LOGINCiuman itu jadi semakin mendalam.
Helena tahu kalau tidak seharusnya dia melakukan itu, tetapi situasi mendorongnya, ditambah dia juga Helena yang sudah tidak lagi memikirkan apa itu harga dirinya. Davidson menyingkirkan kursi di belakang Helena tanpa melepaskan ciuman bibir itu. Dalam satu gerakan dia mengangkat tubuh Helena, membawanya, mendudukkan ke meja makan. Ciuman itu semakin menjadi-jadi, Davidson semakin erat menahan tubuh Helena. Suasana yang memanas itu membuat Davidson hilang kendali. Tangannya bergerak cepat, menyentuh bagian yang tidak seharusnya di sentuh. Helena terkejut saat tangan Davidson menyentuh dadanya. Cepat dia mendorong pria itu sambil mengatur napasnya. Davidson terdiam. Sadar kalau dia mudah sekali terbawa suasana. “P–Paman, aku...” Davidson membuang napasnya. “Kembalilah.” Setelah mengatakan itu, Davidson beranjak. Kakinya cepat meninggalkan tempat itu, menaiki anak tangga. Helena hanya bisa terdiam sambil menatap punggung Davidson yang semakin menjauh. Dadanya yang berdegup kencang itu membuatnya merasa bodoh dan kesal. “Aku yang tidak pernah jatuh cinta pada siapapun selain Alex... ternyata aku bisa mengkhianati suamiku sendiri begitu saja?” gumam Helena. Namun, tiba-tiba saja dia teringat dengan ucapan Davidson sebelumnya. “Kembalilah...? Kembali ke mana maksudnya? Apa aku tetap diminta untuk pulang?” Helena menatap arah tangga, tapi Davidson sudah tidak ada di sana. “Kalau aku kembali sekarang, aku juga masih bingung apakah aku bisa membawa kabar yang diinginkan Alex dan Ibu Karina. Paman Davidson tidak mengatakan apapun lagi. Tidak. Aku tidak boleh pergi dari sini sebelum semuanya jelas.” Helena turun dari meja makan. Dia kembali ke kamar tamu. Besok pagi baru dia akan menanyakan kejelasan dari Davidson. Esoknya, di pagi hari. Helena membuka mata. Sudah pukul 7. Gegas dia bangkit. Sebentar mencuci wajahnya, menyisir rambutnya. Begitu keluar kamar, dia mengendus aroma roti panggang yang langsung membuat perutnya keroncongan. Helena pun berdecih sebal. “Ah, sialan memang. Kenapa di sini aku justru merasa lapar terus?” Tidak habis pikir, padahal harusnya dia tidak nafsu makan karena semalam agak demam, hidungnya juga masih tersumbat. Sesampainya di meja makan, Helena sempat merasa gugup melihat Davidson duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Apa yang terjadi dini hari tadi membuatnya sulit memejamkan mata. Namun, sadar juga bahwa dia tidak bisa menghindari Davidson. Misinya harus tuntas, tidak boleh setengah setengah. Meski ragu, Helena tetapi melangkah menuju meja makan. Menyadari kedatangan Helena, Davidson sempat melirik sebentar lalu berkata, “Makan dan pulanglah setelah itu.” Mendengar itu, Helena dengan cepat menganggukkan kepalanya. “Aku akan ikut sarapan. Tapi Paman... masalah yang sedang dihadapi Alex... bagaimana aku—” Mata Davidson tajam terarahkan pada Helena. “Makan dan jangan mengajakku bicara.” Reflek Helena duduk. Tatapan mata Davidson begitu menakutkan. Hah...! Sepertinya malaikat pun akan mundur, menjauh, jika urusannya dengan pria itu. Helena tidak bisa berkonsentrasi untuk sarapan. Dia merasa begitu kacau hari ini. Namun yang anehnya adalah Davidson yang justru bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apapun dengan mereka. Karena Davidson bisa bersikap begitu, maka Helena juga mencoba untuk melakukan yang sama. Lagi pula, Davidson juga sudah terbiasa berganti wanita kapanpun yang dia mau. Pada akhirnya, sarapan itu berakhir dengan tenang. Davidson langsung bangkit begitu selesai, membuat Helena gelagapan. “Tunggu, Paman...” Helena ikut bangkit, berdiri di belakang Davidson karena pria itu enggan membalikkan badan. “Soal Alex, apa aku—” “Pulang sekarang,” potong Davidson, tidak lama langsung pergi. Helena mendesah lesu. Padahal sudah sampai sejauh ini, tapi dia juga tidak bisa tetap di sana. Segera Helena meninggalkan ruang makan. Dengan langkah lesu, Helena pun meninggalkan rumah itu. Mobilnya sudah disiapkan oleh penjaga gerbang, membuat Helena hanya bisa tersenyum pahit. Jelas saja Davidson tidak sabar lagi untuk Helena cepat meninggalkan rumahnya. “Sudahlah... aku