Share

Bab 2. Cinta Pertama

"Mas Dewa?"

"Ini beneran Mas Dewa?" Bianca masih tak percaya jika pria yang di hadapannya adalah orang yang barusan dicarinya.

Dewa diam tak menyahut, tangan kanannya terulur sebagai jawaban dari pertanyaan Bianca.

Bianca yang masih bingung, tak segera menyambut uluran tangan Dewa. Membuat sang empu merasa kesal. "Cium tangan saya, Bianca!"

Bianca yang baru tersadar dari rasa terkejutnya segera meraih tangan Dewa. Mencium tangan suaminya dengan takzim. Senyumnya merekah, raut murungnya hilang entah kemana.

Setelah itu ganti Dewa yang mencium kening Bianca. Wanita itu memejamkan mata, menikmati kecupan Dewa yang membuat hatinya berbunga-bunga. Dewa adalah pria pertama yang mencium keningnya.

Hanya mendapatkan ciuman di kening saja sudah membuat kaki Bianca lemas apalagi di bagian lainnya. Bianca tidak berhenti tersenyum, jika ini mimpi, Bianca berharap tidak akan bangun saja. 

Dewa sendiri mencium kening Bianca cukup lama, pria itu juga sempat berucap lirih, sehingga menimbulkan kerutan di dahi Bianca.

Bianca hendak bertanya apa yang diucapkan oleh Dewa namun ia batalkan begitu melihat Dewa sudah kembali menatap ke arah penghulu.

Keduanya dipersilahkan untuk duduk, menyelesaikan berkas pernikahan mereka berdua. Bianca yang masih belum percaya ini nyata mencubit tangannya sendiri.

"Awh." Pekiknya lirih. Setelah itu bibirnya tertarik ke atas, bahkan debaran jantungnya saat ini masih bekerja lebih keras dari biasanya.

Sesekali Bianca melirik Dewa yang duduk dengan tenang dengan raut wajah dinginnya. Meski belum bisa memahami kejadian saat ini, Bianca tetap senang. Masa bodoh dengan apa yang terjadi barusan, yang terpenting Dewangga Arka Prayoga sudah resmi menjadi suaminya.

***

Malam harinya, Resepsi pernikahan juga diadakan di hotel yang sama, dengan tamu undangan yang tidaklah sedikit.

Semua dibuktikan dengan banyaknya tamu yang antri untuk mengucapkan selamat kepada CEO muda yang sedang menjadi trending topik di berbagai media massa.

Dewa sendiri seperti aktor papan atas yang sedang mengadakan perjamuan guna merayakan kesuksesannya.

Wajah Dewa juga terlihat sangat santai dan tidak terlihat terbebani sama sekali, padahal ia menjadi mempelai pria pengganti disini. 

Anehnya lagi semua tamu undangan juga tidak ada yang menatap mereka dengan tatapan bingung atau semacamnya, Justru mereka memandang takjub dengan interior yang disuguhkan oleh WO yang dipakai oleh keluarga mereka.

Dari acara akad nikah sampai resepsi semua sudah diatur oleh kedua orang tua mereka. Tapi entah kebetulan atau tidak semua yang ada disini seperti apa yang diinginkan oleh Bianca.

Contohnya gaun yang dipakai saat ini. Bianca sangat ingat jika harusnya bukan gaun ini yang ia pakai. 

Pakaiannya pada saat fitting terakhir adalah baju kebaya sama seperti acara akad tadi pagi. Tapi yang ia pakai saat ini adalah gaun yang panjangnya melebihi tubuh dan berlengan panjang, rambutnya disanggul modern dengan mahkota kecil berada diatasnya.

Persis seperti princess yang ada di cerita dongeng. Pernikahan seperti ini yang memang diharapkan oleh Bianca Putri Renaldy.

Alasan kenapa Dewangga tiba-tiba menggantikan posisi Langit sudah sampai di telinga Bianca. Wanita itu justru mengabaikan keberadaan Langit, ia sangat bersyukur dengan menghilangnya sosok Langit di saat yang tepat. Seandainya Langit tidak menghilang, dirinya pasti sudah malas dengan rangkaian acara yang ada. Apalagi tamu undangan juga tidak main-main jumlahnya. 

