Share

Bab 4

Author: Nadira Dewy
last update Last Updated: 2025-12-01 13:33:34

Davidson membuang napasnya. Menatap Helena yang terbaring, belum sadarkan diri, ia merasa sangat kurang kerjaan.

Entah kenapa juga dia jadi merasa kasihan, tapi juga direpotkan.

Hingga saat ini Helena masih belum bangun. Dokter bilang hanya kelelahan dan agak demam, tapi betah sekali perempuan itu tidur.

“Kenapa aku malah menunggunya bangun?” gumam Davidson, tidak habis pikir.

Ia pun bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari kamar itu.

Di luar sudah ada pelayan yang menunggu.

Sebelum benar-benar menjauh, Davidson membalikkan badannya, berkata pada pelayan rumahnya, “Kalau dia sudah bangun, kasih dia makan. Jangan sampai dia mati, nanti aku yang akan kena masalah.”

Pelayan itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”

Malas sekali memikirkan yang tidak penting, Davidson gegas menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuknya, menarik selimut, dan tidur dengan nyaman.

Tidak ada yang mampu mengganggu pria itu, semuanya dia anggap tidak penting, dan hanya ketenangan yang selalu tidak bisa diabaikan.

Namun, ketenangan itu terganggu saat Davidson terbangun dini hari. Batuk yang tiba-tiba saja datang membuat tidurnya tidak nyenyak. Terpaksa dia bangkit untuk minum, namun gelas di meja samping tempat tidur kosong.

“Cih! Sialan. Kenapa jadi sering bangun malam karena batuk?” gerutunya.

Dengan kesal Davidson bangkit. Ia berjalan keluar untuk menuju dapur. Walaupun dia kaya raya, tetapi pada dini hari begini pelayan pasti juga sudah tidur, memanggil mereka hanya akan membuat tenggorokannya makin kering.

Tanpa menyalakan lampu utama, Davidson mengeluarkan air dari lemari pendingin. Ia meminum segelas penuh hingga akhirnya dia baru menyadari ada suara di sekitarnya.

Davidson mengerutkan keningnya, memicingkan mata kala melihat dalam remang seseorang tengah duduk di meja makan.

Davidson berjalan dengan hati-hati, menyalakan lampu utama.

Klak!

Rupanya, orang yang duduk di meja makan adalah Helena.

Mereka berdua sama-sama terkejut.

“Kau—” Davidson menatap Helena heran.

Helena merapatkan bibirnya, menelan makanan yang masih tersangkut di tenggorokannya dengan gugup.

Ada remah makanan di sekitar bibir Helena, Davidson pun terheran-heran.

“Maaf, Paman...” Helena nampak semakin gugup.

Davidson membuang napas kasarnya. “Kenapa kau makan gelap-gelapan begini? Kalau aku tidak sedang dalam keadaan waras, mungkin aku sudah menghantam mu pakai kursi.”

Helena memaksakan senyumnya. “Aku cuma... cuma tidak ingin mengganggu yang lain. Mereka pasti sudah tidur, tapi aku juga tidak bisa tahan lagi. Aku lapar sekali tadi.”

“Sudah selesai makan?” tanya Davidson sambil meletakkan gelas di meja.

Sambil menganggukkan kepalanya, Helena menjawab, “Sudah, Paman.”

Davidson melirik pada jam dinding, memastikan waktu saat ini.

“Sudah pukul 02:40. Sebentar lagi matahari juga terbit. Kau pulang saja. Mobilmu ada di garasi.”

Mendengar itu, Helena pun terkejut.

“Kau seorang istri, suamimu pasti khawatir karena kau tidak pulang ke rumah. Jangan sampai dia berpikir macam-macam, nanti akan jadi masalah baru untukku,” tambah Davidson.

Helena mengusap mulutnya dengan tisu. Tisu itu dia remas sangat kuat pada genggamannya.

Khawatir? Berpikir macam-macam?

Helena justru menjadi kesal. Bagaimanapun, ekspresi yang ditunjukkan Karina dan Alex sudah menjelaskan, sejelas mungkin, mereka berdua tidak akan peduli bagaimana keadaan Helena, apa yang sedang dilakukan, yang paling penting adalah uang.

Davidson kesal. Melihat Helena banyak sekali melamun saat bicara, itu membuat matanya sakit.

“Kenapa kau diam saja? Cepat pulang!”

Helena tersentak. Segera ia bangkit, bukan untuk pulang seperti yang Davidson inginkan, tapi untuk berdiri di hadapan pria itu.

“Cih! Ekspresi apa lagi yang kau tunjukkan padaku, huh?” kesal Davidson.

Helena menelan ludahnya sendiri. Sudahlah... dia juga sudah kehilangan harga dirinya. Anggap saja dirinya sendiri adalah pelacur yang tidak punya otak.

“Paman, syarat yang kau katakan sebelumnya... aku setuju.”

Davidson terkejut. “Apa kau bilang barusan?”

