Share

Bab 3

Richard mengajukan sebuah syarat, agar Alya membiarkan dirinya berada setidaknya berjarak lima meter, bukan sepuluh meter dari gadis itu. Dia meminta hal itu dengan alasan hal itu demi keselamatan Alya.

Awalnya gadis itu menolak, tetapi Richard berhasil membuatnya menyetujui syarat itu. Akan tetapi, hal yang tak dia duga terjadi. Alya menyodorkan sebuah tas belanja berwarna hitam kepada lelaki itu.

“Apa itu?” tanya Richard sambil menghadap ke belakang dan memperhatikan tas itu.

“Ini baju,” jawab Alya singkat.

“Untuk?” tanya Richard lagi.

“Ish ... lo cerewet juga, ya, ternyata? Ya buat lo-lah. Buat siapa lagi?” sahut Alya sembari menyodorkan tas tersebut lebih dekat kepada Richard.

“Maksudnya, untuk apa Anda memberikan itu kepada saya?” Richard rupanya menginginkan alasan yang lebih detail dari tujuan Alya memberikan pakaian tersebut.

“Lo masih inget, kan, kalau gue nggak mau orang lain tahu kalau gue anaknya polisi? Makanya gue kasih ini buat lo!” jelas Alya, tetapi Richard langsung menolaknya karena pakaian itu bukan miliknya. “Tuan Richard yang terhormat, baju ini baru. Bukan bekas orang lain. Tadinya baju ini mau gue kasih ke temen gue, tapi setelah keputusan bokap yang mendadak, kayanya akan lebih baik kalau baju jni buat lo.”

“Maaf, tapi ....”

“Nggak ada tapi-tapian. Lo mau ganti pakai baju ini, atau sekalian nggak usah turun dari mobil ini!” ancam Alya yang tak memiliki pilihan lain karena Richard masih keukeuh pada keputusannya tidak mau mengganti pakaiannya.

“Tapi saya sudah ditugaskan untuk menjaga Anda. Saya tetap turun,” putus Richard.

“Lo keras kepala banget, ya? Kalau lo turun dengan seragam dinas kaya gini, itu akan mencolok dan membuat orang lain paham kalau gue dikawal. Paham nggak, sih?” Alya tak mau kalah.

“Simpel, kalau begitu, bilang saja saya adalah pacar Anda. Beres, kan? Rahasia kalau Anda adalah anak jenderal, tetap aman,” sahut Richard dengan santai.

Alya langsung mendelik kesal mendapat jawaban tersebut. Gadis itu sungguh tak menyangka kalau Richard akan mengatakan hal itu.

Napas gadis itu memburu, tangannya mengepal kuat. “Lo paham, nggak, sih? Gue nggak mau mereka tahu kalau gue ada hubungan apa pun dengan polisi! Dan, lo ...? Selain mesum, lo ngarep banget jadi pasangan gue? Gue ingetin! Gue nggak suka sama polisi. Paham!” bentak Alya berkata jujur.

Richard sangat terkejut mendengar pengakuan yang keluar dengan penuh emosi tersebut. Ingin sekali lelaki itu menanyakan maksud dari perkataan Alya, tetapi hatinya mencegah bibirnya melontarkan pertanyaan itu.

“Sekarang keputusannya ada di tangan lo, mau ganti baju itu dan jangan pernah pakai seragam dinas saat ngawal gue, atau lo bisa mundur dari tugas ini. Lo tenang aja, kalau lo mundur, gue nggak akan pernah jelekin nama lo di depan papa!” putus Alya meminta Richard memilih. Dia juga menyerahkan tas belanja itu ke pangkuan Richard dan hendak keluar dari mobil.

“Tunggu!” Richard berhasil menghentikan niat Alya, hingga pintu mobil itu batal untuk dibukanya.

Alya melihat ke arah depan, menatap Richard dari spion tengah dengan penuh tanya yang tak terungkap oleh bibir.

“Kalaupun saya mau mengganti pakaian, bukankah semua orang di kampus ini akan melihat saya saat akan pergi ke toilet?” tanya Richard.

“Kata siapa lo harus ganti di toilet?” Alya berucap dengan ketus.

“Lalu ...?”

“Ganti baju lo di mobil ini! Atau jangan pernah keluar dari mobil!” titah Alya yang membuat Richard merasa syok. “Lo tenang aja, gue akan keluar saat lo ganti baju. Lagi pula, gue buru-buru. Kalau lo udah selesai, lo bisa nyusul. Nanti gue share loc.”

