LOGIN“Alex, apa kau tahu betapa memalukannya apa yang diinginkan Paman Davidson dariku?” tanya Helena, air matanya kukuh lantah tak lagi bisa ia tahan.
Padahal dia sangat mencintai Alex, melakukan hal-hal yang kadang di luar nalar nya juga bukan hanya sekali dua kali. Namun, kenapa hasil akhirnya masih saja sama? Kenapa dia semakin merasa tidak dicintai? Alex mendesah sebal. Dia tidak lagi bisa menggunakan kalimat lemah lembut karena kecewa pada Helena yang bertele-tele, padahal tinggal setujui saja syaratnya, dan dapatkan uangnya. Sudah seperti itu saja, bukankah yang paling penting hanyalah uang? “Helena, setujui saja syarat dari Paman. Saat ini yang paling penting cuma uang, yang lain tidak!” Barisan kalimat itu membuat tubuh Helena seperti disambar petir. Telinganya sampai berdengung, tubuhnya dingin berkeringat, napasnya pun terasa penuh dan sesak. “Alex... kenapa kau memperlakukan ku begini? Apa aku tidak ada harganya di matamu lagi?!” protes Helena. Plak...! Karina menampar pipi Helena, kuat sekali, menyisakan rasa panas dan perih yang begitu jelas. Helena terperangah, begitu juga dengan Alex. Tidak menyangka kalau Helena akan bertindak sejauh ini. “Dasar perempuan pembawa sial!” makinya pada Helena. “Cepat temui Davidson, penuhi syarat darinya, lalu dapatkan uangnya!!” Alex pun menarik Karina untuk sedikit menjauh. Kalau Karina terus menyiksa Helena, yang ada Helena makin enggan membantu. Alex memegang lengan Helena dengan lembut, ekspresinya nampak penuh sesal. “Sayang, jangan menolak syarat dari Paman. Ibuku nanti bisa makin kesal, kita juga jadi punya masalah karena Ibuku pasti akan menolak kebersamaan kita.” Helena mengusap air matanya. Walaupun perih sekali pipinya, dia mencoba untuk mengabaikan hal itu. “Kau serius, Alex? Kau benar-benar memintaku menyetujui syarat dari Paman Davidson walaupun aku sudah menyebutkan bahwa syarat itu akan melukai harga diriku, bahkan juga harga dirimu?” Dengan cepat Alex menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Masalah harga diri sudah tidak penting lagi untuk saat ini. Bayangkan saja bagaimana menderitanya kita kalau perusahaan sampai bangkrut. Yang sulit juga bukan hanya aku saja, tapi kau juga akan kesulitan karena keuangan kita benar-benar jatuh. Mungkin saja, untuk membeli sebutir nasi kita tidak sanggup lagi.” Helena mengepalkan tangannya lebih erat lagi. Dia melihat keseriusan di wajah Alex saat dia mengatakan kalimat-kalimat yang semakin menghantam hatinya. Sekarang, melanjutkan kalimat tentang syarat dari Davidson juga sudah tidak ada artinya lagi. Tatapan yang Karina tunjukkan padanya sejak tadi sudah cukup menjelaskan bahwa jika Davidson menginginkan nyawanya, maka dengan senang hati Karina pasti akan memberikan nyawa menantunya sendiri. Helena tersenyum sinis. Meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin, pada akhirnya dia harus tetap menjadi sosok yang bagaikan seorang pengemis. “Baiklah...” ujar Helena pasrah. “Kau yang mendorong ku untuk sampai sejauh ini. Kau benar-benar sudah membuatku jatuh ke lubang sampah yang paling kotor dan bau.” Alex sama sekali tidak ingin tahu lebih detail lagi. Dia justru tersenyum tanpa ada rasa bersalah. “Oke. Sekarang, kau kembalilah ke rumah paman Davidson. Katakan saja kau setuju dengan semua syarat yang dia ajukan. Aku akan tetap di sini, menunggu kabar baik darimu.” Kabar baik? Helena memilih untuk tidak lagi mengatakan apapun. Sudah sangat lelah, anggap saja ini pengorbanan paling besar yang bisa dia lakukan untuk Alex. Helena digiring keluar dari rumah oleh Alex sendiri, di belakangnya Karina mengikuti dengan senyum puas. Dipaksa kembali naik mobil, Helena pun tak berkutik. “Aku menunggu kabar baik darimu, Sayang,” ucap Alex yang begitu tidak peduli dengan apa yang dirasakan Helena. Tanpa mengatakan apapun, Helena mulai menjalankan mobilnya. Sudahlah... harga dirinya sudah habis tak tersisa. Kali ini, dia akan melakukan apa yang Alex dan Karina inginkan walaupun dia merasa begitu kejam pada dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Davidson, Helena memang tidak mengatakan apapun, tetapi air mata yang terus berjatuhan itu sudah menjelaskan semua yang dirasakannya. Beberapa saat kemudian, mobilnya kembali terparkir di depan gerbang utama mansion megah itu. Matanya menatap nanar, hatinya mulai ia siapkan untuk penghinaan yang akan ditanggungnya hingga akhir hayat. Penjaga gerbang menyadari kalau Helena kembali, ia pun menggelengkan kepalanya dengan ekspresi heran. Helena menurunkan kaca mobilnya lalu berkata pada penjaga gerbang, “Pak, boleh bukakan gerbang? Aku... ingin menemui Paman Davidson. Pembicara tadi belum selesai.” Penjaga gerbang itu merasa tidak enak untuk menyampaikan, tetapi dia juga tidak ada pilihan lain. “Nyonya Helena, Tuan Davidson sudah meninggalkan pesan pada saya untuk tidak membukakan pintu gerbang kepada siapapun. Beliau tidak ingin menemui kamu lagi, bahkan jika itu yang mengaku saudaranya.” Helena mencengkram kemudian mobilnya erat. Dari sana saja dia sudah merasa ciut, tetapi anehnya memilih mundur dan menyerah saja tidak ingin dia lakukan. Sudah sampai di titik ini, Helena yang merasa harga dirinya sudah tak lagi tersisa memilih untuk keluar dari mobil. Dia menatap penjaga gerbang dengan tatapan penuh tekad. “Pak, tolong katakan pada Paman Davidson kalau aku akan berdiri di sini, menunggu, sampai Paman Davidson mau menemui ku,” ucap Helena, penuh tekad. Penjaga gerbang pun hanya bisa mendesah berat. Dia tentu saja merasa kasihan, tapi pesan dari Davidson membuatnya hanya bisa berpura-pura sana tidak melihat Helena di sana. Sementara itu, di dalam mansion, Davidson yang sibuk di ruang kerja pribadinya mengetahui kedatangan Helena dari salah satu pelayan rumahnya. Dia tidak ingin memikirkan itu terlalu banyak, saat ini dia hanya ingin fokus dengan pekerjaannya. Davidson terus sibuk, tidak lupa waktu, tidak juga peduli apakah Helena masih menunggu atau tidak. Hingga akhirnya... langit menjadi gelap, hujan turun dengan lebatnya. Baru saja dia selesai dengan pekerjaan. Niatnya ingin sebentar bersantai sambil meminum wine, tetapi entah kenapa dia tertarik dengan suara hujan yang begitu bising. Ia menyibakkan tirai. Dahinya berkerut melihat seseorang yang masih berdiri di depan gerbang. Ia pun menyipitkan matanya, melihat dengan lebih jelas siapa orang itu. “Perempuan itu... apa dia sudah gila?” gumam Davidson. Ia menoleh ke arah jam dinding. Kembali mengingat kalau Helena datang lagi sekitar 4 jam yang lalu, dan entah kapan hujan itu datang. “Mobilnya ada di sana, kenapa dia justru berdiri begitu? Aneh dan bodoh.” Davidson pun membuang napas kasarnya. “Kalau dia mati di sini, namaku juga yang akan kena imbasnya.” Terpaksa pria itu berjalan meninggalkan ruangan. Mengambil payung yang ada di sudut ruangan menuju ruang tamu. Dengan langkah cepat, Davidson akhirnya sampai di sana. Helena menggigil, wajahnya benar-benar pucat. “Mau sampai kapan kau di sini?” tangan Davidson. Helena menaikkan pandangannya, baru sadar dengan keberadaan Davidson. “Paman, aku...” belum selesai Helena bicara, dia jatuh pingsan. Bruk!Ciuman itu jadi semakin mendalam. Helena tahu kalau tidak seharusnya dia melakukan itu, tetapi situasi mendorongnya, ditambah dia juga Helena yang sudah tidak lagi memikirkan apa itu harga dirinya. Davidson menyingkirkan kursi di belakang Helena tanpa melepaskan ciuman bibir itu. Dalam satu gerakan dia mengangkat tubuh Helena, membawanya, mendudukkan ke meja makan. Ciuman itu semakin menjadi-jadi, Davidson semakin erat menahan tubuh Helena. Suasana yang memanas itu membuat Davidson hilang kendali. Tangannya bergerak cepat, menyentuh bagian yang tidak seharusnya di sentuh. Helena terkejut saat tangan Davidson menyentuh dadanya. Cepat dia mendorong pria itu sambil mengatur napasnya. Davidson terdiam. Sadar kalau dia mudah sekali terbawa suasana. “P–Paman, aku...” Davidson membuang napasnya. “Kembalilah.” Setelah mengatakan itu, Davidson beranjak. Kakinya cepat meninggalkan tempat itu, menaiki anak tangga. Helena hanya bisa terdiam sambil menatap punggung Davids
