Tubuh Roseline luruh di dinding pintu yang tertutup rapat dengan air mata yang terus berderai. Hatinya seperti di remat, terasa begitu sakit kala Jovan membiarkannya berada di luar rumah di saat hujan mengguyur lebat. Hawa dingin mulai menusuk di kulitnya. Wanita itu menekuk kakinya dan bersandar di dinding, kedua tangan ringkih itu melingkar di kakinya. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Air matanya tak berhenti mengalir.Bagaimana bisa Jovan setega itu padanya? Apa hanya karena Dylan mengetahui statusnya sebagai istri Jovan sehingga lelaki itu marah besar padanya? Padahal itu juga bukan kemauan Roseline. Atau karena dia pergi ke panti tanpa memberitahunya? Kenapa ada manusia sejahat Jovan?Salah karena dia sempat mengira kalau Jovan adalah lelaki yang sangat menghargai wanita, memuliakan wanita, dan mengutamakan wanita. Lihat apa yang telah lelaki itu perbuat padanya. Sungguh tidak manusiawi."Apakah aku akan bertahan dengan rumah tangga yang seperti ini? Bahkan belum g
"Apa kau baik-baik saja?"Roseline menyipitkan matanya saat cahaya matahari masuk ke retina matanya melalui jendela kaca yang ada di ruangan itu. Kepalanya terasa begitu berat dan juga pusing. "Dimana yang sakti?" Roseline menolehkan kepalanya sedikit ke arah samping ranjang. Mendapati Jovan yang sedang menatapnya dingin namun terlihat jelas ada sorot khawatir di netra hitam legam itu. Lelaki itu tampak sudah siap dengan jas kantornya namun masih setia duduk menjaga Roseline.Roseline mengernyitkan keningnya heran, apa mungkin karena kehujanan semalam membuatnya menjadi halu? Mana mungkin Jovan mau menemaninya apalagi merawatnya ketika sakit? Mengingat bagaimana kejamnya lelaki itu semalam meninggalkannya di luar rumah. Sangat tidak mungkin, jika lelaki itu di sini. Pasti ia sedang halu.Roseline memukul kepalanya berulang kali, berharap kalau bayangan Jovan di depannya itu menghilang. Melihat Roseline yang memukul kepalanya, segera Jovan menghentikan tangan wanita itu."Hei, apa ya
“Apa mungkin yang Dylan maksud itu adalah Roseline?” gumam Jovan sembari menatap gamang ke arah jendela kaca yang ada di ruangan kantornya.Hamparan pemandangan kota di sore ini tampak begitu indah. Langit terlihat cerah dengan warna jingga kemerahan, membuat siapapun yang memandang akan menatpnya kagum. Lelaki itu memegang cangkir berisi kopi yang hanya tinggal setengah itu. Pikirannya mendadak campur aduk. Apalagi mengingat perkataan Dylan pagi tadi. Kalau memang benar sepupunya itu menyukai Roseline, bagaimana?Jovan mendengus sebentar kemudian mengerutkan alisnya seperti tengah menyadari sesuatu. Memangnya kenapa kalau Dylan menyukai Roseline? Apa urusannya? Toh, tujuan dia menikahi Roseline itu hanya untuk balas dendam, kan? Jovan juga tidak akan melibatkan perasaan apapun dengan wanita itu. Ia masih ingat kalau dirinya memiliki Deluna yang jauh lebih baik daripada Roseline.Namun sekelebat bayangan akan sikapnya pagi tadi terhadap wanita itu. Tidak! Itu sama sekali bukan dirinya
Kesal? Tentu saja. Roseline adalah istri sah Jovan tapi ia harus kalah dengan Deluna yang hanya kekasih gelap suaminya. Ingin rasanya ia menjambak rambut merah seperti tersengat listrik milik Deluna akan tetapi ia masih sayang dengan nyawanya. Jovan bisa saja membunuhnya kalau ia sampai menyakiti Deluna. Teringat jelas saat pertama kali wanita itu berkunjung ke rumahnya dan dengan sombongnya memamerkan hubungannya dengan Jovan. Apa hebatnya? Toh, Roseline sendiri malah sudah pernah tidur dengan Jovan. Meskipun...Roseline tak mau mengingatnya. Setiap kali Jovan menginginkannya, Roseline harus meminum obat pencegah kehamilan. Sebegitu jijikkah jovan sehingga tidak ingin memiliki anak dengannya? Padahal Abraham sangat mendambakan cucu dari mereka.Huft... Roseline mendesah pasrah lantas duduk di atas ranjangnya. Menatap keluar jendela, langit tampak gelap. Tidak ada cahaya bulan atau kerlipan bintang malam. Seperti tengah mendukung kegalauan hati Roseline saat ini. Hubungannya dengan Jo
