Share

Suami Genit

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-24 13:00:32

Setelah menyelesaikan shalat Isya berjamaah, aku masih menunduk dengan khusyuk meresapi setiap doa yang Mas Afnan panjatkan dalam diam. Usai doa itu selesai, ia berbalik menghadapku. Refleks, aku menunduk dan mengecup punggung tangannya dengan penuh takzim. Gerakan kecil itu sudah seperti bentuk hormat yang tak pernah kulupa, dan entah kenapa selalu membuat dadaku hangat.

Aku hendak bangkit, berniat melipat sajadah dan membereskan mukena, tapi Mas Afnan menahan bahuku pelan. Sentuhannya lembut, tapi cukup membuatku kembali duduk dan menatapnya heran.

“Ada apa, Mas?” tanyaku pelan nyaris berbisik karena suasana masih syahdu.

Mas Afnan menatapku. Kali ini dengan pandangan yang agak berbeda dari biasanya. Hangat, teduh dan ... penuh maksud. “Hari ini kamu capek nggak?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengernyit bingung. “Enggak juga tuh. Kan aku libur ngajar, jadi santai aja seharian.”

Mas Afnan mengangguk-angguk seolah sed

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Kejutan Dari Afnan

    Siang mulai condong. Sinar mentari tak secerah tadi pagi, tapi cukup hangat menyentuh kulit. Anak-anak sudah pulang sejak sepuluh menit lalu, tapi aku masih duduk di pojok ruangan, hanya memandangi papan tulis kosong dan sisa-sisa coretan yang belum sempat aku hapus.Bukan karena lelah. Bukan pula karena malas pulang ke rumah. Tapi lebih kepada perasaan ganjil yang terus mengusik. Sejak beberapa hari terakhir, rumah yang biasa kuanggap tempat paling nyaman, terasa begitu asing. Terlalu banyak sandiwara. Terlalu banyak batas yang seolah dikaburkan dengan alasan baik-baik saja.Aku menghela napas pelan dan melirik jam di tangan. Sudah cukup. Tak mungkin aku berlama-lama di sini hanya untuk lari dari kenyataan. Aku bangkit, memungut tas, dan melangkah menuju pintu depan.Tapi begitu keluar pagar TPA, langkahku terhenti. Jantungku seperti ikut menahan gerak saat mataku menangkap sosok yang sama sekali tak kuharapkan muncul siang ini.Mas Afnan.Dia ber

  • Bukan Pernikahan impian   Selalu Gagal Bicara

    Sudah beberapa hari berlalu sejak malam itu. Sejak aku berniat menyampaikan semuanya pada Mas Afnan—tentang Sarah, tentang batas yang mulai dilanggar, tentang perasaanku yang perlahan mulai sesak. Tapi sampai hari ini, aku belum juga mendapat kesempatan untuk benar-benar bicara.Karena selalu saja ada Sarah di sela kami. Di antara ruang kami. Di tengah-tengah hal-hal kecil yang seharusnya hanya milik kami berdua.Pagi tadi contohnya. Saat Mas Afnan baru saja hendak berangkat ke kantor dan aku ingin berbicara sejenak sebelum ia pergi, Sarah tiba-tiba keluar dari kamarnya dengan tergesa.“Kak Afnan, nanti bisa antar aku nggak ke posko? Aku buru-buru banget, tapi belum sempet pesan ojek,” ucapnya sambil mengangkat tas selempangnya.Mas Afnan menatapku sekilas, lalu ke arah Sarah. “Sarah, kamu ‘kan biasanya naik ojek. Biar aku pesanin aja, ya?”“Jangan, Kak!” Sarah memotong dengan cepat. “Aku nggak

