Share

Bab 5

Di rumah Alya, sore itu sang papa pulang lebih cepat. Kedua adiknya pun sudah pulang sejak beberapa sebelumnya. Semua orang tengah berkumpul di ruang keluarga, begitu pun dengan dua orang ajudan lain dan seorang yang bertugas di bagian pengamanan rumah sang jenderal. Sedang ajudan dan tim pengamanan lain berjaga di luar rumah.

“Apa ada masalah soal penugasan Richard?” tanya Fajar, papa Alya yang berpangkat Komisaris Jenderal Polisi dan bertugas sebagai komandan korps Brimob Polri.

“Ya, seperti yang sudah kita duga sebelumnya kalau Alya pasti akan menolak. Apalagi, ternyata sempat ada accident yang terjadi di bandara waktu mereka sama-sama mau balik ke sini,” jawab Liana.

Fajar yang awalnya sedang membaca buku, langsung menutup buku tersebut dan meletakkannya di meja. Dia lantas menoleh kepada sang istri dengan dahi mengerut.

Accident? Apa? Mereka saling kenal?” tanya Fajar penasaran.

“Nggak, mereka nggak saling kenal. Hanya saja ada kecelakaan kecil di bandara yang membuat Alya marah kepada Richard. Tapi, udah clear, kok. Itu hanya salah paham aja,” ujar Liana yang tidak mau mengungkapkan lebih detail masalah yang terjadi antara Alya dan Richard.

Liana tahu betul bagaimana watak suaminya yang menurun kepada putri sulung mereka, Alya. Fajar bisa ikut salah paham dan tak akan mau mendengar penjelasan apa pun, jika ada yang melakukan kesalahan. Bagi sang jenderal, yang salah tetaplah harus mendapat hukuman, walaupun itu untuk kebaikan.

“Tapi beneran sudah clear, kan?” tanya Fajar memastikan.

Liana tersenyum manis kemudian mengangguk pelan. “Buktinya sekarang Alya mau menerima Richard untuk mengawal dia.”

“Assalamualaikum,” ucap seorang gadis dengan wajahnya yang lesu, lalu menghampiri dan menyalimi kedua orang tuanya.

“Waalaikumsalam,” sahut Liana, Fajar, dan ajudan muslim yang juga berada di ruang itu.

Alya pun duduk di tengah-tengah orang tuanya. Kepalanya dia sandarkan ke pundak sang ayah yang sudah dua tahun lebih tidak bisa dia lakukan.

“Pa, aku boleh minta sesuatu, nggak?” tanya Alya dengan nada manja dan wajah yang memelas.

“Baru pulang langsung meminta sesuatu. Ada apa, Nak? Kalau bisa, Papa akan kasih seluruh isi dunia ini kepada anak-anak Papa. Kamu mau apa?” tanya Fajar sambil menepuk pipi sang putri.

“Jadi gini,” Alya mengeluarkan sebuah undangan pesta yang diberikan oleh Indira dan menunjukkannya ke hadapan Fajar, “aku diundang ke pesta temen SMA. Aku boleh dateng, kan?”

“Mmm ...,” Fajar menunjukkan mimik muka seperti orang yang sedang berpikir, “boleh. Nanti biar Richard yang mengantar kamu.”

What the hell ... kenapa harus sama dia lagi, sih? batin Alya. “Pa, aku sudah besar. Sudah cukup kayanya seharian ini aku dikawal. Aku merasa nggak bebas melakukan aktivitasku. Kan Papa tahu kalau aku tuh nggak mau ada orang yang tahu kalau aku anaknya polisi. Bahkan, selama ini kalau temanku main ke rumah, pasti aku bawa ke rumah om atau tante. Please, dong, Pa. Dengan dikawal terus teman-temanku pasti akan curiga.”

Mendengar penuturan sang putri, ada getaran dalam hati sang jenderal. Dalam hati, dirinya mengutuk dirinya sendiri karena tak bisa membuat Alya bangga dengan kepolisian, sebuah lembaga yang telah membesarkan namanya dan berhasil membahagiakan serta memberi kenyamanan untuk keluarganya.

