LOGINPagi harinya, Ryota Kenneth duduk di belakang meja besar berbahan kayu mahal, ruang kerjanya luas dan minimalis, didominasi warna monokrom.
Tangannya yang kokoh membolak-balik beberapa dokumen, matanya tajam membaca angka-angka di layar laptopnya. Bagi Ryota Kenneth yang memiliki Ryota Energy Corp., sebuah perusahaan energi terbarukan dan distribusi listrik, efisiensi adalah segalanya. Ketukan di pintu besar yang menghubungkan ruangannya dengan ruang sekretaris sedikit mengusik konsentrasinya. Erol, asistennya, masuk dengan langkah mantap. Di tangannya, sebuah tablet menyala, menampilkan informasi yang telah ia kumpulkan. "Ini informasi yang Anda minta," kata Erol sambil menekan layar, memperbesar foto yang muncul. "Elara Maheswari, istri dari Daris Hamit. Mereka memiliki seorang anak dari pernikahan Daris sebelumnya,” terangnya kemudian. Sebelah alis Ryota terangkat ketika meneliti wajah Daris di layar. Ada sesuatu yang mengusik ingatannya. "Dia adalah Daris Hamit dari Asterra Land Development, pria yang mendekati Anda di Golden Heart Gala seminggu lalu," terang Erol, seakan membaca ekspresi tuannya. Golden Heart Gala bertajuk amal, tetapi bagi pebisnis, pesta itu adalah tempat membangun koneksi. Bagi Daris Hamit, kedatangannya bukan hanya untuk berdonasi, melainkan mencari peluang mendekati orang-orang berpengaruh seperti Ryota. Ryota terdiam sesaat, lalu tawa kecil meluncur dari bibirnya. Nada yang tidak bisa diartikan sebagai senang atau mengejek. "Menarik," gumamnya, jemarinya perlahan mengetuk permukaan tablet. Ia mengingat dengan jelas Daris yang berbicara dengannya. Seorang direktur dari perusahaan properti yang mencoba menjalin kerja sama dengannya untuk proyek pembangunan kawasan hunian modern yang menggunakan energi hijau. Pria itu datang bersama dengan seorang wanita muda dan cantik, penuh percaya diri, mengenakan gaun mewah yang menunjukkan status sosialnya. Dan wanita itu bukanlah Elara Maheswari yang dilihatnya saat menjemput Anya. Erol, yang menyadari perubahan ekspresi di wajah tuannya, menambahkan, "Wanita itu hanyalah ibu rumah tangga biasa, bukan ancaman bagi putri Anda." Dengan gerakan santai, Ryota melemparkan tablet itu ke atas meja. "Cari tahu siapa wanita yang datang bersama suaminya di Golden Heart," perintahnya. Erol yang masih berdiri di hadapannya mengernyit. Ini bukan pertama kalinya bosnya meminta penyelidikan, tapi biasanya hanya berkaitan dengan kompetitor bisnis atau calon mitra. ‘Mengapa sekarang dia ingin tahu tentang selingkuhan Daris Hamit?’ pikir Erol. Seperti tidak punya pekerjaan saja. "Tuan, jika boleh tahu… mengapa Anda tertarik dengan masalah rumah tangga pria itu?" tanya Erol hati-hati. “Bukankah Anda tidak berminat dengan perusahaan kecil?” Ryota tidak langsung menjawab. Dia hanya menyeringai tipis. Mata elangnya menatap tablet yang kini kembali berada dalam genggaman Erol, seolah sedang menyusun sesuatu dalam pikirannya. “Aku sudah temukan hadiah ulang tahun Anya," katanya sembari tersenyum tipis. Erol masih menatapnya dengan kebingungan. Tapi satu hal yang Erol tahu, jika tuannya sudah tertarik pada sesuatu, maka hal itu tidak akan mudah lepas dari genggamannya. *** Malam harinya, seperti biasa. Setelah memastikan Arka tidur lelap, Elara menyetrika pakaian. Ia berdiri di depan lemari, jemarinya menyusuri kain lembut baju terusan berwarna pastel yang diberikan Daris untuknya kemarin. Bajunya begitu indah. Baju terbaik yang pernah ia miliki. Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya. Ia akan menyimpan gaun itu untuk acara penting. Mungkin saat ada pertemuan sekolah Arka. Namun, di tempat lain, Daris bahkan tidak peduli dengan baju itu. Ia sedang menatap angka yang terus berubah di layar lift. Tangannya menggenggam erat dua kantong besar berwarna hitam dengan aksen emas. Siapapun yang melihatnya tahu, itu adalah merk yang melambangkan kekayaan. Lift berhenti di lantai 23. Daris melangkah cepat di koridor, lalu berhenti di depan pintu salah satu unit apartemen. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, seorang wanita muncul dengan senyum menggoda, Vanessa. Rambut panjangnya tergerai, kulitnya mulus dan bercahaya di bawah temaram lampu. Gaun tidurnya yang berbahan satin tipis melekat sempurna di tubuhnya. Wanita itu menyandarkan satu tangan di kusen pintu, mengangkat sebelah alis. “Sayang,” sapanya lembut. “Kau terlambat.” Daris tersenyum samar, menutup pintu di belakangnya dan langsung menarik Vanessa ke dalam dekapannya. “Jalanan sangat padat, Sayang,” jawabnya singkat. Vanessa tertawa kecil. Ia menyentuh kerah kemeja Daris, menariknya sedikit lebih dekat. “Aku menunggu terlalu lama, tahu?” Daris menatapnya dalam, lalu dengan satu gerakan cepat, ia meraih pinggang wanita itu dan mendudukkannya di atas meja dapur. Vanessa menghela napas pendek, matanya berbinar nakal. “Tebus kesalahanmu,” bisiknya. Daris tersenyum miring, lalu menempelkan bibirnya di sepanjang garis rahang Vanessa, turun ke leher, sementara jemarinya menyusuri pahanya yang terbuka lebar. Vanessa menahan tawa, jemarinya mencengkram rambut Daris. “Hey, hey,” katanya pelan, mendorong pria itu sedikit menjauh. “Aku harus membuka hadiahku dulu.” Daris mengangkat alis. “Apa?” Vanessa melompat turun dari meja, berjalan ke tempat Daris meletakkan kantong yang dibawanya. Dengan santai, ia membawanya ke sofa dan mulai mengeluarkan isinya satu per satu, gaun mewah, dan sebuah tas dengan corak yang senada. “Kau menyukainya?” tanya Daris setelah duduk di sofa, mengamati Vanessa. Vanessa mendecak pelan, lalu berjalan ke arah Daris, duduk di pangkuannya dengan santai. “Aku tidak bisa berubah menjadi wanita sederhana seperti Selena… atau Elara, istrimu sekarang,” katanya sambil menelusuri garis rahang pria itu dengan jemarinya. “Jadi, jangan memberikanku pakaian seperti kemarin lagi. Bukankah kau mencintai aku, karena aku adalah aku?” Daris menatapnya dalam diam sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Ya, aku mencintaimu,” katanya lalu menghela napas, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Aku sangat menderita setiap detik melihat wanita itu.” Vanessa memutar bola matanya. “Tentu saja.” Ia bersandar ke dada Daris, ujung jarinya menelusuri garis leher pria itu, nada suaranya lebih rendah, lebih menggoda. “Lalu mengapa kau tidak setuju dengan usulku?” Jemarinya menyusuri dada Daris. “Ceraikan dia. Kau bisa mempekerjakannya menjadi pengasuh putramu.” Daris terkekeh kecil. “Tidak semudah itu, Vanessa. Ibuku tidak akan setuju.” "Kau tahu, aku yang lebih banyak menderita." Vanessa