  • Bukan Pernikahan impian   Ada Yang Tidak Beres

    Aroma tumis buncis dan telur dadar memenuhi dapur. Suara dentingan piring berpadu dengan langkah pelan dari arah kamar. Aku tahu itu Mas Afnan. Dan seperti biasa, meski ada banyak hal yang bergemuruh di dada, aku tetap tersenyum menyambutnya.“Hai, Mas.” Suaraku terdengar ringan, meski perasaanku tak seenteng itu. “Kamu sarapan dulu, ya.”Mas Afnan mengangkat wajah. Ada semburat lelah yang masih tertinggal di matanya, tapi ia tetap membalas senyumku. Senyum yang belum sepenuhnya pulih. “Maaf, Saf,” gumamnya lirih. “Semuanya jadi buyar.”Aku tahu apa maksudnya. Ia masih memikirkan kejadian semalam. Tentang bagaimana momen kami yang nyaris begitu indah berubah menjadi kekacauan hanya karena darah. Hanya karena trauma lama yang kembali menyeruak.Aku menelan ludah, lalu menggeleng sambil tetap tersenyum. “Nggak perlu dipikirin, Mas. Sekarang mending Mas sarapan dulu.” Suaraku sebisa mungkin kubuat t

  • Bukan Pernikahan impian   Phobia Afnan

    Aku masih duduk di tepi ranjang dan mencoba merapikan diri dan mengatur nafas yang belum sepenuhnya stabil. Jemariku sibuk membenahi kerah piyama yang sempat terbuka saat suara melengking dari arah dapur kembali membuatku terlonjak.“Kak Afnan! Astaga!”Jantungku langsung terjun ke perut. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke luar kamar, menyusuri lorong rumah yang sunyi tapi mencekam. Dan ketika sampai di ujung dapur, pandanganku terpaku. Nafasku tercekat.“Mas, astagfirullah, Mas!” seruku spontan.Mas Afnan terduduk di lantai dengan wajah pucat dan keringat dingin yang mengucur deras. Dadanya naik-turun. Seperti baru saja lari jauh tanpa sempat bernafas. Tatapannya kosong, nyaris tanpa fokus.Aku segera berlutut di sampingnya. Tanganku gemetar menyentuh pundaknya. “Mas, kenapa? Sarah, ada apa ini?” tanyaku panik.Sarah berdiri canggung di sisi lemari kecil dengan tangan yang memegang pergelangan kakinya. R

  • Bukan Pernikahan impian   Malam Yang Hampir Menghapus Jarak

    Suara mesin mobil Mas Afnan berhenti di depan rumah membuat detak jantungku bertambah cepat. Aku tahu, malam ini waktunya. Waktu untuk bicara. Waktu untuk memperbaiki batas yang mulai kabur. Tapi juga waktu untuk menyiapkan hati. Entah akan berujung pada pelukan, atau justru diam yang menggantung lagi.Aku bangkit dari duduk dan mengintip dari sela gorden, lalu buru-buru menuju pintu saat melihat mobilnya sudah benar-benar berhenti. Ketika pintu terbuka, kulihat wajah lelah Mas Afnan dan dahi yang mengernyit saat melihatku masih terjaga.“Kenapa belum tidur?” tanyanya lirih.Aku tersenyum tipis dan mencoba tetap tenang, meski gemuruh di dadaku seperti petir yang menunggu meledak. Aku melangkah mendekat, lalu meraih tangannya dan mencium punggungnya dengan penuh takjim. Sehangat itu kulitnya, bahkan saat lelah sekalipun.“Mas pasti capek banget, ya,” kataku pelan. “Aku buatin minum dulu, ya.”“Nggak usah, Sa

  • Bukan Pernikahan impian   Mulai Dilanggar

    Aku baru saja selesai mengenakan jilbab dan memeriksa tas berisi buku-buku hafalan anak-anak TPA, ketika suara langkah kaki terdengar di lorong. Pagi masih segar, semoga hati juga bisa tetap segar hari ini.Namun, langkahku terhenti ketika pintu kamar terbuka dan aku berpapasan dengan Sarah. Ia tampak sibuk merapikan kunciran rambutnya dengan tas selempang tergantung di bahu.“Kak,” ucapnya ringan tanpa sadar menambah beban di pundakku. “Meja yang di deket dapur itu kayaknya menuhin tempat deh. Jadi, aku pindahin aja ke belakang.”Aku langsung menoleh. Keningku otomatis mengerut. “Meja yang mana, Sar?” tanyaku. Suaraku lebih tinggi dari biasanya. “Kenapa kamu nggak bilang-bilang dulu?”Sarah terdiam sejenak. Mungkin dia menyadari perubahan nada suaraku. Ia mengatupkan bibir, lalu menjawab pelan, “Maaf, Kak. Aku pikir kakak juga akan setuju. Lagipula, mejanya juga jarang dipakai, kan?”Aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status