sudah melakukan apa yang aku mampu. Bagaimanapun hasilnya, Alex dan Ibu Karina juga tidak bisa terus menyalahkan ku. Pulang saja dulu. Hadapi jika memang mereka mau terus mengomel padaku,” gumam Helena, pasrah. Helena meninggalkan mansion mewah itu, menuju ke rumah yang dia tinggali bersama Alex dan Karina. Sesampainya di sana, Helena membuang napas kasar sambil membuka kunci mobil. Apapun yang terjadi, kedepannya pasti akan ada banyak masalah baru karena dia gagal lagi mendapatkan bantuan untuk Alex. Namun, Helena sudah bersiap dengan segala kemungkinan. “Tidak apa-apa... Alex pasti cuma akan marah sebentar, tidak mungkin lama, apalagi seumur hidup,” gumamnya pelan. Seraya kakinya melangkah, Helena terus mencoba menambah kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi Alex dan Karina. Alex yang kadang keras saat keinginannya tidak terpenuhi, Karina yang selalu judes, Arogan, dan mudah sekali untuk menekan Helena, dia telah menyiapkan diri sebaik mungkin, bahkan jika nantinya akan mendapatkan pukulan atau apapun itu. Namun, begitu kakinya menginjak pintu utama, Helena melihat Alex dan Karina keluar, dan langsung berlari mendekatinya. Helena mengepalkan tangannya. Dia memejamkan matanya, pasrah jika Karina menamparnya. Hanya saja... tidak begitu. Grep. Helena pun membuka matanya dengan ekspresi terkejut. Alex memeluknya erat. Karina tidak melakukan apapun, hanya berdiri menatapnya dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca. “Alex...” bisik Helena, lemah. Alex tersenyum senang. “Sayang, terimakasih banyak. Berkat mu, Paman mau membantuku. Perusahaan sudah aman karena bantuan dari Paman.” Mendengar itu, Helena pun mematung, bingung. “Apa...? Jadi...” Alex melepaskan pelukannya, tangannya tetap menyentuh lengan Helena. “Benar. Paman sudah mengirimkan dana itu pagi tadi. Urusan kantor sudah selesai.” Helena semakin terdiam. Jika Davidson sudah melakukan semua ini, maka yang harus Helena lakukan adalah membayar bantuan itu dengan harga yang amat mahal. “Syukurlah. Setidaknya, sebagai seorang istri kau bisa sedikit berguna untuk suamimu. Kedepannya, jangan terlalu boros. Perusahaan bisa dibilang kembali merintis, sudah bisa makan enak saja itu cukup untukmu,” beber Karina. Alex hanya tersenyum, seolah ucapan Ibunya adalah sesuatu yang biasa saja, tidak perlu untuk dibantah. Kata ‘boros’ itu sangat tidak masuk akal. Selama menjadi istrinya Alex, Helena tahu benar menggunakan uang dengan tepat. Membeli barang selalu yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan tanpa memiliki manfaat penting. Semua barang yang dia miliki, mulai dari tas, sepatu, pakaian, rata-rata tidak dari brand besar. Sudah sangat irit tapi masih dibilang boros? Jadi... irit yang dimaksud Karina itu seperti apa? “Sayang, aku berangkat ke kantor dulu bersama Ibu. Kau istirahat saja di rumah. Pulang kerja nanti aku akan belikan camilan kesukaan mu,” ucap Alex. Pria itu tidak ingin menunggu reaksi Helena, langsung menoleh untuk mengajak Ibunya pergi. Helena tersenyum dengan ekspresi kesal saat melihat Alex dan Karina pergi. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, nomor yang tidak dikenal. Helena menggeser tombol itu. “Cepat kemari, penuhi syaratnya.” Helena terkejut. “P–Paman...”Ciuman itu jadi semakin mendalam. Helena tahu kalau tidak seharusnya dia melakukan itu, tetapi situasi mendorongnya, ditambah dia juga Helena yang sudah tidak lagi memikirkan apa itu harga dirinya. Davidson menyingkirkan kursi di belakang Helena tanpa melepaskan ciuman bibir itu. Dalam satu gerakan dia mengangkat tubuh Helena, membawanya, mendudukkan ke meja makan. Ciuman itu semakin menjadi-jadi, Davidson semakin erat menahan tubuh Helena. Suasana yang memanas itu membuat Davidson hilang kendali. Tangannya bergerak cepat, menyentuh bagian yang tidak seharusnya di sentuh. Helena terkejut saat tangan Davidson menyentuh dadanya. Cepat dia mendorong pria itu sambil mengatur napasnya. Davidson terdiam. Sadar kalau dia mudah sekali terbawa suasana. “P–Paman, aku...” Davidson membuang napasnya. “Kembalilah.” Setelah mengatakan itu, Davidson beranjak. Kakinya cepat meninggalkan tempat itu, menaiki anak tangga. Helena hanya bisa terdiam sambil menatap punggung Davids