Helena menatap dengan ekspresi yang begitu meyakinkan. “Aku setuju dengan syarat itu. Bantulah Alex, aku akan melakukan apa yang Paman inginkan dariku.”

Tidak habis pikir, Davidson sampai menggelengkan kepalanya dengan ekspresi tak percaya. “Helena, kau benar-benar melakukan semua ini hanya demi pria badjingan itu?”

Semakin erat tangan Helena mencengkram. Netranya telah menjelaskan betapa benci dirinya sendiri yang harus mengambil langkah memalukan itu.

Namun, Helena yang begitu mencintai Alex menganggap ini adalah sebuah pengorbanan demi cintanya.

“Dia suamiku, bukankah wajar jika aku membantunya?” ujar Helena, tetapi dia tidak berani menatap mata Davidson.

Entahlah... tapi mata Davidson selalu saja membuat orang yang bicara di hadapannya seolah merasa gugup, takut akan salah bicara.

Senyum smirk ditambah tatapan mata yang dingin, Davidson melangkah untuk mendekati Helena.

Terlalu dekat jaraknya, Helena reflek memundurkan diri.

“Lihatlah, Helena. Kau saja takut padaku, bagaimana bisa kau memuaskanku di atas tempat tidur?” ucap Davidson, meremehkan dengan ekspresinya yang dingin.

Helena menggigit bibir bawahnya, menyesali kakinya yang bodoh hingga tiba-tiba saja mundur.

“Paman, aku—”

“Ssstthhh...” Davidson semakin meremehkan Helena melalui tatapannya. “Aku tidak suka melakukan hubungan intim dengan wanita yang pasif. Sepertinya kau bukan seleraku, jadi jangan mengatakan hal yang kau sendiri saja tidak berani untuk menghadapinya.”

Helena terdiam. Bicara dengan Davidson membuatnya tidak bisa berargumentasi lebih banyak. Padahal, di kepalanya ada banyak sekali kalimat-kalimat yang ingin diungkapkan.

Davidson mulai menegakkan tubuhnya, bersiap untuk menjauh.

Namun, sebelum pria itu mengambil langkah, Helena dengan segala keyakinan dan rasa malu yang sudah lenyap langsung memeluk tengkuk Davidson, mencium bibirnya.

Davidson terkejut. Dia terdiam dengan matanya yang tajam.

Helena mengeratkan lengannya. Dia sampai berjinjit tinggi karena Davidson memang jauh lebih tinggi darinya, bahkan pria itu sedikit menunduk karena lengan Helena yang masih menahannya.

Helena memejamkan matanya, erat. Dia tentu merasa takut, malu, dan tidak berhenti mengutuk dirinya sendiri.

Tapi sudahlah... ini jalan paling memalukan yang telah dia ambil.

Davidson menjauhkan tubuh Helena. Matanya semakin tajam. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Walaupun tubuhnya sampai gemetar, Helena tetapi harus menghadapinya. Mata Helena memancarkan keberanian saat menatap mata Davidson. “Paman, aku sudah melakukan sampai sejauh ini, apa tekadku masih tidak terlihat?”

Mendengar itu, Davidson tersenyum mengejek. “Memangnya apa yang kau lakukan barusan?”

Helena mengerutkan keningnya. “Aku... mencium Paman.”

Seketika itu Davidson mencengkram dagu Helena. “Mencium? Omong kosong apa? Kau menempelkan bibirmu. Karena kau tidak bisa membedakan, maka biar aku tunjukkan apa artinya mencium padamu.”

Helena bingung, tapi tidak ada kesempatan untuknya terlalu banyak berpikir.

Davidson meraih pinggul Helena, membawanya lebih dekat. Tanpa jeda Davidson mencium bibir Helena.

Pria itu benar-benar menunjukkan apa arti ciuman menurut versi dirinya.

Helena terkejut. Cara Davidson mencium bibir di luar dugaan, bahkan terlalu buas dan liar.

Tapi, entah kenapa dan dorongan dari mana, Helena justru memejamkan matanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Salahku Selingkuh   Bab 5

    Ciuman itu jadi semakin mendalam. Helena tahu kalau tidak seharusnya dia melakukan itu, tetapi situasi mendorongnya, ditambah dia juga Helena yang sudah tidak lagi memikirkan apa itu harga dirinya. Davidson menyingkirkan kursi di belakang Helena tanpa melepaskan ciuman bibir itu. Dalam satu gerakan dia mengangkat tubuh Helena, membawanya, mendudukkan ke meja makan. Ciuman itu semakin menjadi-jadi, Davidson semakin erat menahan tubuh Helena. Suasana yang memanas itu membuat Davidson hilang kendali. Tangannya bergerak cepat, menyentuh bagian yang tidak seharusnya di sentuh. Helena terkejut saat tangan Davidson menyentuh dadanya. Cepat dia mendorong pria itu sambil mengatur napasnya. Davidson terdiam. Sadar kalau dia mudah sekali terbawa suasana. “P–Paman, aku...” Davidson membuang napasnya. “Kembalilah.” Setelah mengatakan itu, Davidson beranjak. Kakinya cepat meninggalkan tempat itu, menaiki anak tangga. Helena hanya bisa terdiam sambil menatap punggung Davids