Davidson membuang napasnya. Menatap Helena yang terbaring, belum sadarkan diri, ia merasa sangat kurang kerjaan. Entah kenapa juga dia jadi merasa kasihan, tapi juga direpotkan. Hingga saat ini Helena masih belum bangun. Dokter bilang hanya kelelahan dan agak demam, tapi betah sekali perempuan itu tidur. “Kenapa aku malah menunggunya bangun?” gumam Davidson, tidak habis pikir. Ia pun bangkit dari duduknya, berjalan keluar dari kamar itu. Di luar sudah ada pelayan yang menunggu. Sebelum benar-benar menjauh, Davidson membalikkan badannya, berkata pada pelayan rumahnya, “Kalau dia sudah bangun, kasih dia makan. Jangan sampai dia mati, nanti aku yang akan kena masalah.” Pelayan itu mengangguk patuh. “Baik, Tuan.” Malas sekali memikirkan yang tidak penting, Davidson gegas menjatuhkan tubuhnya di ranjang empuknya, menarik selimut, dan tidur dengan nyaman. Tidak ada yang mampu mengganggu pria itu, semuanya dia anggap tidak penting, dan hanya ketenangan yang selalu ti
“Alex, apa kau tahu betapa memalukannya apa yang diinginkan Paman Davidson dariku?” tanya Helena, air matanya kukuh lantah tak lagi bisa ia tahan. Padahal dia sangat mencintai Alex, melakukan hal-hal yang kadang di luar nalar nya juga bukan hanya sekali dua kali. Namun, kenapa hasil akhirnya masih saja sama? Kenapa dia semakin merasa tidak dicintai? Alex mendesah sebal. Dia tidak lagi bisa menggunakan kalimat lemah lembut karena kecewa pada Helena yang bertele-tele, padahal tinggal setujui saja syaratnya, dan dapatkan uangnya. Sudah seperti itu saja, bukankah yang paling penting hanyalah uang? “Helena, setujui saja syarat dari Paman. Saat ini yang paling penting cuma uang, yang lain tidak!” Barisan kalimat itu membuat tubuh Helena seperti disambar petir. Telinganya sampai berdengung, tubuhnya dingin berkeringat, napasnya pun terasa penuh dan sesak. “Alex... kenapa kau memperlakukan ku begini? Apa aku tidak ada harganya di matamu lagi?!” protes Helena. Plak...!
“Apa...?” Helena terperangah tak percaya. “Teman tidur... maksud Paman apa sebenarnya?” Davidson beranjak dari tempatnya, melangkah agar bisa lebih dekat dengan Helena. “Menurutmu apa artinya teman tidur, hemm?” Helena reflek memundurkan langkahnya. Dia tidak menyangka kalau Davidson bahkan sampai meminta hal yang tidak mungkin untuk dia penuhi. Melihat reaksi Helena, Davidson pun tersenyum angkuh. “Takut? Maka pulanglah, jangan datang lagi ke sini.” Ingin. Tentu Helena ingin sekali pergi dari tempat itu. Tetapi, jika dia kembali tanpa mendapatkan hasil yang memuaskan Alex dan Ibunya, Helena pun akan merasa sangat bersalah. “Paman, apa tidak ada hal lain saja yang bisa aku lakukan? Aku ini kan istri keponakan mu, bagaimana bisa Paman meminta itu dariku?” ucap Helena, mencoba untuk bernegosiasi dengan harapan Davidson dapat memberi syarat yang lebih masuk akal.. Namun, Helena sama sekali tidak tahu seberapa keras kepalanya Davidson. Pria itu memiliki segalanya yang dia bu
“Sayang, aku mohon padamu... tolong bantu aku memohon kepada Pamanku. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menyelamatkan perusahaan,” ucap pria bernama Alex, 32 tahun, suami dari Helena Greg Lauder. Mendengar permohonan sang suami, Helena pun merasa bingung. “Tapi, Sayang, Paman Davidson itu Pamanmu. Bagaimana mungkin aku menemuinya? Dia juga bukan orang yang ramah. Bagaimana jika dia—” Tidak menyerah, Alex kembali memohon, kali ini ekspresinya lebih menyedihkan sampai-sampai suaranya seperti sedang menahan tangis yang ingin pecah dari tenggorokannya. “Sayang, Paman Davidson itu adalah orang yang baik. Hanya saja aku sudah meminta bantuannya beberapa kali. Kalau sekarang aku minta bantuannya lagi, yang ada dia akan memaki ku dan menganggapku tidak mampu mengelola keuangan kantor sampai-sampai keadaan kantor jadi kacau dan terancam bangkrut.” Helena pun terdiam. Selama empat tahun menikah dengan Alex, jangankan merasa bahagia seperti yang ia harapkan sebelumnya, cuma ada kekhaw







