Share

Janji Azzam

Penulis: Catatan_Sajak
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-10 21:32:11

“Tapi aku takut ....” Tatapanku tertunduk dalam-dalam. “Aku belum bisa bahagiain Nenek, Zam. Aku belum bisa buat dia bangga sama aku.” Setetes air mata di pelupuk mataku jatuh. Dadaku selalu terasa sesak jika mengingat kondisi Nenek yang akhir-akhir ini, kondisi kesehatannya semakin menurun.

Siapa yang akan siap siaga memelukku ketika ada suara petir di malam hari nanti? Siapa yang akan mencium keningku saat mau berangkat mengajar? Siapa yang akan cerewet mengingatkanku sarapan bila terburu-buru pergi ke TPA?

Tidak! Aku tak akan sanggup membayangkan hari-hariku tanpa nenek.

“Hei, tenang.”

Bukannya tenang, tangisku semakin tak bisa dihentikan. Aku menutup wajah dengan telapak tangan. Di tengah isakan itu, aku tertegun saat merasakan tubuhku yang ditarik pelan. Beberapa detik kemudian, dekapan hangat mulai kurasakan.

“Ada aku di sini, kan? Semua pasti baik-baik saja.”

Sesaat aku memang tersentuh atas perilaku Azzam, tetapi beberapa menit kemudian, aku langsung menarik diri dari dekapan lelaki itu dan ber-istighfar dalam hati. Bagaimanapun, hubungan kami belum sah sebagai mahram dan berpelukan seperti tadi, jelas melanggar aturan agama.

“Maaf ....” Aku sama sekali tak berani menatap matanya. Namun, aku berharap dia memaklumi kekhawatiranku selama ini. Dan sepertinya, ini saat yang tepat.

“Azzam.” Perlahan, kupaksakan menatap pada retina matanya. Pancaran mata yang selalu membuatku merasa ingin menyelaminya lebih dalam.

“Iya, kenapa?”

Aku menggigit bibir bawah. Keraguan tiba-tiba menyelimutiku. “Ka-kapan kamu mau nikahin aku?”

Azzam terdiam.

“Aku harap kamu nggak lupa, tujuan kita berpacaran itu untuk apa? Jujur, aku mulai takut. Perbuatan kita ini jelas salah!” Akhirnya aku berani mengutarakan kegundahan dalam fikiranku selama ini.

Azzam masih bungkam. Melihat hal itu, tentu membuat ketakutan dan kekhawatiranku semakin mencuat ke permukaan. Azzam tidak mungkin hanya main-main. Benar, kan?

“Atau kalau kamu memang nggak niat serius sama aku, mungkin kita—”

“Aku akan menikahi kamu bulan depan, Saf,” sela Azzam cepat yang membuatku sontak menoleh padanya dengan kedua mata yang membulat sempurna.

“Ka-kamu serius?” tanyaku memastikan lagi.

Azzam mengangguk dengan wajah diiringi senyuman. “Aku serius cinta sama kamu, Safa. Aku nggak lupa sama tujuan kita, kok. Dan sekarang, aku akan tepatin janji itu sama kamu,” tuturnya dengan sangat yakin.

Ya Allah, lega sekali rasanya. Aku tersenyum. Perasaanku membuncah bahagia. “Terima kasih.”

Azzam mengangguk. Tangan lelaki itu sudah terangkat untuk mengusap puncak kepalaku, tapi dia urungkan saat melihatku bergeser duduknya sedikit jauh. Aku memang mencintainya. Tetapi, aku tak ingin cinta itu malah mendorongku pada sesuatu yang kusesali nantinya.

Sejak memutuskan berpacaran saja, aku sudah merasa bersalah dan tak tenang karena tahu itu dosa. Dan aku tidak ingin semakin bertumpuk dosa lagi saat melakukan kontak fisik sebelum akad.

...

Nenek mengembangkan senyum di wajahnya yang mulai keriput itu, saat aku berkata pernikahanku dengan Azzam akan dilangsungkan bulan depan.