Davidson membuang napasnya. Menatap Helena yang terbaring, belum sadarkan diri, ia merasa sangat kurang kerjaan. Entah kenapa juga dia jadi merasa kasihan, tapi juga direpotkan. Hingga saat ini Helena masih belum bangun. Dokter bilang hanya kelelahan dan agak demam, tapi betah sekali perempuan itu tidur. “Kenapa aku malah menunggunya bangun?” gumam Davidson, tidak habis pikir. Ia pun bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari kamar itu. Di luar sudah ada pelayan yang menunggu. Sebelum benar-benar menjauh, Davidson membalikkan badannya, berkata pada pelayan rumahnya, “Kalau dia sudah bangun, kasih dia makan. Jangan sampai dia mati, nanti aku yang akan kena masalah.” Pelayan itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Malas sekali memikirkan yang tidak penting, Davidson gegas menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuknya, menarik selimut, dan tidur dengan nyaman. Tidak ada yang mampu mengganggu pria itu, semuanya dia anggap tidak penting, dan hanya ketenangan yang selalu ti
“Alex, apa kau tahu betapa memalukannya apa yang diinginkan Paman Davidson dariku?” tanya Helena, air matanya kukuh lantah tak lagi bisa ia tahan. Padahal dia sangat mencintai Alex, melakukan hal-hal yang kadang di luar nalar nya juga bukan hanya sekali dua kali. Namun, kenapa hasil akhirnya masih saja sama? Kenapa dia semakin merasa tidak dicintai? Alex mendesah sebal. Dia tidak lagi bisa menggunakan kalimat lemah lembut karena kecewa pada Helena yang bertele-tele, padahal tinggal setujui saja syaratnya, dan dapatkan uangnya. Sudah seperti itu saja, bukankah yang paling penting hanyalah uang? “Helena, setujui saja syarat dari Paman. Saat ini yang paling penting cuma uang, yang lain tidak!” Barisan kalimat itu membuat tubuh Helena seperti disambar petir. Telinganya sampai berdengung, tubuhnya dingin berkeringat, napasnya pun terasa penuh dan sesak. “Alex... kenapa kau memperlakukan ku begini? Apa aku tidak ada harganya di matamu lagi?!” protes Helena. Plak...!
“Apa...?” Helena terperangah tak percaya. “Teman tidur... maksud Paman apa sebenarnya?” Davidson beranjak dari tempatnya, melangkah agar bisa lebih dekat dengan Helena. “Menurutmu apa artinya teman tidur, hemm?” Helena reflek memundurkan langkahnya. Dia tidak menyangka kalau Davidson bahkan sampai meminta hal yang tidak mungkin untuk dia penuhi. Melihat reaksi Helena, Davidson pun tersenyum angkuh. “Takut? Maka pulanglah, jangan datang lagi ke sini.” Ingin. Tentu Helena ingin sekali pergi dari tempat itu. Tetapi, jika dia kembali tanpa mendapatkan hasil yang memuaskan Alex dan Ibunya, Helena pun akan merasa sangat bersalah. “Paman, apa tidak ada hal lain saja yang bisa aku lakukan? Aku ini kan istri keponakan mu, bagaimana bisa Paman meminta itu dariku?” ucap Helena, mencoba untuk bernegosiasi dengan harapan Davidson dapat memberi syarat yang lebih masuk akal.. Namun, Helena sama sekali tidak tahu seberapa keras kepalanya Davidson. Pria itu memiliki segalanya yang dia bu
“Sayang, aku mohon padamu... tolong bantu aku memohon kepada Pamanku. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menyelamatkan perusahaan,” ucap pria bernama Alex, 32 tahun, suami dari Helena Greg Lauder. Mendengar permohonan sang suami, Helena pun merasa bingung. “Tapi, Sayang, Paman Davidson itu Pamanmu. Bagaimana mungkin aku menemuinya? Dia juga bukan orang yang ramah. Bagaimana jika dia—” Tidak menyerah, Alex kembali memohon, kali ini ekspresinya lebih menyedihkan sampai-sampai suaranya seperti sedang menahan tangis yang ingin pecah dari tenggorokannya. “Sayang, Paman Davidson itu adalah orang yang baik. Hanya saja aku sudah meminta bantuannya beberapa kali. Kalau sekarang aku minta bantuannya lagi, yang ada dia akan memaki ku dan menganggapku tidak mampu mengelola keuangan kantor sampai-sampai keadaan kantor jadi kacau dan terancam bangkrut.” Helena pun terdiam. Selama empat tahun menikah dengan Alex, jangankan merasa bahagia seperti yang ia harapkan sebelumnya, cuma ada kekhaw







