Langit pagi tampak mendung, seolah ikut memantulkan keraguan dalam hati Suzy. Hari pertamanya sebagai mahasiswi baru di Kampus Negeri Nusantara seharusnya menyenangkan. Tapi kenyataannya, perutnya terasa dikocok cemas yang tak bisa dijelaskan.
Ini bukan soal takut kuliah, bukan takut tugas, apalagi takut dosen killer. Ini tentang satu orang, "Ardian". Senior kampus. Aktifis organisasi kampus. Cerdas, tenang, dan… dingin. Dan sekarang secara resmi menjadi kakak tirinya. Bukan saudara sedarah, benar. Tapi cukup untuk membuat status mereka rumit dan membuat dada Suzy sesak sejak pernikahan Papanya yaitu Pak Dion dan Bu Nayla sebulan lalu. “Suzy, kamu ngelamun ya?” tegur Rina, teman barunya yang ia kenal dari grup W******p maba. Suzy tersentak. “Eh, enggak kok.” “Tuh, Ardian lewat” bisik Rina dengan nada fangirl, menunjuk pria berbadan atletis dengan jaket organisasi berlogo kampus. “Gila, senior satu itu fix bukan manusia. Cowok-cowok lain langsung zonk!” Suzy mengikuti arah jari Rina. Ardian berjalan melewati mereka dengan langkah pasti, wajahnya tanpa ekspresi. Seakan dunia ini hanya pantulan bayangan yang tak penting. Matanya bertemu dengan Suzy sepersekian detik. Datar. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Seolah… tak mengenal. Padahal tadi pagi mereka sarapan di meja yang sama. Jam makan siang, Suzy baru saja keluar dari kantin saat langkahnya terhenti. Ardian berdiri tak jauh di depan, menyandar di tiang gedung fakultas. Sendirian. Tapi jelas sedang menunggu… dirinya? “Suzy.” Suara berat itu memanggil namanya. Ia menoleh, jantungnya berdetak lebih cepat. Ardian menatapnya lurus. “Ada apa, Kak… Ardian?” Pria itu mengerutkan alisnya. “Kita gak usah pakai embel-embel ‘Kak’. Di kampus, aku senior. Kamu junior. Titik.” Suzy menelan ludah. “O… oke.” “Dan satu lagi,” lanjutnya, suara makin pelan tapi menusuk. “Di kampus, kita gak ada hubungan. Gak perlu bilang ke siapa-siapa soal… status kita.” “Status?” ulang Suzy, bingung. “Ya. Kamu anak dari suami baru Mama. Aku anak dari istri barunya Papa kamu. Kita bukan saudara. Kita gak perlu berpura-pura akrab.” Suzy mengerjap. Sakit. Tapi dia menahan diri untuk tak menunjukkan air mata. “Baik,” jawabnya pelan. “Aku ngerti.” Ardian mengangguk tipis. “Bagus.” Dan dia pun pergi. Dingin. Meninggalkan jejak ganjil di hati Suzy yang baru sejenak mulai menerima kehidupan barunya. Malam itu di rumah, suasana makan malam keluarga seolah dibungkus kabut canggung. “Gimana kuliahnya, Nak?” tanya Papa dengan senyum lembut. “Lancar, Pa” jawab Suzy pelan, mencuri pandang ke arah Ardian yang duduk di seberangnya. Pria itu diam saja, garpu di tangannya hanya dimainkan, makanan nyaris tak tersentuh. Papa terbatuk kecil. “Ardian, adek kamu ini maba di komunikasi. Kalau sempat, tolong dibantu, ya. Kamu kan senior, Papa rasa kamu sudah pengalaman.” Ardian mengangkat wajah. Tatapannya tajam, tapi tidak penuh emosi. Hanya… kosong. “Maaf, Paman. Aku gak punya waktu,” ujarnya datar. Keheningan mendadak turun ke meja makan. Suzy menunduk. Kata “Paman” itu kembali menusuk telinga. Padahal Papa sudah berusaha begitu hangat. Padahal, keluarga ini mencoba membentuk awal yang baru. Bu Nayla hanya tersenyum lemah. “Sudah, makan dulu saja. Nanti makanannya keburu dingin loh.” Ardian berdiri. “Saya makan di kamar aja ma.” Langkahnya berat, suara pintu kamarnya terdengar pelan… tapi cukup keras