“Semoga dia benar suami yang Allah pilihkan untuk kamu,” doanya penuh harap. Aku mengangguk dan mengamini dalam hati.

“Sekarang Nenek bisa pergi dengan tenang.”

Deg!

Seketika aku terpaku di tempat. Kerutan di dahiku muncul. “Maksud Nenek?”

Alih-alih menjawab, Nenek justru mengembangkan senyum dan mengusap puncak kepalaku dengan penuh kasih sayang. Sebelum kembali pada Sang Khaliq, aku tahu ia memiliki harapan agar diberi kesempatan untuk melihatku menikah dengan seseorang yang sangat mencintaiku. Namun, takdir tak dapat ditebak bukan? Yang terjadi ke depannya, manusia tidak akan pernah tahu.

“Lalu bagaimana dengan persiapannya?” tanya Nenek yang tiba-tiba mengganti topik. Aku tahu itu disengaja.

“Azzam bilang, dia yang akan mengurus semuanya.”

Nenek mengangguk paham. “Nenek sangat menyayangimu, Safa.”

Entah kenapa, dadaku terasa sangat sesak mendengarnya. Dengan cepat aku beringsut ke pelukannya, lalu menangis tersedu di bahunya. “Safa juga sayang sama Nenek. Nenek pokoknya harus sehat-sehat, ya. Safa nggak mau kehilangan Nenek.”

...

“Ciyee ... yang mau nikah. Sumringah banget ya kelihatannya.”

Sejak Nilam tahu aku akan menikah, tak henti-hentinya dia meledekku. Bahkan, ketika masih berada di TPA seperti sekarang. “Diem ah!”

“Jadi, Safa mau menikah?” Ustadzah Gina yang turut hadir di satu ruangan yang sama, turut menimpali.

Aku hanya tersenyum simpul. “Insyaa Allah, Ustadzah.”

“Semoga semua dipermudah dan pernikahan kalian langgeng sampai Surga,” doa Ustadzah Gina.

“Aminn,” jawabku dan Nilam bersamaan.

Pandanganku langsung tertuju saat mendengar ponsel yang bergetar di atas meja. Aku fikir ada chat masuk dari Azzam, tetapi ternyata bukan. Satu minggu sudah berlalu dari pertemuan kami yang terakhir. Namun, Azzam justru tak pernah memberi kabar lagi.

Aku terus mencoba berfikir positif dan yakin dia hanya sedang sibuk. Seperti yang lelaki itu bilang, dia akan mencoba menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin agar bisa menepati janji menikahinya.

...

Salahkah kekhawatiran yang kini kurasakan? Tadinya aku fikir Azzam tidak memberi kabar lagi setelah hari dirinya mengatakan janji itu adalah karena kesibukannya, tetapi apakah sepadat itu sampai dia tak ada sedikitpun waktu setidaknya mengirimkan satu pesan?

Tiga minggu telah berlalu. Orang tua Azzam memang sudah mendatangiku dan Nenek untuk berdiskusi soal persiapan pernikahan, tetapi semua itu rasanya kurang lengkap bila Azzam tak turut hadir.

“Azzam sedang menyelesaikan urusan klien-nya di Singapura, Nak Safa. Kami yakin Azzam pasti akan pulang sebelum hari akad kalian dilangsungkan.”

Itulah kalimat yang orang tua Azzam katakan padaku beberapa hari lalu. Aku sudah mencoba untuk tetap tenang, tetapi kekhawatiran itu semakin terpancar jelas saat Azzam belum juga menunjukkan batang hidupnya sampai dua hari sebelum akad ini dilangsungkan.

“Apa Azzam benar-benar mau menikahi aku?” Keraguan mulai muncul di benakku.

