Share

6.KDRT

Penulis: SayaNi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-25 20:15:44

Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal.

Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam.

Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.”

Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara.

“Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut.

Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan.

Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya.

“Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri. “Kenapa Ayah nggak bawa sendiri aja?”

Sejenak, suasana rumah menjadi begitu sunyi. Daris menatap Arka dengan tajam, lalu mendekatinya.

“Arka, masuk kamar!” perintah Daris, nadanya mengandung ancaman.

Arka menggeleng cepat. “Tapi Ibu masih bacain buku buat Arka!”

Elara buru-buru menyentuh lengan putranya, mencoba menenangkannya. “Arka, dengarkan Ayah. Ayo, Sayang masuk ke kamar, kita lanjut baca besok, ya?”

Arka menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi... Arka masih mau membaca buku,”

Daris menghela napas panjang, lalu tanpa peringatan, ia meraih lengan kecil Arka dan menariknya masuk ke kamarnya.

“Nggak mau!” Arka mulai meronta.

Elara menahan napas, tidak berani bergerak saat suaminya membawa Arka. Ia bisa mendengar suara tangisan tertahan putranya, lalu suara pintu kamar yang ditutup dengan kasar.

Ketika Daris kembali, wajahnya gelap seperti langit sebelum hujan badai. Ia menatap Elara dengan penuh kemarahan.

“Jadi ini?” suaranya berat dan dingin, menahan amarah yang menggelegak. “Kau ajari anakku untuk melawan aku?”

“Tidak, Mas. Aku tidak pernah—”

“Jangan bohong!” Daris melangkah cepat, menarik rambut Elara dengan kasar hingga tubuhnya terjungkal ke lantai. Ia menjerit pelan. Kepalanya ditarik ke belakang, paksa, membuat lehernya terentak. “Sejak kapan Arka berani melawanku?! Kau yang racuni pikirannya, ya?!”

“Mas... jangan, tolong...” Elara mengerang, kedua tangannya mencoba melepaskan cengkeraman Daris. Tapi sia-sia. Ia terlalu kuat.

Dengan satu tarikan, Daris menyeretnya ke tengah ruangan, lalu melepaskan rambutnya dan mendorong tubuh Elara ke lantai. Punggungnya membentur keras. Napasnya tersengal. Ia tak sempat bangkit ketika Daris menendang perutnya.

“Mas... sakit...” bisik Elara nyaris tak terdengar.

“Capek aku kerja seharian, pulang-pulang lihat istri tak tahu diri dan anak yang kurang ajar!”

Gaduh itu membangunkan Rahayu, dan ia bergegas keluar dari kamarnya. Bukannya terkejut melihat Elara terkapar di lantai, ia justru menatapnya dengan jijik.

“Ada apa ribut-ribut tengah malam begini?” tanya Rahayu dengan nada marah. “Kau lagi-lagi bikin masalah, Elara?”

Elara meringkuk, memegangi perut dan pundaknya yang nyeri. “Maaf, Ma... saya tidak bermaksud...”

“Kau mengajari Arka melawan ayahnya?” potong Rahayu dengan suara menyindir. “Tidak cukup kau menjadi tanggungan keluarga ini, sekarang kau mau membuat cucuku jadi anak durhaka?”

Daris mendecak kesal. “Makanya, Ma. Aku sudah bilang sejak dulu, perempuan ini nggak becus jadi istri. Sekarang malah merusak anakku!”

Rahayu melipat tangan di dada, menatap Elara dengan penuh penghinaan. “Sudah berapa tahun kau di rumah ini, hah? Bukannya belajar menjadi lebih baik, kau malah makin kurang ajar!”

Elara perlahan duduk, tubuhnya gemetar, luka di lengannya mulai membiru. Tapi ia tahu, tak ada yang peduli. Di rumah ini, luka hanyalah miliknya.

“Maaf, Ma...” suaranya parau. “Elara... ambilkan tas Mas Daris.” Ia bangkit dengan susah payah, menahan sakit di setiap gerakan.

Ia bergegas pergi sebelum suami dan mertuanya bisa melampiaskan amarah mereka lebih lama lagi. Langkahnya cepat, seolah ingin melarikan diri dari ruangan yang semakin menyesakkan itu.

Daris mendengus, lalu menoleh ke ibunya dengan ekspresi jijik. “Mama lihat kan? Menantu pilihan Mama itu bukan hanya bodoh, tapi juga kelewat kurang ajar.”

Rahayu menghela napas panjang, lalu menggeleng. “Memang dia bodoh dan lemah, tapi dia istri yang patuh. Kalau dia berani melawan, sudah Mama usir dari dulu. Sudahlah, Mama mau lanjut tidur.”

Rahayu berjalan pergi, meninggalkan Daris yang masih kesal. Sementara itu, di luar, Elara menghirup udara malam yang dingin dengan dada terasa semakin berat. Ia menggigit bibirnya untuk menahan air mata, sebelum akhirnya membuka bagasi mobil, mengambil tas Daris.

