih dibalut selimut tipis. Rasanya baru beberapa menit lalu aku memejamkan mata, tapi kini aku terbangun oleh sentuhan lembut di pipiku. Hangat, menenangkan, dan membuat dadaku kembali sesak oleh banyak rasa.Aku mengerjap pelan.Mas Afnan sudah lebih dulu terjaga. Tatapannya menembus mataku seolah mencoba membaca isi hati yang masih berantakan. Jarak wajah kami begitu dekat. Nafasnya yang teratur terasa menyentuh kulit wajahku.“Pagi, Sayang,” ucapnya lirih.Aku tak langsung menjawab. Tenggorokanku terasa mengering. Aku mengalihkan pandanganku dan menunduk. “A-aku mandi duluan ya, Mas,” bisikku nyaris tak terdengar dan berusaha bangkit dari tempat tidur.Tapi gerakanku terhenti. Mas Afnan menarikku kembali ke dalam dekapannya. Tubuhku refleks menegang, tapi sentuhannya menenangkan. Bukan mengekang, melainkan menahan agar aku tetap tinggal. Ag

  • Bukan Pernikahan impian   Takkan Pernah Pergi

    Mobil melaju dalam diam. Di dalamnya, hanya ada suara pelan dari AC dan putaran ban yang menggilas aspal. Tapi di dalam kepalaku, semuanya bising. Terlalu bising.Pikiranku tak henti-hentinya memutar ulang rekaman itu. Aku bahkan tak sadar kami sudah tiba, sampai sebuah sentuhan hangat menjalari tanganku.“Safa,” panggil Mas Afnan pelan. “Kenapa?”Aku tersentak kecil. Tatapanku menoleh padanya dan buru-buru menggeleng. “Nggak apa-apa,” bohongku. Aku tahu Mas Afnan tahu aku bohong. Tapi dia tak bertanya lebih lanjut. Kami turun dari mobil dan berjalan menuju rumah.Langkah-langkah kami sunyi. Dan saat kami berdiri tepat di depan pintu kamar, kakiku tiba-tiba berat. Aku terdiam di depan ambang pintu. Nafasku tercekat. Ketakutan itu kembali merayap dan menyesakkan dadaku seperti malam yang tidak berujung.“Mas,” suaraku. Aku menatap pintu kamar yang tertutup. “Gimana kalau laki-laki itu udah lakuin

  • Bukan Pernikahan impian   Hanya Jebakan

    Aku berdiri kaku di sisi meja ketika suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Degup jantungku mendadak bertambah cepat. Nafasku tertahan saat sosok Mas Afnan muncul di ambang ruang makan.Dia masih mengenakan kaus lengan panjang dan celana santainya. Wajahnya belum sepenuhnya lepas dari lelah, tapi ada ketenangan samar yang tak kupahami.Aku tersenyum kikuk, canggung, tapi tulus. “Mas, yuk, makan. Ini aku bantu masak sama Bibi.”Dia tidak menjawab. Hanya mengangguk sekali dan berjalan ke kursinya. Hening. Tak ada percakapan. Tak ada pandangan. Hanya suara sendok bertemu piring dan gelegak kecil dari air teh hangat. Tapi ketika sendoknya berhenti, dia mendongak sedikit.“Habis ini kamu ikut aku ke hotel itu.”Seluruh tubuhku seperti membeku. Hotel?Aku menatap wajahnya, tapi sorot matanya tak berubah. Tetap datar. Tetap tenang seperti permukaan danau di tengah malam.“Untuk temukan laki-laki itu,&rdqu

  • Bukan Pernikahan impian   Luka Masa Kecil Suamiku

    Pelukannya perlahan mengendur. Tangannya menjauh, tapi tidak sepenuhnya melepas. Hanya cukup untuk menatap wajahku. Tatapan itu begitu dalam. Penuh luka yang belum sembuh, tapi juga cinta yang belum padam.Dahi kami bersentuhan. Nafasnya terasa lembut menyentuh kulitku. Dan dengan lirih, nyaris seperti gumaman, dia berkata, “Aku gagal jaga kamu ....”Hatiku terasa diremas.Aku menatap matanya dengan terkejut. Menyadari betapa dalam rasa bersalahnya. Betapa dia menyalahkan dirinya sendiri seolah semua ini adalah kesalahannya semata. Padahal bukan.Aku menggeleng kuat. “Enggak, Mas. Mas nggak gagal jagain aku. Aku ... aku yang kurang jaga diri. Aku yang terlalu polos. Aku yang terlalu percaya sama orang. Tapi Mas, tolong ... jangan pernah salahin diri sendiri.”Suaraku tercekat, dan mataku mulai kembali basah. Kutundukkan wajahku dan kembali berkata, “Aku nggak mau kehilangan Mas .... Tolong jangan pergi. Aku bisa hancur. Di dunia ini yang aku punya cuma Mas. Jangan tinggalin aku ....”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status