untuk menggetarkan dada Suzy. Suzy masuk ke kamarnya, menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang putih dan kosong. Sama seperti hatinya malam ini. “Aku salah apa sih gak asik banget tuh orang?” bisiknya. Ia tahu Ardian dingin, tapi tidak menyangka sedingin ini. Padahal Suzy tak pernah memaksa disebut adik. Tak pernah berharap Ardian langsung menerimanya. Tapi apakah sedingin itu perlakuan yang layak untuk seseorang yang bahkan tak meminta keadaan ini? Sementara itu dikamar, Ardian memegang foto: ibunya tersenyum dalam balutan kebaya, berdiri di pelaminan dengan pria yang bukan ayah kandungnya. Pria yang kini dia disebut “Paman”. Dia menggertakkan rahang. “Kalau dia nyakitin Mama… aku gak akan diam aja,” bisiknya. Ardian masih ingat bagaimana ayah kandungnya meninggalkan ibunya demi wanita lain. Seorang wanita tamak, yang menguras semua tabungan, aset, bahkan rumah milik keluarga ibunya. Dari kaya menjadi miskin dalam sekejap. Dan Ardian, kala itu masih SMA, hanya bisa melihat ibunya menangis malam-malam, sendirian di dapur gelap, karena listrik hampir diputus. Kini ibunya tersenyum lagi. Dengan pria lain. Pria yang katanya baik. Tapi Ardian tahu, kebaikan pria bisa jadi hanya topeng manis di awal. Dan anak perempuan itu… Suzy. Bukan salahnya. Tapi keberadaannya menjadi pengingat bahwa keluarga ini bukan lagi seperti dulu. “Paman, ya. Bukan Papa,” gumamnya. Dan Ardian tahu… dia belum siap memanggil siapa pun sebagai pengganti ayahnya.Pagi masih berkabut ketika Hellen mengetuk pintu kamar tamu tempat Suzy dan Ardian beristirahat. “Kalian harus berangkat sekarang. Lokasi pertama yang paling mendekati data ada di Dusun Merbabu, Jalan Bata Merah No.6, Kabupaten Cendana Barat. Orang itu terdaftar atas nama Mira Desiana.” Suzy yang baru saja membuka matanya langsung duduk tegak. Ardian mengucek mata sambil menarik nafas dalam. “Dusun Merbabu? Jauh juga, ya.” “Kurang lebih empat jam perjalanan. Kalian bisa pakai Pajero ayahku, kuncinya sudah aku taruh di meja dapur,” ujar Hellen cepat. “Kamu ikut, Hel?” tanya Suzy sambil berdiri. “Aku ingin ikut, tapi…” Belum sempat Hellen menyelesaikan kalimatnya, Ardian menolak halus. “Nggak, kamu harus tetap di sini. Komputer itu pusat kontrol kita satu-satunya. Apalagi semalam Kevin diculik. Kita nggak tahu siapa lawan kita. Mereka bisa saja menyadap jejak kita. Kamu harus tetap jaga pos.” Hel
Suzy duduk termenung di ruang tamu, matanya masih terfokus pada chat dari Kevin 1 jam yg lalu. Setelah mengetahui bahwa Mira Desiana adalah bibi Ardian—saudara tiri dari Bu Nayla—Suzy merasa makin kuat dorongannya untuk mengungkap segalanya. Ia segera menekan tombol Call di kontak Kevin, berharap lelaki itu segera menjawab panggilannya. Namun, setelah beberapa kali nada sambung, tidak ada jawaban. “Dia nggak angkat, ian,” ucap Suzy cemas. “Kalau gitu kita datangi aja rumahnya. Aku yang antar,” kata Ardian tegas. Sebelum pergi, Suzy menitipkan Baby Diana kepada Tante Erna, adik dari mendiang Papanya. Suzy percaya Diana akan aman di sana. Sesampainya di rumah Kevin, suasana tak seperti biasanya. Rumah bercat abu itu tampak lebih suram. Pak Raymond, ayah Kevin, membuka pintu dengan wajah pucat dan napas terburu-buru. Matanya gelisah. “Pak Raymond, maaf ganggu. Kevin