  • Bukan Salahku Selingkuh   Bab 4

    Davidson membuang napasnya. Menatap Helena yang terbaring, belum sadarkan diri, ia merasa sangat kurang kerjaan. Entah kenapa juga dia jadi merasa kasihan, tapi juga direpotkan. Hingga saat ini Helena masih belum bangun. Dokter bilang hanya kelelahan dan agak demam, tapi betah sekali perempuan itu tidur. “Kenapa aku malah menunggunya bangun?” gumam Davidson, tidak habis pikir. Ia pun bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari kamar itu. Di luar sudah ada pelayan yang menunggu. Sebelum benar-benar menjauh, Davidson membalikkan badannya, berkata pada pelayan rumahnya, “Kalau dia sudah bangun, kasih dia makan. Jangan sampai dia mati, nanti aku yang akan kena masalah.” Pelayan itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Malas sekali memikirkan yang tidak penting, Davidson gegas menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuknya, menarik selimut, dan tidur dengan nyaman. Tidak ada yang mampu mengganggu pria itu, semuanya dia anggap tidak penting, dan hanya ketenangan yang selalu ti

  • Bukan Salahku Selingkuh   Bab 3

    “Alex, apa kau tahu betapa memalukannya apa yang diinginkan Paman Davidson dariku?” tanya Helena, air matanya kukuh lantah tak lagi bisa ia tahan. Padahal dia sangat mencintai Alex, melakukan hal-hal yang kadang di luar nalar nya juga bukan hanya sekali dua kali. Namun, kenapa hasil akhirnya masih saja sama? Kenapa dia semakin merasa tidak dicintai? Alex mendesah sebal. Dia tidak lagi bisa menggunakan kalimat lemah lembut karena kecewa pada Helena yang bertele-tele, padahal tinggal setujui saja syaratnya, dan dapatkan uangnya. Sudah seperti itu saja, bukankah yang paling penting hanyalah uang? “Helena, setujui saja syarat dari Paman. Saat ini yang paling penting cuma uang, yang lain tidak!” Barisan kalimat itu membuat tubuh Helena seperti disambar petir. Telinganya sampai berdengung, tubuhnya dingin berkeringat, napasnya pun terasa penuh dan sesak. “Alex... kenapa kau memperlakukan ku begini? Apa aku tidak ada harganya di matamu lagi?!” protes Helena. Plak...!

  • Bukan Salahku Selingkuh   Bab 2

    “Apa...?” Helena terperangah tak percaya. “Teman tidur... maksud Paman apa sebenarnya?” Davidson beranjak dari tempatnya, melangkah agar bisa lebih dekat dengan Helena. “Menurutmu apa artinya teman tidur, hemm?” Helena reflek memundurkan langkahnya. Dia tidak menyangka kalau Davidson bahkan sampai meminta hal yang tidak mungkin untuk dia penuhi. Melihat reaksi Helena, Davidson pun tersenyum angkuh. “Takut? Maka pulanglah, jangan datang lagi ke sini.” Ingin. Tentu Helena ingin sekali pergi dari tempat itu. Tetapi, jika dia kembali tanpa mendapatkan hasil yang memuaskan Alex dan Ibunya, Helena pun akan merasa sangat bersalah. “Paman, apa tidak ada hal lain saja yang bisa aku lakukan? Aku ini kan istri keponakan mu, bagaimana bisa Paman meminta itu dariku?” ucap Helena, mencoba untuk bernegosiasi dengan harapan Davidson dapat memberi syarat yang lebih masuk akal.. Namun, Helena sama sekali tidak tahu seberapa keras kepalanya Davidson. Pria itu memiliki segalanya yang dia bu

  • Bukan Salahku Selingkuh   Bab 1

    “Sayang, aku mohon padamu... tolong bantu aku memohon kepada Pamanku. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menyelamatkan perusahaan,” ucap pria bernama Alex, 32 tahun, suami dari Helena Greg Lauder. Mendengar permohonan sang suami, Helena pun merasa bingung. “Tapi, Sayang, Paman Davidson itu Pamanmu. Bagaimana mungkin aku menemuinya? Dia juga bukan orang yang ramah. Bagaimana jika dia—” Tidak menyerah, Alex kembali memohon, kali ini ekspresinya lebih menyedihkan sampai-sampai suaranya seperti sedang menahan tangis yang ingin pecah dari tenggorokannya. “Sayang, Paman Davidson itu adalah orang yang baik. Hanya saja aku sudah meminta bantuannya beberapa kali. Kalau sekarang aku minta bantuannya lagi, yang ada dia akan memaki ku dan menganggapku tidak mampu mengelola keuangan kantor sampai-sampai keadaan kantor jadi kacau dan terancam bangkrut.” Helena pun terdiam. Selama empat tahun menikah dengan Alex, jangankan merasa bahagia seperti yang ia harapkan sebelumnya, cuma ada kekhaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status