Sore ini, Jovan dan Roseline memutuskan untuk pulang ke rumah. Selama perjalanan, keduanya saling bungkam. Ditambah dengan raut wajah Jovan yang tampak tegang. Sepertinya lelaki itu masih marah karena kejadian tadi. Roseline berdehem sebentar kemudian melirik ke arah Jovan. "Apa kau masih marah karena perkataan papa tadi?" Tanyanya hati-hati. Tidak ingin memancing emosi Jovan kembali.Jovan bungkam. Tampaknya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan Roseline. Lelaki itu terus fokus dengan jalanan yang ada di depannya.Melihat itu, Roseline memilih untuk tidak bertanya lagi dan mengalihkan pandangannya keluar jendela. Mengamati gedung-gedung yang menjulang tinggi. Melihat itu, membuatnya merasa rindu dengan masa dia kerja dulu. Apakah kalau ia kembali bekerja, Jovan akan mengizinkannya?"Aku ingin kembali bekerja," ujar Roseline tiba-tiba.Mendengar itu, Jovan langsung menolehkan kepalanya ke arah Roseline. Menatap wanita itu dengan tatapan tajam."Tidak ada yang mengizinkanmu kemba
Jovan tengah duduk termenung di meja kantornya. Hari ini ia sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Entahlah, setelah melihat ada Roseline di dalam kamarnya pagi tadi, membuat suasana hatinya memburuk. Apalagi saat ia tahu bahwa wanita itu yang telah merawatnya saat ia demam semalam. Dan lagi, ia tahu kebiasaan dirinya kalau demam pasti akan meracau. Membuatnya berpikir kalau Roseline pasti mendengar racauannya.Shit! Jovan melempar bolpoin yang ada ditangannya dengan kasar hingga bolpoin itu terpental hingga ke lantai. Pikirannya menjadi kacau. Tidak. Tidak seharusnya seperti ini. Ingat Jovan, tujuan awalmu menikahi Roseline itu apa. Jangan sampai karena hal kecil yang wanita itu lakukan padamu, membuatmu menjadi iba. Tidak.Jovan terus mengingatkan dirinya tentang tujuannya menikahi Roseline dan juga dengan Deluna, wanita yang dicintainya itu. Wanita yang seharusnya menjadi masa depannya. Jovan menghembuskan nafasnya kasar. Sial! Bisa-bisanya ia menjadi tidak fokus hanya karena
"Biar saya saja yang mengantarkan kepada pak Jovan," sela Deluna saat melihat resepsionis hendak berjalan mengantarkan berkas milik Jovan.Resepsionis itu tersenyum dan langsung memberikan berkas itu kepada Deluna. "Terimakasih, Bu."Deluna tersenyum tipis membalasnya. Kemudian segera bergegas menuju ruangan Jovan. Seperti biasa, ia mengetuk pintu terlebih dulu setelahnya masuk ke dalam. Senyumnya melebar saat melihat Jovan yang tengah membaca beberapa berkas di atas meja.Jovan menaikkan pandangannya saat melihat kedatangan Deluna. Lelaki itu tersenyum simpul menyambut kekasihnya. Ia segera bangkit dan langsung memeluk pinggang Deluna dengan posesif. Bibirnya mendarat di pipi wanita itu kemudian merambat turun ke leher jenjang milik Deluna. Nafasnya mulai memburu namun dengan cepat Deluna menjauhkan diri membuat Jovan langsung memasang wajah penuh kecewa. Wanita itu berjalan mendekati meja Jovan dan meletakkan dokumen yang tadi ia minta Roseline antarkan. "Kau bertemu Roseline?" Ta
Dylan menolehkan kepalanya melihat ke arah seseorang yang memanggil namanya begitu juga dengan Roseline. Sebelah alis lelaki itu terangkat kemudian senyumnya tercetak lebar. Ia lantas berdiri dan langsung memeluk orang itu. Seakan-akan sudah lama tidak bertemu, pertemuan mereka kali ini sungguh tidak di sangka."Bagaimana kabarmu?" Tanya Dylan sembari menatap orang di depannya dengan antusias. Apalagi melihat lelaki itu mengenakan jas dokter. Membuat Dylan yakin kalau orang itu sudah sangat sukses sekarang."Ah, biar ku tebak. Kau pasti dokter di sini?" Tanya Dylan lagi.Orang itu tersenyum kemudian mengangguk. "Benar sekali," ujarnya.Dylan lagi-lagi tertawa. Ia tidak menyangka akan bertemu teman lamanya di sini. Karena terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu. Saat Dylan masih bekerja di kantor Jovan, orang itu sedang kuliah di luar negeri. Dan saat kembali, Dylan lah yang gantian pergi ke luar negeri."Sedang apa kau disini?" Belum sempat Dylan menjawab, pandangan lelaki i