Di dalam kamar yang sudah didekor seindah mungkin ini, aku menangis tersedu. Lusa adalah hari pernikahan kami. Tetapi, mempelai pria sampai sekarang belum ada kabar. Apa yang harus kulakukan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Pernikahan impian   Akhir Yang Bahagia

    Udara pagi itu terasa lebih segar dari biasanya.Burung-burung berkicau dengan semangat seolah tahu bahwa rumah kecil di ujung desa ini baru saja menyambut anggota keluarga baru. Hari itu, aku dan Mas Afnan akhirnya membawa pulang Kanza—putri kecil kami—setelah lima hari menginap di klinik.Perjalanan pulang itu terasa seperti perjalanan paling sakral dalam hidup kami.Mas Afnan menyetir dengan sangat pelan, seperti sedang membawa barang pecah belah bernilai miliaran. Tangannya menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus ke jalan, tapi sesekali mencuri pandang ke jok belakang tempatku duduk dengan Kanza di pelukan.“Mas, nyetirnya bisa agak cepet dikit nggak? Ini bukan bawa telur mentah, lho,” godaku.Mas Afnan melirik cepat dengan wajah panik. “Eh—enggak! Ini lebih penting dari telur! Ini Kanza! Anak kita! Satu goyangan aja bisa—”“Bikin dia ngambek,” potongku sambil tertawa kecil. “Tenang aja, Mas. Dia udah kenyang, udah bobo. Nggak gampang bangun kecuali denger suara Papanya panik.”

  • Bukan Pernikahan impian   Cahaya bernama Syahira Kanza

    Aku nyaris kehilangan segalanya.Nafasku sempat tersengal, tubuhku lemas, dan dunia seolah menelan kesadaranku perlahan-lahan. Tapi di antara kabut yang pekat, ada suara yang menarik aku kembali ke permukaan.Suara itu … milik Mas Afnan.Genggaman tangannya tetap erat, tak pernah lepas walau tubuhku nyaris menyerah. Suaranya gemetar, tapi dia terus bicara, terus memanggil namaku seolah jiwaku bisa kembali hanya dengan itu.“Safa, kamu denger aku? Sayang, tolong buka mata … kamu kuat, kamu harus kuat demi anak kita .…”Dan aku berusaha. Demi dia. Demi anak kami.Aku menarik nafas pelan walau masih berat, tapi cukup untuk membuat oksigen itu kembali masuk ke dadaku.Dunia yang buram perlahan mulai berwarna lagi. Aku bisa mendengar suara Bidan Rini berteriak pelan penuh semangat, “Bagus, Safa! Kamu luar biasa! Sekarang tinggal satu dorongan lagi, ya. Ayo, Bismillah!”Aku mengangguk lemah. Air mata sudah mengalir sejak tadi—karena sakit, karena takut dan karena cinta yang tidak tertahanka

  • Bukan Pernikahan impian   Aku Di sini, Safa

    Aku terbaring di atas ranjang. Tubuhku seolah dihimpit oleh rasa sakit yang datang bergelombang. Setiap kontraksi semakin kuat, lebih mengguncang, dan lebih menguras tenaga. Teriakan demi teriakan yang keluar dari mulutku membuat udara di ruang klinik bidan terasa semakin sesak.Bidan Rini ada di sisi. Ia berusaha menenangkan aku, memberi arahan untuk bernafas dengan pelan. “Tarik nafas, Safa, tarik napas … jangan tegang. Pelan-pelan …,” suaranya lembut, penuh ketenangan.Tapi aku tak bisa mendengarnya. Semua rasa sakit dan ketakutan ini menguasai pikiranku.Tanganku menggenggam ponsel, berharap ada kabar. Sesuatu. Apa pun. Tapi layar itu hanya menunjukkan satu hal: kosong. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Hanya keheningan yang menyiksa.“Mas Afnan ...,” bisikku dalam hati dan menyebut namanya berulang-ulang dalam setiap nafasku yang tersengal. "Kenapa kamu belum datang, Mas? Kenapa HP-nya nggak aktif?"Aku menatap layar ponselku lagi dan berharap bisa melihat namanya muncul. M

