Daris pulang ke rumahnya, setelah menghabiskan dua malam bersama Vanessa. Ia langsung melepas jasnya dan melemparkannya ke sofa dengan asal.
Elara, yang masih duduk di lantai menemani Arka membaca ensiklopedia anak, mendongak sesaat. Bau parfum asing samar tercium saat Daris melewati mereka. Tapi Elara tidak bertanya. Seperti biasa, ia memilih diam. Daris membuka kancing atas kemejanya, lalu menoleh ke arah Elara dengan ekspresi datar. “Ambil tas pakaian kotorku di mobil.” Elara meletakkan buku di pangkuannya, bersiap bangkit. Tapi sebelum ia sempat bergerak, Arka sudah lebih dulu berbicara. “Kenapa Ibu yang ambil?” protes bocah kecil itu dengan wajah cemberut. Elara terkejut. Biasanya Arka tidak pernah berkata seperti itu. Anak itu hanya berusia empat tahun, tapi kini matanya menatap ayahnya dengan ketidaksetujuan. Daris menghentikan langkahnya, lalu menoleh tajam ke arah putranya. “Apa?” desisnya. “Ibu capek...” lanjutnya lirih, tangannya menggenggam ujung bajunya sendiri. “Kenapa Ayah nggak bawa sendiri aja?” Sejenak, suasana rumah menjadi begitu sunyi. Daris menatap Arka dengan tajam, lalu mendekatinya. “Arka, masuk kamar!” perintah Daris, nadanya mengandung ancaman. Arka menggeleng cepat. “Tapi Ibu masih bacain buku buat Arka!” Elara buru-buru menyentuh lengan putranya, mencoba menenangkannya. “Arka, dengarkan Ayah. Ayo, Sayang masuk ke kamar, kita lanjut baca besok, ya?” Arka menggigit bibirnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi... Arka masih mau membaca buku,” Daris menghela napas panjang, lalu tanpa peringatan, ia meraih lengan kecil Arka dan menariknya masuk ke kamarnya. “Nggak mau!” Arka mulai meronta. Elara menahan napas, tidak berani bergerak saat suaminya membawa Arka. Ia bisa mendengar suara tangisan tertahan putranya, lalu suara pintu kamar yang ditutup dengan kasar. Ketika Daris kembali, wajahnya gelap seperti langit sebelum hujan badai. Ia menatap Elara dengan penuh kemarahan. “Jadi ini?” suaranya berat dan dingin, menahan amarah yang menggelegak. “Kau ajari anakku untuk melawan aku?” “Tidak, Mas. Aku tidak pernah—” “Jangan bohong!” Daris melangkah cepat, menarik rambut Elara dengan kasar hingga tubuhnya terjungkal ke lantai. Ia menjerit pelan. Kepalanya ditarik ke belakang, paksa, membuat lehernya terentak. “Sejak kapan Arka berani melawanku?! Kau yang racuni pikirannya, ya?!” “Mas... jangan, tolong...” Elara mengerang, kedua tangannya mencoba melepaskan cengkeraman Daris. Tapi sia-sia. Ia terlalu kuat. Dengan satu tarikan, Daris menyeretnya ke tengah ruangan, lalu melepaskan rambutnya dan mendorong tubuh Elara ke lantai. Punggungnya membentur keras. Napasnya tersengal. Ia tak sempat bangkit ketika Daris menendang perutnya. “Mas... sakit...” bisik Elara nyaris tak terdengar. “Capek aku kerja seharian, pulang-pulang lihat istri tak tahu diri dan anak yang kurang ajar!” Gaduh itu membangunkan Rahayu, dan ia bergegas keluar dari kamarnya. Bukannya terkejut melihat Elara terkapar di lantai, ia justru menatapnya dengan jijik. “Ada apa ribut-ribut tengah malam begini?” tanya Rahayu dengan nada marah. “Kau lagi-lagi bikin masalah, Elara?” Elara