Tamu undangan yang mengantri untuk memberi ucapan sudah mulai sedikit sehingga Bianca puas melihat suaminya. Sejak tadi dirinya hanya bisa melirik Dewa, itu pun susah karena bulu mata yang dipakainya sangat menghalangi penglihatan.

Dewa yang sadar jika diperhatikan menoleh, membuat Bianca yang tidak siap menjadi salah tingkah, wanita itu menoleh ke sembarang arah untuk menghindari tatapan dingin suaminya. 

Bianca belum terbiasa berada sedekat ini dengan Dewa, jarak jauh saja sudah membuatnya berdebar apalagi berada disampingnya sepanjang hari ini. Bianca berulang kali mengucap syukur bisa mendapatkan pria itu, tidak dengan usaha apapun, Bianca mendapatkannya dengan cuma-cuma. Sungguh takdir yang sangat menguntungkan untuk Bianca.

"Lelah?" Tanya Dewa dengan wajah datarnya.

Bianca mengangguk malu-malu, masih terasa malu tertangkap basah memandangi suaminya, tapi, bukankah memandangi suami sendiri itu hal baik? Kenapa juga Bianca harus malu-malu. 

"Ikut saya!" Titahnya.

Bianca mengira Dewa akan berjalan di depannya. Tapi, tangan Dewa sudah terulur lebih dulu untuk menggandeng tangan Bianca.

Deg!

Debaran jantung Bianca yang belum normal kembali berdetak lebih kencang. Bianca memegang dadanya.. Merasa was-was, takut jika Dewa bisa mendengarkan karena posisi mereka yang cukup dekat.

Masih dengan debaran yang kencang, Bianca dan Dewa berjalan bersama menemui kedua orang tua Dewa yang sedang menjamu para tamu.

"Ma, Pa, kami pamit dulu." Pamitnya pada Maria dan Hasan.

Maria tersenyum, ia berjalan mendekati Bianca. 

"Istirahat ya sayang, jangan terlalu capek." Ucap Maria kepada menantunya.

"Iya tante, Bian istirahat duluan ya." Bianca tersenyum lembut, ia beruntung mama mertuanya orang yang baik.

Maria menggeleng, membuat senyum Bianca luntur.

"Panggil saya Mama, Bian. Sekarang kamu putri kami, ya kan, Pa?" Ucap Maria yang dibenarkan oleh Hasan.

Senyum yang tadi luntur perlahan terbit, ia menahan malu karena sudah sempat berpikir buruk. 

"Iya Ma." Ucap Bianca malu-malu.

"Gitu dong sayang." Maria gemas melihat Bianca yang malu-malu. kini Maria menatap Dewa. "Jangan buat mantu Mama kecapekan!" 

Dewa mendengus dengan guyonan yang Maria berikan. Sedangkan pipi Bianca sudah memerah menandakan jika dirinya paham dengan godaan sang mertua.

"Kami pergi dulu. Mama sama Papa jangan terlalu capek." Dewa kembali berpamitan dengan kedua orang tuanya.

Sekarang mereka tinggal berpamitan dengan kedua orang tua Bianca.

"Kami pamit duluan Om, Tante." Ucap Dewa mewakili.

"Panggil kami Mami dan Papi, Dewa. Sekarang kamu juga anak kami." Pinta Rianti.

Dewa mengangguk, "Iya, Mi, Pi. Kami ke kamar dulu." Pamitnya ulang.

"Istirahatlah. Saya percayakan Bianca sama kamu, tolong jaga Bianca." Aditama menjeda ucapannya sebentar, menghembuskan nafas berat karena harus berpisah dengan putri tunggalnya.

"Dan Bianca, jangan membantah omongan suami kamu jika itu benar. Jika Dewa tidak bisa menjagamu, kembalilah ke Papi. Papi selalu ada buat kamu."

Mata Bianca sudah berkaca-kaca mendengar setiap pesan yang Aditama berikan. Selama 23 tahun mereka tidak pernah tinggal terpisah.

