Terima kasih banyak telah mengikuti kisah Elara dan Ryota, dan sudah mengapresiasi cerita ini —SayaNi
Di ruang kerjanya, cahaya dari layar laptop memantul di kacamata Ryota saat ia meninjau laporan mitigasi risiko proyek hybrid solar-wind di wilayah timur. Distribusi daya terlambat dua minggu. Biaya logistik vendor lokal menyimpang delapan belas persen. Ia mengetuk permukaan meja dua kali. Tidak marah. Hanya membuat keputusan: Potong 30% alokasi tahap dua. Vendor dievaluasi. Ketukan dua kali terdengar di pintu. Erol melangkah masuk, membawa tablet. Setelah memberi anggukan singkat, ia memberikan laporannya. “Tuan Cavell meninggalkan Paris tadi malam. Sekarang berada di Tuscany, di sebuah resor pribadi. Agenda utamanya tampaknya menghadiri lelang seni.” Ryota tidak menjawab, hanya menandai satu bagian laporan di layar laptopnya dengan highlight merah. “Tuan Reinald tetap di Kanada, tidak pergi ke manapun sejak 6 bulan terakhir. Nona Silvie praktek sebagai spesialis onkologi di Boston. Keduanya tidak terlibat dalam lingkaran Tuan Cavell.” Erol menarik napas pendek sebel
Sementara di tempat lain, di sebuah ruang sidang, Daris duduk di kursi tergugat, wajahnya kaku. Di sampingnya, pria berjas hitam memperbaiki letak map di atas meja. Kuasa hukum yang direkomendasikan kolega lama, katanya.Di seberang ruangan, dua pria dari firma hukum Frontier Capital terlihat tenang. Berkas-berkas mereka tersusun dalam urutan sempurna, tak satu pun terlihat terburu-buru.Majelis hakim masuk, tiga orang. Yang di tengah membuka berkas dan mulai bicara tanpa basa-basi.“Perkara Nomor 287/Pdt.G/2025/PN.KNO. Penggugat: Frontier Capital Ltd. Tergugat: Daris Hamit.”Suara palu kecil menghantam meja.“Penggugat hadir?”“Kuasa hukum hadir, Yang Mulia,” jawab pria dari Frontier, mantap.“Tergugat?”“Kuasa tergugat hadir, Yang Mulia,” ujar pengacara Daris sambil berdiri.Hakim menunduk sebentar. “Pemeriksaan identitas selesai. Kami akan tawarkan mediasi sesuai ketentuan Pasal 130 HIR.”Frontier menjawab cepat, “Kami menolak mediasi, Yang Mulia. Klien kami sudah dua kali mencoba
Beberapa hari kemudian, teror di kampus Elara semakin menjadi. Pagi ini, kursi yang biasa ia tempati basah oleh cairan lengket. Jika awalnya hanya satu kursi, kini tiga kursi di barisan depan juga bernasib sama—kotor, basah, dan menyebarkan aroma manis yang aneh. Mau tak mau, Elara memilih kursi paling pinggir yang masih tersisa. Ia duduk dengan hati-hati, membuang napas perlahan, lalu menyapu pandangannya ke seisi kelas. Tak ada yang menoleh padanya. Bahkan beberapa mahasiswa pura-pura sibuk dengan ponsel, padahal ia yakin sebagian dari mereka tahu—atau justru pelakunya sendiri. Siapa yang membencinya hingga seperti punya dendam pribadi? Ia bisa abai jika hanya sekedar fitnah keji yang menuduhnya pelacur elit, dan hinaan. Tapi, Ini bukan sekadar hinaan. Ini sudah teror. Elara mendongak, menatap sudut langit-langit ruang kelas. Jika ada CCTV. Harusnya ia bisa menemukan siapa yang melakukan ini padanya. Tapi… emangnya bisa dia pasang kamera sendiri? Butuh izin kampus. B
Ryota menyipitkan mata, menatap Anya yang duduk di seberangnya. Dengan satu isyarat tangan, ia memanggil pelayan yang berdiri di sudut ruangan. “Bawa satu mangkuk sup lagi,” ucapnya datar.Pelayan itu menunduk singkat, lalu segera undur diri tanpa bertanya.Elara menoleh, suaranya pelan. “Apa ada yang salah?”Anya diam. Tapi pipinya mengembung, matanya melirik kesal ke arah papanya. Ia tahu—dirinya ketahuan.“Mami, Anya sudah selesai makan. Mau baca buku,” rengeknya cepat, mencoba mengalihkan perhatian.Elara spontan berdiri, menghampiri gadis kecil itu.Namun suara Ryota kembali terdengar, dingin. “Aku memintamu menjadi ibunya, bukan pelayannya, Elara.”Langkah Elara terhenti seketika. Ia bingung—antara memperhatikan Anya, atau menanggapi suaminya yang tampaknya sedang marah. Ryota bangkit dari kursinya dan melangkah mendekat.Anya buru-buru bersembunyi di balik tubuh Elara.“Mami…” gumamnya lirih, memeluk pinggang Elara erat-erat.Elara menunduk, membelai kepala Anya. “Katakan… a
Jarum suntik itu panjang, berisi cairan bening kekuningan. Di tangan dokter Erwin, benda itu tampak biasa. Karena memang biasa. Ia sudah biasa menyuntik Ryota setiap dua bulan sekali, selama lima tahun ini. Erwin menyeka area paha atas pria itu dengan alkohol, lalu menusukkan jarum ke otot. Cairan masuk perlahan. Ekspresi Ryota datar. Matanya hanya menatap lurus ke tabung suntik yang perlahan kosong. “We’ll start with your first hCG* injection,” ujar dokter Erwin. *Human chorionic gonadotropin Sudah hampir lima tahun sejak suntikan kontrasepsi pertamanya. Ia steril, tapi bukan tanpa rencana cadangan. Sebelumnya, ia menyimpan sampel spermanya di dua negara berbeda. Kalaupun testisnya gagal pulih, ia tetap punya jalan jika suatu saat menginginkan keturunan. “Didn’t think I’d ever be injecting this into you,” ucap dokter Erwin, matanya masih sibuk pada suntikan yang baru saja ia tarik keluar. “She must be something else,” lanjutnya. Kepalanya sedikit menoleh ke ar
“Kau bebas pergi ke mana pun sebelum menjemput Anya. Pak supir akan mengantarmu.”Ryota akhirnya buka suara, tepat saat mobil mulai melambat di depan gedung kantor pusat perusahaannya. Elara mengangguk pelan. Cemberut tipis masih tersisa di wajahnya."Baik," gumamnya pelan.Mobil berhenti tepat di depan lobi utama.Tanpa bicara lagi, Ryota menoleh, mengangkat dagu Elara dengan ujung jarinya. Memaksanya menatap. Ciuman singkat mendarat di bibir istrinya itu, tanpa romantisasi.Hanya untuk memberi cap, bahwa wanita itu miliknya.Tapi sebelum ia menarik diri, Elara menahan pergelangan tangannya"Bolehkah saya menemui putra saya?" tanyanya pelan.Rahang Ryota mengencang. Sorot matanya tidak menyukai permintaan itu. Sekali lagi—istri kecilnya ini berani bicara soal anak pria lain.Namun, yang muncul di wajahnya justru senyum.“Terserah kau saja,” jawabnya datar. "Terima kasih," ucap Elara cepat, ada kilatan senang di matanya.Ryota hanya menatapnya sejenak sebelum menekan tombol. Pintu