meringkuk, memegangi perut dan pundaknya yang nyeri. “Maaf, Ma... saya tidak bermaksud...” “Kau mengajari Arka melawan ayahnya?” potong Rahayu dengan suara menyindir. “Tidak cukup kau menjadi tanggungan keluarga ini, sekarang kau mau membuat cucuku jadi anak durhaka?” Daris mendecak kesal. “Makanya, Ma. Aku sudah bilang sejak dulu, perempuan ini nggak becus jadi istri. Sekarang malah merusak anakku!” Rahayu melipat tangan di dada, menatap Elara dengan penuh penghinaan. “Sudah berapa tahun kau di rumah ini, hah? Bukannya belajar menjadi lebih baik, kau malah makin kurang ajar!” Elara perlahan duduk, tubuhnya gemetar, luka di lengannya mulai membiru. Tapi ia tahu, tak ada yang peduli. Di rumah ini, luka hanyalah miliknya. “Maaf, Ma...” suaranya parau. “Elara... ambilkan tas Mas Daris.” Ia bangkit dengan susah payah, menahan sakit di setiap gerakan. Ia bergegas pergi sebelum suami dan mertuanya bisa melampiaskan amarah mereka lebih lama lagi. Langkahnya cepat, seolah ingin melarikan diri dari ruangan yang semakin menyesakkan itu. Daris mendengus, lalu menoleh ke ibunya dengan ekspresi jijik. “Mama lihat kan? Menantu pilihan Mama itu bukan hanya bodoh, tapi juga kelewat kurang ajar.” Rahayu menghela napas panjang, lalu menggeleng. “Memang dia bodoh dan lemah, tapi dia istri yang patuh. Kalau dia berani melawan, sudah Mama usir dari dulu. Sudahlah, Mama mau lanjut tidur.” Rahayu berjalan pergi, meninggalkan Daris yang masih kesal. Sementara itu, di luar, Elara menghirup udara malam yang dingin dengan dada terasa semakin berat. Ia menggigit bibirnya untuk menahan air mata, sebelum akhirnya membuka bagasi mobil, mengambil tas Daris. *** Sementara itu, di sebuah rumah yang sangat kontras dengan kediaman keluarga Daris, rumah Ryota Kenneth tampak terang benderang meskipun malam sudah larut. Rumah megah itu berdiri anggun dengan interior modern yang rapi dan mahal. Namun, di salah satu sudutnya, begitu kacau. Kamar Anya, yang luasnya lebih dari dua kali ruang tengah rumah Daris, kini porak-poranda. Mainan berserakan di lantai, boneka-boneka bertumpuk di sudut ruangan, dan buku cerita yang sebelumnya tersusun rapi kini beterbangan akibat ulah si pemilik kamar. Dua orang pengasuhnya tampak kewalahan. “Nona Anya, sudah waktunya tidur,” bujuk salah satu pengasuh dengan nada lembut, mencoba mendekati Anya yang berdiri di atas ranjang dengan tangan terentang seolah ingin terbang. “Kenapa harus tidur?” Anya bertanya dengan nada membangkang. Ia menyilangkan tangan kecilnya di dada, menatap pengasuhnya dengan ekspresi penuh perlawanan. “Karena besok pagi Nona Anya harus sekolah.” “Kalau mau sekolah memangnya harus tidur?” tanya Anya dengan nada lebih keras. Pengasuh lainnya mencoba membujuk, tapi Anya justru bangun dan melompat lompat di atas tempat tidurnya seperti sedang bermain trampolin. Amanda, yang sejak tadi duduk di sofa sambil bermain ponselnya, menghela napas panjang. Keponakan kecilnya itu jelas tidak mudah diatur. 