Alya hendak keluar dari mobil, tetapi lagi-lagi Richard berhasil mencegahnya. “Ada apa lagi, sih?” tanya Alya sambil mendengkus.

“Anda mau share location, tapi gimana caranya? Bukankah kita belum bertukar nomor handphone?” tanya Richard.

Alya menghela napas kasar, lalu meraih ponselnya. Dia mengetikkan nomor Whatsaap miliknya di gawai itu lalu memberikannya kepada Richard.

“Buruan catet!” pinta Alya yang langsung dituruti oleh Richard.

“Sudah. Kalau begitu, Anda sudah boleh keluar, saya mau ganti baju,” ucap Richard yang terkesan mengusir Alya.

Namun, gadis itu rupanya tak memiliki waktu lebih banyak lagi untuk meladeni Richard. Janji temu dengan dosennya lebih penting dari lelaki itu. Alya pun langsung keluar tanpa mengucap sepatah kata lagi, meninggalkan dan membiarkan Richard mengganti pakaiannya.

Richard memperhatikan Alya dan mengawasi sekitar gadis itu dari dalam mobil, hingga bahkan bayangannya saja tak terlihat oleh indra penglihatannya.

Setelah itu, Richard hendak mengganti pakaiannya sesuai permintaan putri sang jendreral. Namun, baru melepas kancing pertama, tiba-tiba ponselnya berdering. Di layar benda canggih itu menunjukkan nama kontak “Ibu” yang melakukan panggilan padanya.

Tanpa berpikir lagi, Richard pun langsung menerima panggilan itu.

“Halo, iya, Bu?” sapa Richard kepada wanita yang telah melahirkan, merawat, dan membimbingnya hingga dia berhasil menjadi seorang polisi.

“Hari ini kamu belum menelepon Ibu. Makanya Ibu yang telepon. Apa kamu sehat?” ucap sang ibu dengan nada yang begitu lembut dan menyejukkan hati pemuda itu.

“Iya, Bu, maaf ya. Hari ini aku dapat tugas baru. Makanya belum sempat ngabari Ibu. Aku sehat. Ibu, Bapak, dan adik-adik sehat?” tanya Richard.

“Kami semua baik. Apa kamu masih betah di Jakarta?” tanya balik ibu Richard, tetapi kali ini nada bicaranya terdengar sedih. Pertanyaan itu juga seolah pengungkapan rindu kepada putra sulung yang sudah hampir dua tahun belum pulang imbas adanya wabah covid-19.

“Betah nggak betah ya harus betah, kan, Bu? Doain aja semua kerjaanku lancar dan keadaan semuanya kembali pulih biar kita bisa segera bertemu.” Richard berusaha dengan keras menahan perasaannya.

“Nak, sisihkanlah sedikit waktumu. Kalau kamu terlalu sibuk, kapan kamu akan membawa menantu untuk Ibu?”

“Bu, aku hanya akan membawa menantumu saat aku merasa, kalau aku sudah sangat membahagiakan Ibu.”

“Richard, Ibu akan sangat bahagia saat kamu membawa menantuku ke sini.”

“Baiklah kalau begitu, doakan aku agar ada perempuan yang mau menjadi pendamping putramu ini.” Richard berhasil membuat sang ibu tertawa dan suara tawa itu sungguh sangat menenangkan hatinya.

“Tidak akan ada wanita yang menolakmu, Nak. Pekerjaanmu sangat bagus. Kamu juga pria yang baik.”

Richard tersenyum tipis. “Baiklah. Nanti aku akan menelepon Ibu lagi. Aku harus segera kembali bertugas.”

Selepas memutus sambungan telepon tersebut, Richard tidak langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seperti biasanya. Dia masih tersenyum miris membayangkan tentang bagaimana cara para wanita mendekatinya hanya karena seragam, pangkat, dan yang jelas karir yang sudah pasti.

“Kalau aku harus menikahi seorang wanita, maka wanita itu haruslah yang mencintai keluargaku terlebih dulu. Bukan karena seragamku. Karena aku pun akan melakukan hal yang sama,” gumam Richard. “Tapi, adakah wanita zaman sekarang yang bisa seperti itu? Rasanya sangat sulit.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status