Jovan menatap ke arah jam yang menggantung. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam dan Roseline belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemana wanita itu? Apa mungkin dia kabur dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini? Jovan menunggu di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Sementara Deluna, wanita itu sudah pulang sejak tiga puluh menit yang lalu dengan taksi. Jovan beralasan mengantuk dan ingin segera tidur sehingga tidak bisa mengantar Deluna. Padahal kenyataannya ia cemas karena Roseline belum juga pulang.Berkali-kali Jovan mengecek keadaan diluar melalui jendela. Barang kali tampak Roseline berjalan pulang, namun nihil. Sejak tadi tidak ada siapapun yang datang. Merasa tak tenang, Jovan pun memutuskan untuk pergi mencari Roseline. Lelaki itu menyambar jaket kulit berwarna cokelat yang dibelinya saat sehari sebelum hari pernikahannya dengan Roseline lalu memakainya. Baru saja Jovan keluar hendak menuju garasi mobil, ia melihat Roseline berjalan dengan riang sembari menenteng satu
“Jovan, aku ingin bicara.”Jovan yang tengah membuka kancing tangan kemejanya itu menoleh ke arah Roseline sebentar kemudian berdehem. “Bicaralah.”Roseline terdiam. Ia merasa bimbang apakah ini harus ditanyakan atau tidak. Tapi sungguh mengganggu pikirannya sejak tadi. Melihat Roseline yang tak kunjung bicara membuat Jovan mendengus kesal.“Kau ingin bicara atau tidak?” tanya Jovan dengan wajah kesalnya itu.“Tentang ucapanmu tadi di kamar Papa...”Jovan menaikkan sebelah alisnya saat Roseline menggantungkan kalimatnya. Ah, dia paham apa maksud wanita itu. Sontak Jovan tertawa mengejek kemudian berjalan mendekati Roseline yang tengah duduk di ranjang. Roseline yang melihat Jovan mendekat segera memasang sikap waspada.Melihat itu, Jovan semakin lucu dibuatnya. “Apa kau pikir aku akan menyakitimu di sini?”Roseline terdiam. Benar juga, ini di rumah Abraham. Mana mungkin Jovan akan menyakitinya.“Dengarkan aku, Rose. Apa yang ku katakan di kamar Papa tadi memang benar. Aku akan memberi
“Aku bahagia,” jawab Roseline sembari kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.Dylan mendesah palan. Roseline kira dia anak TK yang bisa di bohongi? Siapapun akan tahu bagaimana wajah Roseline setiap hari. Tidak pernah ada senyum di bibirnya. Tidak pernah ada binar terang di matanya. Pernikahan yang ia jalani tidaklah indah seperti bayangannya.Terlebih lagi dengan Jovan yang selalu sibuk dengan urusan Deluna. Sebenarnya mulut Dylan sangat gatal dan ingin memberitahu semua kebusukan Jovan di depan pamannya. Namun dengan karakter Roseline yang sangat melindungi suaminya itu tentu malah akan membencinya kalau ia sampai membongkar rahasia Jovan. Tapi melihat situasi ini, sungguh membuat Dylan tak tahan. Ingin rasanya ia menonjok wajah Jovan hingga tak berbentuk. Membuat wajah tampannya itu hilang. Lihat, apa yang bisa ia sombongkan selain kekayaan dan wajah tampannya itu?“Menikahi lelaki yang memiliki kekasih lain, apa itu definisi bahagiamu?”“Jaga bicaramu,” peringat Roseline s
Dylan dan Roseline berjalan beriringan dengan dua kantong plastik di tangan mengitari pusat perbelanjaan. Setelah membeli barang yang diminta Abraham, kini Roseline menemani Dylan menuju toko jam tangan branded untuk membeli hadiah untuk Abraham. Roseline tentu saja tidak tahu tentang hal itu karena meskipun dulu saat ia masih bekerja ia juga suka memberi barang seperti tas dan sepatu.Roseline hanya melihat Dylan yang tengah sibuk memilih. Sesekali lelaki itu menanyakan pendapatnya tentang mana yang lebih bagus di antara dua pilihan. Roseline pun memilih yang menurutnya elegan dan cocok untuk Abraham.“Sepertinya yang ini lebih cocok untuk Papa,” ujar Roseline sembari menunjuk sebuah jam berantai silver dengan paduan warna hitam di dalamnya. Terlihat elegan dan berwibawa. Sangat cocok dengan karakter Abraham.Dylan tersenyum senang kala Roseline membantunya memilih. Tanpa banyak kata, ia langsung membawa jam itu menuju kasir untuk dibungkus. Setelah selesai, mereka pun keluar dari to