'Sia-sia membujuk Anya,' pikirnya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sebelum siapa pun sempat bereaksi, sebuah buku cerita melayang ke arah pintu. Dengan refleks cepat, Ryota yang baru saja berdiri di ambang pintu langsung menangkap buku itu sebelum mengenai tubuhnya. Seisi ruangan seketika membeku. Pengasuh-pengasuh yang sejak tadi kewalahan langsung menundukkan kepala, sementara Anya tetap berdiri dengan dagu terangkat, ekspresinya penuh pembangkangan.“Kenapa?" Bianca menatap Erol serius, suaranya diturunkan setengah nada. "Anda tidak gay, kan, Tuan Erol?” Alis Erol berkerut. Gay? Bianca cepat menambahkan, “Bagi saya tidak masalah. Kalau sudah menikah, Pak Ryota dan Ibu saya akan berhenti kepo.” “Kepo?” ulang Erol datar. Bianca mengangguk mantap. “Kalau Tuan Erol tidak mau, ya sudah. Saya cari di internet saja.” Ia hendak berbalik ke mejanya. “Nona Bianca,” panggilan Erol menghentikan langkah Bianca. Bianca menoleh. “Ya?” “Ada hewan peliharaan?” “Tidak. Tuan Erol?” “Kucing. Anda alergi?” “Tidak.” “Tidur, lampu hidup atau mati?” “Mati. Hemat listrik.” Bianca balik bertanya cepat, “Dingin kayak kutub atau suhu ruang?” “Suhu ruang.” Bianca mengangguk singkat mendengar jawaban Erol. “Weekend, rebahan atau jalan-jalan?” tanya Erol singkat. “Rebahan. Mode hibernasi.” Erol menatapnya sekilas, suaranya tetap datar. “Bagus. Tidak akan ada konflik.” Bianca tersenyum kecil. “Pesta, outdoor atau indoor?
Vanessa duduk di sofa sembari mengamati tiap sudut ruangan kerja pribadi Presiden Direktur Ryota Energy Corp. Sangat dingin. Membuatnya yang sebenernya agak takut jadi semakin menggigil. Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dari luar. Sosok yang ditunggunya melangkah masuk dengan langkah panjangnya. Sontak membuat Vanessa duduk tegak. Vanessa membungkuk sedikit, memberi hormat kepada Ryota yang milirik ke arahnya sembari berjalan tenang ke kursi meja kerjanya. “Saya rasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Anda sudah mengenal saya, bukan begitu, Tuan Ryota Kenneth?” kata Vanessa berusaha untuk percaya diri berbicara di depan pria itu. Ryota menatap Vanessa sekilas, bibirnya tersenyum sinis. Wanita ini terlalu berani menemuinya secara langsung, dan untuk itu dia perlu menghargai keberaniannya. “Entahlah,” balas Ryota santai, “apa aku benar-benar mengenalmu?” “Anda juga mengenal Elara Maheswari dengan sangat baik.” Vanessa menyandarkan punggungnya, lalu menyilangkan kaki dengan
“Kamu tidak tidur?” Elara bertanya dengan nada waswas. Dari tadi suaminya itu hanya diam, menatapnya tanpa berkedip.Meskipun mereka tidak sampai berhubungan suami istri, setidaknya setelah mandi sejam yang lalu, mestinya langsung tidur.“Aku sedang berpikir,” jawab Ryota singkat.Elara buru-buru angkat bicara, takut pak suami itu sedang memikirkan larangannya tadi siang. “Saya tetap ingin melanjutkan kuliah. Pakai supir pun tidak apa-apa, yang penting saya bisa kuliah. Tidak apa-apa juga kalau saya tidak lagi menjemput Anya, tapi urusan dapur tetap harus menjadi tanggung jawab saya, dan—”“Elara.” Suara Ryota memotong, menghentikan rentetan kalimat istrinya sebelum semakin panjang. Matanya tetap mengamati Elara. “Sepertinya aku sedang mengalami krisis jati diri.”“Hah?” Elara melongo, tak mengerti arah pembicaraan suaminya.Ryota menghela napas panjang lalu merebahkan diri, menutup kedua matanya. “Tidurlah.”“Baik,” sahut Elara pelan.Tanpa membuka mata, Ryota kembali bersuara. “Sebe