Walaupun, Alya tak pernah sekalipun mengungkapkan alasan kenapa gadis itu tidak mau orang mengetahui bahwa dia seorang putri polisi, tetapi Fajar dapat dengan jelas melihat bahwa tak ada sedikit pun kebanggaan di mata putri sulungnya itu terhadap dirinya.

Fajar menghela napas kasar. “Baiklah. Kamu boleh pergi tanpa Richard. Tapi ingat, jam sepuluh malam sudah harus ada di rumah atau Papa sendiri yang akan menjemputmu ke rumah temanmu itu.”

Alya begitu gembira mendengar ucapan tersebut. Sontak saja gadis yang akan menjalani koas-nya itu langsung memeluk erat sang ayah sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.

“Ada satu lagi,” ucap Fajar yang membuyarkan keceriaan di wajah Alya, yang sekaligus membuat sang putri melepaskan pelukannya.

“Pa ....”

“Kamu harus kasih tahu alamat teman kamu itu ke Papa sekarang juga. Papa percaya kamu akan menuruti perintah Papa untuk tidak pulang larut, tapi Papa nggak percaya sama teman-teman kamu, karena yang harus kamu tahu kalau nggak semua orang itu berniat baik kepada kita, Nak. Papa khawatir aja. Jadi misal kamu pulang malam ....”

Belum selesai Fajar menceramahi putrinya, Alya langsung menyodorkan undangan tersebut kepadanya dengan raut wajahnya yang datar alias tanpa ekspresi.

“Sudah, kan? Jadi, udah dapat izin, kan?” tanya Alya dengan senyum manis yang dia sunggingkan di bibirnya.

Fajar hanya mengangguk, dan kemudian Alya beranjak ke kamarnya. Sebelum itu, gadis calon dokter itu mencium kedua orang tuanya.

Fajar langsung menatap para ajudannya, tetapi sedetik kemudian matanya memicing. “Loh, Richard ke mana? Dia belum masuk?” tanya Fajar.

“Siap, izin Komandan. Tadi dia memberi kode kalau langsung masuk ke kamarnya. Karena dia tidak memakai seragam dinas, Komandan!” jawab Reza dengan tegas.

“Reza, tolong kamu panggil dia kemari, ya,” pinta Fajar yang langsung dilaksanakan oleh sang ajudan.

Reza keluar dari ruang utama itu dan menuju ke kamar yang biasa ditempati oleh dirinya dan juga Richard.

Di kamar berukuran lima kali lima meter dengan nuansa krem itu, terlihat Richard sedang berganti pakaian dengan seragam dinasnya lagi, mengingat jam itu masih merupakan jam dinas mereka.

“Richard, tadi kau tak pakai seragam? Apa Alya menyirammu dengan minuman, sampai kau harus ganti pakaian?” tanya Reza setelah menutup pintu kamar itu dengan rapat.

“Gadis itu yang buat aku harus ganti, Bang. Abang sendiri tadi yang bilang, gimana perangainya si Alya. Ya, inilah salah satu buktinya,” ucap Richard sambil merapikan lagi baretnya yang berwarna biru.

Mendengar penuturan itu, Reza pun tertawa sambil menepuk pundak sang sahabat. “Chard, harusnya kau tak usah ganti baju. Biarkanlah komandan tahu kelakuan putrinya itu. Lagi pula, jam kerja kita sudah akan habis sepuluh menit lagi.”

“Biarlah, Bang. Aku tak ingin cari masalah. Benar kata bapakku di rumah, kalau wanita itu pintar mencari celah agar lelaki terlihat salah. Bukannya dibela, bisa-bisa aku dihukum kalau sampai Alya nanti playing victim di hadapan komandan,” balas Richard yang sudah siap dengan seragamnya.

“Ya sudah, ayo ikut. Komandan memanggilmu,” ajak Reza yang diangguki oleh Richard.

Selama berjalan menuju ruang utama rumah megah itu, Reza dan Richard selalu bercanda. Tak jarang Reza menantang Richard untuk meluluhkan hati Alya.

“Kapan lagi, bisa jadi mantu seorang jenderal, Chard? Siapa tahu, kan, kau bisa mulus kali karirnya,” ucap Reza.

“Tidaklah, Bang. Tipeku itu perempuan biasa-biasa saja. Lagi pula, Alya sudah memiliki pacar ....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status