bersedekap, menatap Daris dengan sorot mata yang menyala. "Saat kau menikah dengan Selena, aku harus menelan sakit itu sendirian. Aku butuh waktu lama untuk mengobati hatiku yang hancur. Dan lalu, kau menikah lagi dengan wanita lain." Daris menghela napas, meraih tangan Vanessa, mengusap punggung tangannya dengan lembut. "Maafkan aku." Tatapannya mencoba mencari celah di wajah Vanessa, mencari pengampunan. "Aku selalu mencintaimu. Aku tidak pernah menyentuhnya." Vanessa tersenyum tipis, senyum penuh kemenangan. "Benar." Suaranya lirih, tapi penuh ketegasan. "Kau hanya boleh menyentuhku."Langit Kelowna bersuhu dua belas derajat Celsius sore itu, berwarna keemasan pucat. Suara bel penutup kelas bergema dari speaker sekolah. Di halaman sekolah, ratusan siswa middle school berseragam biru tua bergerak cepat ke arah area bus. Sekolah elit itu tidak membiarkan murid keluar ke jalan tanpa pengawasan. Bus kuning berjajar rapi, beberapa bertanda 'Route 4 – East Kelowna' dan 'Route 7 – Peachland.' Anya berjalan cepat menuju busnya, seragam biru tua dengan emblem sekolah di dada kiri, rok abu lipit di bawah lutut, dan syal abu muda melingkar longgar di lehernya. Rambutnya dikepang dua. Beberapa mobil orang tua sudah menunggu di jalur drop-off. Dari salah satu mobil itu, Cavell keluar. Ia berdiri, memperhatikan kerumunan sampai matanya menemukan Anya. "Anya Maren Kenneth?” Anya menoleh. Ia jarang mendengar seseorang memanggil nama tengahnya. “Yes?” Cavell tersenyum kecil, “Aku pamanmu. Papamu kasih alamat. Tapi kau tahu, mencari alamat sekolah lebih mudah daripada
Hari keempat belas, adalah hari terakhir Ryota menjalani perawatan di kamar rawat suite yang lebih mirip apartemen kecil daripada ruang rumah sakit, dan laporan patologi anatomi disampaikan oleh dokter Ardi, dokter yang menanganinya sejak pascaoperasi. Kabar baik disampaikan lebih dulu, tentu saja. Tumor berhasil diangkat utuh, dan masih pada stadium awal. Namun, di mana ada kabar baik, di situ kabar buruk menyusul. Seperti siang dan malam, hanya berganti menjaga keseimbangan. Dari hasil patologi, sel kanker menunjukkan sifat lebih agresif, derajat keganasannya tinggi. Itu artinya, meski tumornya sudah diangkat, masih ada risiko sel-sel halus yang tidak kasat mata lolos dan bisa tumbuh kembali. Untuk itu, dokter Ardi tetap menyarankan menjalani kemoterapi pencegahan. Dan kabar buruk lain, letak tumor membuat sebagian saraf di panggul ikut terpotong, saraf yang berperan penting dalam mengendalikan fungsi seksual. Dokter Ardi menyebut masih ada peluang untuk pulih, mungkin dalam hi
Elara menyapu swab stick basah di bibir kering Ryota. “Kata dokter kamu belum boleh makan atau minum,” ujarnya lembut, lalu kembali menikmati potongan buah di tangannya. Ryota menatapnya, tersenyum samar. “Enak?”Elara mengangguk. “Iya, Mame suka apa saja.”“Kalau hanya sayur dan buah terus, nanti bisa kekurangan nutrisi,” sahut Ryota, separuh mengomel. "Kau butuh protein, zat besi, kalsium, karbohidrat. Semua harus seimbang, bukan buah saja.”Ia jadi teringat masa kehamilan Alessia. Saat itu semua pelayan, termasuk Rowena, dibuat kalang kabut demi menuruti kemauan istri tuan mereka yang enggan menyentuh makanan.“Sstt… sstt.” Elara menggerakkan telunjuknya. “Kamu jangan banyak bicara. Harus hemat energi. Bulan puasa kemarin kamu hampir pingsan nunggu buka. Apalagi ini kamu bakalan nggak makan minum sampe 2 hari lho.”Ryota mengangkat tangannya yang masih ditusuk jarum infus. “Cairan ini bisa buat bertahan tanpa makan tiga hari.”“Eh! Jadi kemarin kamu curang?” Elara menatap tajam,