Malamnya, Vanessa yang serius dengan tawaran Wilson langsung memberitahukan Daris. “Sayang, ini kesempatan. Daripada kau terus nganggur, mending ambil tawaran Pak Wilson. Jadi supir pribadi istrinya itu bukan hal memalukan. Setidaknya ada penghasilan.” Daris menghela napas panjang, “Vanessa, aku ini pernah duduk di kursi direktur. Masa sekarang aku nurunin diri jadi supir? Itu bukan kerjaan yang pantas buat aku.” “Pantas tidak pantas, yang penting bisa makan,” sahut Vanessa dengan suara meninggi. Perdebatan mereka terhenti ketika Alia tiba-tiba masuk menyela. “Kak Daris!” serunya sambil menodongkan ponselnya. “Kak Daris sudah lihat Mbak Elara sekarang? Ini beneran mbak Elara, atau cuma mirip?” Daris langsung mengambil ponsel itu. Setiap kali mendengar nama Elara, hatinya langsung digelayuti penyesalan. Vanessa melotot tajam. “Alia! Bisa tidak, jangan bahas-bahas wanita itu lagi?” bentaknya. Dulu, ia pernah menemui Elara karena mau mengembalikan Daris yang sudah dianggap tak be
Setelah RUPS, giliran lobi korporat. Ryota menerima ajakan Julien untuk makan siang bersama, karena ingin mendengar langsung tawaran paman tirinya itu.Julien menyodorkan syarat, ia akan menyetujui konversi saham, asalkan putrinya, Keira, diangkat sebagai dewan komisaris.Syarat itu masuk akal, meski menyebalkan. Menunda keputusan RUPS hanya akan merugikan, karena proyek bendungan ia hentikan sementara.Di tengah pembicaraan itu. Erol melaporkan tentang kecelakaan kecil yang dialami Elara.Kecelakaan itu memang kecil. Tidak ada luka serius. Istrinya tetap utuh, tetap cantik. Bahkan seandainya ada bekas, dunia medis bisa memperbaikinya. Namun tetap saja, pikirannya terus kembali pada kabar itu.Dalam perjalanan kembali ke kantor, setelah lobi dengan Julien mencapai kesepakatan, Ryota akhirnya menghubungi Elara. Tadinya ia ingin bertanya apa yang membuat istrinya melamun saat mengemudi. Apakah karena sikapnya yang pura-pura tidak mengenalnya di lobi kantor pusat tadi?Namun, sebelum ist
Tatapan Livia menyusuri wajah pucat Elara. Dalam hati, ia menebak-nebak jika temannya itu dimarahi. Kalau bukan orang tua, siapa yang menelepon Elara sampai jadi sepucat itu? Saudara? Orang tua tiri? Belum sempat ia mencari jawaban, seorang dokter datang bersama perawat. “Elara, Livia,” panggil perawat singkat. Keduanya serempak menoleh. “Elara,” ucap sang dokter sambil menatap pasiennya, “hasil rontgen dada menunjukkan tidak ada keretakan tulang rusuk. Hanya memar akibat sabuk pengaman. Tapi untuk memastikan fungsi paru-paru baik, sebaiknya tetap observasi satu-dua jam di IGD.” Elara mengangguk kecil. “Baik, Dok. Terima kasih." Dokter lalu beralih ke Livia. “Untuk bahu Livia, tidak ada patah atau retakan. Hanya memar otot. Nanti akan saya berikan obat nyeri dan anti-inflamasi. Tapi sementara, hindari mengangkat beban berat.” "Terima kasih, Dok. " Wajah ibunya Livia langsung berbinar lega, “Alhamdulillah…” Ibu Livia menoleh ke arah dokter. “Jadi, anak saya boleh langsung pulan