***

Sementara itu, di sebuah rumah yang sangat kontras dengan kediaman keluarga Daris, rumah Ryota Kenneth tampak terang benderang meskipun malam sudah larut. Rumah megah itu berdiri anggun dengan interior modern yang rapi dan mahal. Namun, di salah satu sudutnya, begitu kacau.

Kamar Anya, yang luasnya lebih dari dua kali ruang tengah rumah Daris, kini porak-poranda. Mainan berserakan di lantai, boneka-boneka bertumpuk di sudut ruangan, dan buku cerita yang sebelumnya tersusun rapi kini beterbangan akibat ulah si pemilik kamar.

Dua orang pengasuhnya tampak kewalahan.

“Nona Anya, sudah waktunya tidur,” bujuk salah satu pengasuh dengan nada lembut, mencoba mendekati Anya yang berdiri di atas ranjang dengan tangan terentang seolah ingin terbang.

“Kenapa harus tidur?” Anya bertanya dengan nada membangkang. Ia menyilangkan tangan kecilnya di dada, menatap pengasuhnya dengan ekspresi penuh perlawanan.

“Karena besok pagi Nona Anya harus sekolah.”

“Kalau mau sekolah memangnya harus tidur?” tanya Anya dengan nada lebih keras.

Pengasuh lainnya mencoba membujuk, tapi Anya justru bangun dan melompat lompat di atas tempat tidurnya seperti sedang bermain trampolin.

Amanda, yang sejak tadi duduk di sofa sambil bermain ponselnya, menghela napas panjang. Keponakan kecilnya itu jelas tidak mudah diatur. 'Sia-sia membujuk Anya,' pikirnya.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sebelum siapa pun sempat bereaksi, sebuah buku cerita melayang ke arah pintu.

Dengan refleks cepat, Ryota yang baru saja berdiri di ambang pintu langsung menangkap buku itu sebelum mengenai tubuhnya.

Seisi ruangan seketika membeku. Pengasuh-pengasuh yang sejak tadi kewalahan langsung menundukkan kepala, sementara Anya tetap berdiri dengan dagu terangkat, ekspresinya penuh pembangkangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
SayaNi
iyaaaaa terlalu
goodnovel comment avatar
mayank shinee
duh pergi aja kenapa? di jadiin Babu,ngurus ank tiri di aniaya pula,kurang apalagi kejamnya di keluarga?!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   Bonus Chapter

    Langit Kelowna bersuhu dua belas derajat Celsius sore itu, berwarna keemasan pucat. Suara bel penutup kelas bergema dari speaker sekolah. Di halaman sekolah, ratusan siswa middle school berseragam biru tua bergerak cepat ke arah area bus. Sekolah elit itu tidak membiarkan murid keluar ke jalan tanpa pengawasan. Bus kuning berjajar rapi, beberapa bertanda 'Route 4 – East Kelowna' dan 'Route 7 – Peachland.' Anya berjalan cepat menuju busnya, seragam biru tua dengan emblem sekolah di dada kiri, rok abu lipit di bawah lutut, dan syal abu muda melingkar longgar di lehernya. Rambutnya dikepang dua. Beberapa mobil orang tua sudah menunggu di jalur drop-off. Dari salah satu mobil itu, Cavell keluar. Ia berdiri, memperhatikan kerumunan sampai matanya menemukan Anya. "Anya Maren Kenneth?” Anya menoleh. Ia jarang mendengar seseorang memanggil nama tengahnya. “Yes?” Cavell tersenyum kecil, “Aku pamanmu. Papamu kasih alamat. Tapi kau tahu, mencari alamat sekolah lebih mudah daripada

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   151. Teman Baru

    Hari keempat belas, adalah hari terakhir Ryota menjalani perawatan di kamar rawat suite yang lebih mirip apartemen kecil daripada ruang rumah sakit, dan laporan patologi anatomi disampaikan oleh dokter Ardi, dokter yang menanganinya sejak pascaoperasi. Kabar baik disampaikan lebih dulu, tentu saja. Tumor berhasil diangkat utuh, dan masih pada stadium awal. Namun, di mana ada kabar baik, di situ kabar buruk menyusul. Seperti siang dan malam, hanya berganti menjaga keseimbangan. Dari hasil patologi, sel kanker menunjukkan sifat lebih agresif, derajat keganasannya tinggi. Itu artinya, meski tumornya sudah diangkat, masih ada risiko sel-sel halus yang tidak kasat mata lolos dan bisa tumbuh kembali. Untuk itu, dokter Ardi tetap menyarankan menjalani kemoterapi pencegahan. Dan kabar buruk lain, letak tumor membuat sebagian saraf di panggul ikut terpotong, saraf yang berperan penting dalam mengendalikan fungsi seksual. Dokter Ardi menyebut masih ada peluang untuk pulih, mungkin dalam hi