Bianca memeluk Aditama erat yang langsung dibalas dengan tak kalah erat. "Iya Pi. Bian sayang sama Papi." 

"Papi lebih sayang kamu, Bi." 

Rianti menitikkan air mata melihat kehangatan suami dan juga anaknya. Aditama jarang menunjukkan kasih sayangnya terhadap Bianca, tapi jika ditanya siapa yang paling memahami Bianca jawabannya adalah Aditama.

Aditama mempunyai watak yang keras dan tegas, tapi jika dengan Bianca, Aditama akan berubah menjadi lembut tapi tidak juga memanjakan Bianca secara berlebih.

"Sudah, Bi. Suami kamu sudah menunggu." Ucapan Rianti membuat pelukan antara ayah dan anak itu terlepas.

"Bilang aja kalau Mami cemburu sama Bian." Ejek Bianca dengan menjulurkan lidah.

Rianti yang digoda memutar bola mata jengah. Anaknya ini masih belum berubah saja.

Sedangkan Aditama hanya geleng-geleng kepala jika istri dan anaknya mulai saling mengejek.

"Bian, jangan lupa pesan Papi. Sekarang kamu istirahat saja dulu."

Bianca tersenyum sambil mengangguk. Tangannya kembali diraih oleh Dewa untuk diajak ke kamar yang disiapkan untuk mereka berdua.

Beberapa kali bersentuhan tangan di hari ini masih menimbulkan sensasi luar biasa bagi Bianca. Tangan kecilnya entah mengapa terasa pas di genggaman Dewa. 

Sepanjang perjalanan menuju kamar, Bianca dan Dewa hanya saling diam dengan tangan yang masih saling bertautan. 

Langkah kaki Dewa yang terlewat lebar membuat Bianca kesusahan untuk mengimbanginya. Genggaman tangan itu juga tak banyak membantu karena posisi Bianca yang awalnya disebelah Dewa menjadi dibelakang pria itu.

Dewa yang mulai sadar menghentikan langkah kakinya secara tiba-tiba.

"Aduh." Keluh Bianca, keningnya menabrak punggung tegap Dewa.

"Kenapa jalan di belakang saya?" Dewa membalikkan badan menghadap Bianca yang mengusap keningnya.

"Hah." Bianca melongo mendengar pertanyaan dari Dewa. 

"Kenapa tidak jalan di samping saya, Bianca." Ulang Dewa yang masih belum menyadari kesalahannya sendiri.

Bianca tampak bingung harus menjawab seperti apa. "Anu- itu."

Dewa mengernyit tak paham, "Anu?" 

"Bukan- bukan, Mas!" Teriak Bianca kelewat panik, takut jika Dewa salah paham.

Dewa yang paham kepanikan Bianca, menyunggingkan senyum tipis sepersekian detik sebelum mengubah raut wajahnya kembali menjadi datar dengan alis menukik.

"Mas Dewa jalannya terlalu cepat, Aku tidak bisa mengimbanginya." Cicit Bianca pelan.

"Oh."

Bianca tak menyangka jika respon Dewa hanya 'Oh' saja. "Dasar tidak peka!" Batin Bianca. Tanpa ia sadari bibirnya sudah mengerucut kesal.

Karena sibuk dengan batinnya sendiri Bianca tidak sadar jika tubuhnya saat ini sedang melayang.

"Loh kok- 

Ucapannya terputus saat sadar jika dirinya sedang berada di gendongan Dewa, itu membuatnya reflek melingkarkan lengannya di leher Dewa agar tidak terjatuh.

"Mas, aku bisa jalan sendiri." Ucap Bianca dengan debaran di dada yang tiba-tiba hadir.

"Saya tidak pernah bilang kamu lumpuh." Ucap Dewa datar.

Debaran di jantung Bianca yang disebabkan kedekatan mereka berubah menjadi debaran karena menahan kesal.

Bianca yang hendak protes harus menelan ucapannya ketika Dewa berucap lebih dahulu.

"Diam atau saya jatuhkan kamu disini!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status