"Alessia menukar nyawanya dengan putrinya." Ryota menatap kedua mata Elara yang masih membulat menatapnya. "Dia berharap aku akan memperlakukan putrinya dengan baik," "Mengapa dia tidak memberikan Anya pada Cavell, tapi pada pria jahat sepertimu?" tanya Elara. Mencoba mengajak Ryota berpikir dari sudut pandang Alessia. Jahat? Kening Ryota mengernyit, mendengar Elara sudah menyebutnya pria yang jahat. Padahal ia belum bercerita. "Karena hingga akhir hayatnya, dia tidak tahu jika bayi yang dilahirkannya adalah hasil hubungannya dengan Cavell, " jawab Ryota. “Kamu adalah papa yang baik buat Anya,” puji Elara, meski ia tidak tahu apa yang pernah dilakukan Ryota pada Alessia hingga membuat mantan istrinya itu putus asa, jatuh dalam depresi, dan akhirnya menyudahi hidupnya. "Aku papa yang baik?" Ryota mempertanyakan penilaian Elara yang menurutnya keliru. "Aku tidak membiarkannya bersama ayah biologisnya." "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Anya bukan milik tuan Cavell. Dia
Begitu tiba di rumah, keduanya melewati pelayan yang menyapa tanpa menjawab. Langkah mereka cepat, seakan ingin segera menutup diri dari dunia luar. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada kata terucap. Hanya pikiran yang berisik di kepala masing-masing. Bentakan Ryota masih terngiang di telinga Elara. Mungkin ia memang terlalu menekannya. Tapi bagaimana bisa ia tenang, kalau hasil pemeriksaan jaringan sudah jelas menunjukkan sel kanker. Elara melangkah menuju walk-in closet untuk mengganti bajunya, dengan wajahnya yang tetap murung. Ryota yang sejak tadi mengamati Elara akhirnya mengulurkan tangan, meraih lengan istrinya itu. “Maaf…” ucapnya lirih. Elara menoleh, terkejut. “Saya yang harusnya minta maaf, karena terlalu menekan kamu. Saya tidak seharusnya begitu. Kamu juga butuh waktu untuk mencerna apa yang dikatakan dokter." Ryota menatap Elara sejenak, sebelum menarik istrinya itu ke dalam pelukannya. Diam. Hanya debar jantung mereka yang saling bertukar.
Di ruang konsultasi yang tenang, di depan pintu tertera sebuah plakat kecil bertuliskan dr. Wiratama, Sp.PD-KGEH* * Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterologi Hepatologi. Seorang dokter pria paruh baya duduk di balik meja kayu berlapis kaca. Tatapannya bergeser sebentar ke Ryota, lalu ke Elara yang mendampingi suaminya. “Maaf, Pak Ryota,” ucapnya hati-hati, “apakah saya bisa menyampaikan hasil pemeriksaan ini di hadapan istri Anda?” Ryota menyandarkan tubuh ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “memangnya hasilnya sepenting apa sampai harus rahasia? Dia boleh dengar apa pun.” Dokter Wiratama mengangguk, kemudian membuka map hasil medical check-up. “Secara umum, banyak hasil Anda baik. Fungsi hati normal, ginjal dalam batas wajar, kadar gula darah stabil, profil kolesterol juga cukup bagus. Secara metabolik, tubuh Anda sehat.” Ia menoleh sejenak pada Ryota, lalu melanjutkan. “Namun, ada dua hasil yang tidak wajar. Hemoglobin Anda turun. Enam bulan lalu nilai