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   150. berita bikin stress

    Elara menyapu swab stick basah di bibir kering Ryota. “Kata dokter kamu belum boleh makan atau minum,” ujarnya lembut, lalu kembali menikmati potongan buah di tangannya. Ryota menatapnya, tersenyum samar. “Enak?”Elara mengangguk. “Iya, Mame suka apa saja.”“Kalau hanya sayur dan buah terus, nanti bisa kekurangan nutrisi,” sahut Ryota, separuh mengomel. "Kau butuh protein, zat besi, kalsium, karbohidrat. Semua harus seimbang, bukan buah saja.”Ia jadi teringat masa kehamilan Alessia. Saat itu semua pelayan, termasuk Rowena, dibuat kalang kabut demi menuruti kemauan istri tuan mereka yang enggan menyentuh makanan.“Sstt… sstt.” Elara menggerakkan telunjuknya. “Kamu jangan banyak bicara. Harus hemat energi. Bulan puasa kemarin kamu hampir pingsan nunggu buka. Apalagi ini kamu bakalan nggak makan minum sampe 2 hari lho.”Ryota mengangkat tangannya yang masih ditusuk jarum infus. “Cairan ini bisa buat bertahan tanpa makan tiga hari.”“Eh! Jadi kemarin kamu curang?” Elara menatap tajam,

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   149. Operasi Selesai

    "Alessia menukar nyawanya dengan putrinya." Ryota menatap kedua mata Elara yang masih membulat menatapnya. "Dia berharap aku akan memperlakukan putrinya dengan baik," "Mengapa dia tidak memberikan Anya pada Cavell, tapi pada pria jahat sepertimu?" tanya Elara. Mencoba mengajak Ryota berpikir dari sudut pandang Alessia. Jahat? Kening Ryota mengernyit, mendengar Elara sudah menyebutnya pria yang jahat. Padahal ia belum bercerita. "Karena hingga akhir hayatnya, dia tidak tahu jika bayi yang dilahirkannya adalah hasil hubungannya dengan Cavell, " jawab Ryota. “Kamu adalah papa yang baik buat Anya,” puji Elara, meski ia tidak tahu apa yang pernah dilakukan Ryota pada Alessia hingga membuat mantan istrinya itu putus asa, jatuh dalam depresi, dan akhirnya menyudahi hidupnya. "Aku papa yang baik?" Ryota mempertanyakan penilaian Elara yang menurutnya keliru. "Aku tidak membiarkannya bersama ayah biologisnya." "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Anya bukan milik tuan Cavell. Dia

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   148

    Begitu tiba di rumah, keduanya melewati pelayan yang menyapa tanpa menjawab. Langkah mereka cepat, seakan ingin segera menutup diri dari dunia luar. Sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, tak ada kata terucap. Hanya pikiran yang berisik di kepala masing-masing. Bentakan Ryota masih terngiang di telinga Elara. Mungkin ia memang terlalu menekannya. Tapi bagaimana bisa ia tenang, kalau hasil pemeriksaan jaringan sudah jelas menunjukkan sel kanker. Elara melangkah menuju walk-in closet untuk mengganti bajunya, dengan wajahnya yang tetap murung. Ryota yang sejak tadi mengamati Elara akhirnya mengulurkan tangan, meraih lengan istrinya itu. “Maaf…” ucapnya lirih. Elara menoleh, terkejut. “Saya yang harusnya minta maaf, karena terlalu menekan kamu. Saya tidak seharusnya begitu. Kamu juga butuh waktu untuk mencerna apa yang dikatakan dokter." Ryota menatap Elara sejenak, sebelum menarik istrinya itu ke dalam pelukannya. Diam. Hanya debar jantung mereka yang saling bertukar.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   147. Rumah Sakit

    Di ruang konsultasi yang tenang, di depan pintu tertera sebuah plakat kecil bertuliskan dr. Wiratama, Sp.PD-KGEH* * Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterologi Hepatologi. Seorang dokter pria paruh baya duduk di balik meja kayu berlapis kaca. Tatapannya bergeser sebentar ke Ryota, lalu ke Elara yang mendampingi suaminya. “Maaf, Pak Ryota,” ucapnya hati-hati, “apakah saya bisa menyampaikan hasil pemeriksaan ini di hadapan istri Anda?” Ryota menyandarkan tubuh ke kursi, senyum tipis muncul di bibirnya. “memangnya hasilnya sepenting apa sampai harus rahasia? Dia boleh dengar apa pun.” Dokter Wiratama mengangguk, kemudian membuka map hasil medical check-up. “Secara umum, banyak hasil Anda baik. Fungsi hati normal, ginjal dalam batas wajar, kadar gula darah stabil, profil kolesterol juga cukup bagus. Secara metabolik, tubuh Anda sehat.” Ia menoleh sejenak pada Ryota, lalu melanjutkan. “Namun, ada dua hasil yang tidak wajar. Hemoglobin Anda turun. Enam bulan lalu nilai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status