"Roseline?!" Seru Catherine yang terkejut melihat kedatangan anak gadisnya itu.Bahkan kedua bola matanya yang mulai sayu itu berbinar cerah dan sedikit berkaca-kaca. Terlihat jelas pancaran rindu dari netranya. Kedua tangannya merentang lebar bersiap menyambut Roseline ke dalam dekapannya. Roseline yang melihat itupun langsung menghambur ke dalam pelukan Catherine. Memeluk wanita berusia setengah abad itu dengan erat. Keduanya saling melepaskan rindu yang menggunung.Roseline sampai menitikkan airmata karena terlalu rindu pada Catherine dan juga suasana panti. Setelah sesi melepas rindu, Catherine menatap Roseline dengan senyuman tipis."Jahat sekali kau tidak pernah datang kemari lagi," ujar Catherine sembari menjawil pucuk hidung Roseline.Roseline tertawa pelan. Kemudian menggandeng tangan Catherine. Bergelayut manja layaknya anak kecil kepada ibunya. "Maafkan aku, Bi. Aku selalu tidak memiliki waktu. Jadi aku baru bisa mengunjungimu sekarang," jelas Roseline pada Catherine.Rose
"Jovan?" lirih Roseline kala mendapati suaminya berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan terkejut sekaligus takut.Sementara Jovan, lelaki itu menatap tajam ke arah Roseline yang sedang ketakutan. Di tatapnya wanita yang hanya setinggi bahunya itu. Tampak Roseline menundukkan kepalanya. Mungkin merasa bersalah karena sudah melanggar aturannya. "Jovan!" sapa Catherine dengan begitu gembira melihat menantunya ada di sini. Jovan pun dengan cepat mengubah ekspresi datarnya menjadi ramah. Ditambah dengan seulas senyum lebar kepada Catherine.Catherine pun langsung bergegas memeluk Jovan seperti anaknya sendiri. Jovan pun membalas pelukan itu sembari menepuk pelan punggung Catherine. "Sudah lama kita tidak bertemu," ujar Catherine sembari mengajak Jovan untuk masuk. Roseline pun langsung mengekor di belakangnya. Ia masih bingung harus menjelaskan bagaimana kepada Jovan nanti. Apalagi saat melihat bagaimana tatapan lelaki itu padanya tadi. Seperti ingin memakan Roseline begitu saja. Ca
Tubuh Roseline luruh di dinding pintu yang tertutup rapat dengan air mata yang terus berderai. Hatinya seperti di remat, terasa begitu sakit kala Jovan membiarkannya berada di luar rumah di saat hujan mengguyur lebat. Hawa dingin mulai menusuk di kulitnya. Wanita itu menekuk kakinya dan bersandar di dinding, kedua tangan ringkih itu melingkar di kakinya. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Air matanya tak berhenti mengalir.Bagaimana bisa Jovan setega itu padanya? Apa hanya karena Dylan mengetahui statusnya sebagai istri Jovan sehingga lelaki itu marah besar padanya? Padahal itu juga bukan kemauan Roseline. Atau karena dia pergi ke panti tanpa memberitahunya? Kenapa ada manusia sejahat Jovan?Salah karena dia sempat mengira kalau Jovan adalah lelaki yang sangat menghargai wanita, memuliakan wanita, dan mengutamakan wanita. Lihat apa yang telah lelaki itu perbuat padanya. Sungguh tidak manusiawi."Apakah aku akan bertahan dengan rumah tangga yang seperti ini? Bahkan belum g
"Apa kau baik-baik saja?"Roseline menyipitkan matanya saat cahaya matahari masuk ke retina matanya melalui jendela kaca yang ada di ruangan itu. Kepalanya terasa begitu berat dan juga pusing. "Dimana yang sakti?" Roseline menolehkan kepalanya sedikit ke arah samping ranjang. Mendapati Jovan yang sedang menatapnya dingin namun terlihat jelas ada sorot khawatir di netra hitam legam itu. Lelaki itu tampak sudah siap dengan jas kantornya namun masih setia duduk menjaga Roseline.Roseline mengernyitkan keningnya heran, apa mungkin karena kehujanan semalam membuatnya menjadi halu? Mana mungkin Jovan mau menemaninya apalagi merawatnya ketika sakit? Mengingat bagaimana kejamnya lelaki itu semalam meninggalkannya di luar rumah. Sangat tidak mungkin, jika lelaki itu di sini. Pasti ia sedang halu.Roseline memukul kepalanya berulang kali, berharap kalau bayangan Jovan di depannya itu menghilang. Melihat Roseline yang memukul kepalanya, segera Jovan menghentikan tangan wanita itu."Hei, apa ya