Desember 1985Udara di rumah mewah milik Jaya Ruslan terasa lebih dingin dari biasanya. Di kamar utama, tangisan bayi perempuan memecah kesunyian malam tahun baru. Bayi itu lahir dari hubungan terlarang Jaya Ruslan dengan Ana, gundik favoritnya yang telah lama ia sembunyikan dari sang istri resmi, Nyonya Joice Ruslan. “Dia anakku. Aku ingin dia memakai nama belakangku, Ruslan,” tegas Jaya dengan suara yang tertahan emosi. Namun Joice berdiri tegak, wajahnya kaku, matanya merah menyala. “Kau pikir aku akan izinkan anak harammu memakai nama keluarga ini? Aku masih istrimu yang sah, Jaya!” Pertengkaran itu terdengar sampai ke kamar Lula kecil—gadis 12 tahun yang duduk diam di pojok ranjangnya, memeluk boneka usang yang dulu pernah diberikan ibunya. Ia mendengar segalanya. Tangisannya tertahan. Bukan hanya karena suara keras ayah dan ibunya, tapi juga karena rasa iri yang perlahan tumbuh setiap kali ia melihat bayi perempuan itu dige
Suzy mengetuk pintu kamar kost Ardian dengan hati sedikit berdebar. Bukan karena takut, tapi karena rindu yg tertahan. Ardian membuka pintu dan seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Masuk, kamu,” ujarnya sambil menepi, membiarkan Suzy masuk. Suzy duduk di ujung kasur, meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa. “Aku nggak masak, ini aku beli tadi. Aku tahu kamu pasti belum makan.” Ardian tertawa kecil. “Tebakanmu selalu tepat. Kuliahmu gimana? Semester akhir mulai terasa berat?” Suzy mengangguk sambil membuka botol air mineral. “Berat banget. Aku sampai kepikiran buat skripsi bareng kamu, tapi ya… hidup kita aja udah kayak skripsi berlapis.” Ardian tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Kalo hidup kita skripsi, kayaknya penguji bakal nyerah.” Suzy tersenyum, tapi hatinya terasa hangat. Mereka kembali berbincang santai, kali ini tentang dosen killer Pak Michae
Suatu Tempat, Beberapa Hari Sebelumnya Seorang wanita duduk di kursi berlapis beludru merah tua. Wajahnya hanya terlihat sebagian, tertutup bayangan tirai yang bergerak pelan karena angin dari jendela yang terbuka setengah. Duduk di hadapannya, seorang pria paruh baya mengenakan kemeja lusuh dan topi tua lusuh—Cipto, mantan satpam kompleks yang kini bekerja serabutan. “Aku butuh kamu buat satu hal kecil,” ucap si wanita, suaranya lembut namun punya kekuatan yang tak bisa diabaikan. Cipto menatapnya ragu. “Apa itu, Bu?” Wanita itu menyodorkan dua foto. Suzy dan Ardian. “Kalau dua orang ini datang ke rumah Pak Wisnu dan Bu Linda… kamu tahu harus ngapain, kan?” “Lapor ke Ibu?” tanyanya perlahan. Wanita itu tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Benar. Jangan pakai kekerasan. Jangan bikin keributan. Aku nggak suka yang vulgar. Kita bukan kriminal. Kita cuma… mengatur ulang
Tahun 1991 Suatu sore di taman belakang sekolah, Lula—gadis pendiam dengan mata sendu—menggenggam sepucuk surat cinta. Wajahnya pucat, telapak tangannya berkeringat dingin. Ia menyerahkan surat itu langsung ke Dion muda. “Aku suka kamu,” katanya dengan suara pelan, nyaris tenggelam oleh angin sore. Dion membaca surat itu dengan ekspresi datar. Lalu, dengan lembut tapi tegas, dia menggeleng. “Maaf, Nayla… aku sudah dekat dengan Merry.” Merry—gadis populer dan ceria, yang kelak menjadi istri Dion dan Mama kandung Suzy. Hari itu, Lula merasa hancur. Bukan karena ditolak… tapi karena merasa dipermalukan. Di sekolah, desas-desus itu menyebar cepat. Bahwa anak orang kaya yang culun itu naksir cowok yang tidak selevel. Tahun 2000