  • Bukan Pernikahan impian   Kontraksi

    Sudah hampir dua jam sejak Mas Afnan pergi ke kantor. Aku menghabiskan waktu bersama Nilam. Ia sengaja mampir untuk menemani setelah selesai mengajar di TPA. Kami mengobrol ringan, tertawa kecil, dan membicarakan nama-nama bayi yang terdengar lucu, sambil menikmati kudapan sore di ruang tamu.“Kalau cowok gimana kalau namanya Ilhan?” usul Nilam sambil menyodorkan pisang goreng.Aku nyengir. “Itu nama mantan gebetan kamu waktu SMA, ‘kan?”Nilam mendengus, “Ih, ya ampun! Kok kamu masih ingat sih!”Aku tertawa kecil, lalu bangkit dari duduk. “Aku ke dapur dulu ya, haus banget tiba-tiba.”“Ambilin aku juga, teh manis ya!” seru Nilam santai.Aku mengangguk dan mulai melangkah menuju dapur, sambil mengusap perutku yang sudah makin berat. Bayi ini akhir-akhir ini makin aktif menendang. Tapi langkahku baru sampai di ambang dapur ketika perutku ini mendadak mengeras. Kontraksi.Tubuhku terhuyung sedikit. Aku bersandar pada dinding dan mencoba menarik nafas perlahan. “Bismillah … mungkin ini cu

  • Bukan Pernikahan impian   Beban Tanggung Jawab

    Hari-hariku kini diisi dengan perut yang semakin berat dan langkah yang semakin pelan. Usia kehamilanku sudah masuk minggu ke-39. Setiap pagi aku bangun dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, gugup, dan harap-harap cemas. Tapi dari semua hal yang kurasakan, satu hal yang paling konstan adalah ... suamiku yang semakin heboh dari hari ke hari.“Sayang, udah kontraksi belum?”Aku menoleh malas dari sofa ruang tamu. “Belum, Mas. Baru lima menit yang lalu Mas nanya.”Mas Afnan yang kini bekerja dari rumah demi siaga penuh langsung menunduk malu sambil membawa semangkuk buah potong ke hadapanku. “Yaa ... siapa tahu mulai dalam lima menit terakhir ini.”Aku hanya bisa terkekeh dan menerima mangkuk itu. Langsung saja aku menyendok potongan pepaya, sambil memandangi wajah tegang suamiku yang sok tenang padahal jelas-jelas cemas setengah mati.Hari-hari ini, Mas Afnan benar-benar berusaha menyelesaikan semua tanggung

  • Bukan Pernikahan impian   Suami Super Siaga

    Beberapa hari terakhir, rumah kami berubah jadi markas evakuasi. Atau mungkin lebih cocok disebut zona karantina satu arah.Semenjak kedatangan Mama Diana dan Sarah—yang tak banyak bicara tapi cukup mengguncang suasana—Mas Afnan berubah jadi versi dirinya yang ... ekstra. Ekstra perhatian. Ekstra siaga. Ekstra overprotective.Contoh paling nyata: pagi ini.Aku baru saja bangun dari tempat tidur. Rambut masih berantakan, dan bibir terasa kering. Kupikir ingin ke dapur sebentar untuk mengambil segelas air putih. Tapi baru dua langkah keluar kamar, suara Mas Afnan langsung terdengar dari dapur.“Saf! Kamu mau ke mana?”Aku berhenti dan menoleh ke arah suaranya. “Ke dapur, Mas. Haus.”Langkah kakinya terdengar cepat menujuku. “Tunggu. Kamu duduk aja. Biar Mas ambil airnya.”“Mas, aku cuma mau—”“Duduk.” Suaranya tegas. Mata tajam tapi wajah penuh kekhawatiran. Dengan pelan, aku pun berbalik, berjalan kembali ke kamar dan duduk di tepi ranjang seperti anak sekolah yang ketahuan melanggar a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status