Se connecterAku tinggal satu atap dengannya. Tidur di kamar sebelahnya. Dia kakak tiriku—status yang datang karena pernikahan orangtua kami. Tapi tubuhku merinding setiap kali dia lewat. Jantungku berpacu saat mata dinginnya menatapku diam-diam. Ardian terlalu tampan, terlalu berbahaya… dan terlalu dekat. Dia memanggil ayahku dengan “Paman”, tapi tidak pernah menyapaku sebagai adik. Karena kami tahu… Ada hal-hal yang seharusnya tidak kami rasakan. Tapi sudah telanjur tumbuh. Dan semuanya dimulai… sejak aku tanpa sengaja melihatnya malam itu—tanpa baju, tanpa batas.
Voir plusLangit pagi tampak mendung, seolah ikut memantulkan keraguan dalam hati Suzy. Hari pertamanya sebagai mahasiswi baru di Kampus Negeri Nusantara seharusnya menyenangkan. Tapi kenyataannya, perutnya terasa dikocok cemas yang tak bisa dijelaskan.
Ini bukan soal takut kuliah, bukan takut tugas, apalagi takut dosen killer. Ini tentang satu orang, "Ardian". Senior kampus. Aktifis organisasi kampus. Cerdas, tenang, dan… dingin. Dan sekarang secara resmi menjadi kakak tirinya. Bukan saudara sedarah, benar. Tapi cukup untuk membuat status mereka rumit dan membuat dada Suzy sesak sejak pernikahan Papanya yaitu Pak Dion dan Bu Nayla sebulan lalu. “Suzy, kamu ngelamun ya?” tegur Rina, teman barunya yang ia kenal dari grup W******p maba. Suzy tersentak. “Eh, enggak kok.” “Tuh, Ardian lewat” bisik Rina dengan nada fangirl, menunjuk pria berbadan atletis dengan jaket organisasi berlogo kampus. “Gila, senior satu itu fix bukan manusia. Cowok-cowok lain langsung zonk!” Suzy mengikuti arah jari Rina. Ardian berjalan melewati mereka dengan langkah pasti, wajahnya tanpa ekspresi. Seakan dunia ini hanya pantulan bayangan yang tak penting. Matanya bertemu dengan Suzy sepersekian detik. Datar. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Seolah… tak mengenal. Padahal tadi pagi mereka sarapan di meja yang sama. Jam makan siang, Suzy baru saja keluar dari kantin saat langkahnya terhenti. Ardian berdiri tak jauh di depan, menyandar di tiang gedung fakultas. Sendirian. Tapi jelas sedang menunggu… dirinya? “Suzy.” Suara berat itu memanggil namanya. Ia menoleh, jantungnya berdetak lebih cepat. Ardian menatapnya lurus. “Ada apa, Kak… Ardian?” Pria itu mengerutkan alisnya. “Kita gak usah pakai embel-embel ‘Kak’. Di kampus, aku senior. Kamu junior. Titik.” Suzy menelan ludah. “O… oke.” “Dan satu lagi,” lanjutnya, suara makin pelan tapi menusuk. “Di kampus, kita gak ada hubungan. Gak perlu bilang ke siapa-siapa soal… status kita.” “Status?” ulang Suzy, bingung. “Ya. Kamu anak dari suami baru Mama. Aku anak dari istri barunya Papa kamu. Kita bukan saudara. Kita gak perlu berpura-pura akrab.” Suzy mengerjap. Sakit. Tapi dia menahan diri untuk tak menunjukkan air mata. “Baik,” jawabnya pelan. “Aku ngerti.” Ardian mengangguk tipis. “Bagus.” Dan dia pun pergi. Dingin. Meninggalkan jejak ganjil di hati Suzy yang baru sejenak mulai menerima kehidupan barunya. Malam itu di rumah, suasana makan malam keluarga seolah dibungkus kabut canggung. “Gimana kuliahnya, Nak?” tanya Papa dengan senyum lembut. “Lancar, Pa” jawab Suzy pelan, mencuri pandang ke arah Ardian yang duduk di seberangnya. Pria itu diam saja, garpu di tangannya hanya dimainkan, makanan nyaris tak tersentuh. Papa terbatuk kecil. “Ardian, adek kamu ini maba di komunikasi. Kalau sempat, tolong dibantu, ya. Kamu kan senior, Papa rasa kamu sudah pengalaman.” Ardian mengangkat wajah. Tatapannya tajam, tapi tidak penuh emosi. Hanya… kosong. “Maaf, Paman. Aku gak punya waktu,” ujarnya datar. Keheningan mendadak turun ke meja makan. Suzy menunduk. Kata “Paman” itu kembali menusuk telinga. Padahal Papa sudah berusaha begitu hangat. Padahal, keluarga ini mencoba membentuk awal yang baru. Bu Nayla hanya tersenyum lemah. “Sudah, makan dulu saja. Nanti makanannya keburu dingin loh.” Ardian berdiri. “Saya makan di kamar aja ma.” Langkahnya berat, suara pintu kamarnya terdengar pelan… tapi cukup keras untuk menggetarkan dada Suzy. Suzy masuk ke kamarnya, menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang putih dan kosong. Sama seperti hatinya malam ini. “Aku salah apa sih gak asik banget tuh orang?” bisiknya. Ia tahu Ardian dingin, tapi tidak menyangka sedingin ini. Padahal Suzy tak pernah memaksa disebut adik. Tak pernah berharap Ardian langsung menerimanya. Tapi apakah sedingin itu perlakuan yang layak untuk seseorang yang bahkan tak meminta keadaan ini? Sementara itu dikamar, Ardian memegang foto: ibunya tersenyum dalam balutan kebaya, berdiri di pelaminan dengan pria yang bukan ayah kandungnya. Pria yang kini dia disebut “Paman”. Dia menggertakkan rahang. “Kalau dia nyakitin Mama… aku gak akan diam aja,” bisiknya. Ardian masih ingat bagaimana ayah kandungnya meninggalkan ibunya demi wanita lain. Seorang wanita tamak, yang menguras semua tabungan, aset, bahkan rumah milik keluarga ibunya. Dari kaya menjadi miskin dalam sekejap. Dan Ardian, kala itu masih SMA, hanya bisa melihat ibunya menangis malam-malam, sendirian di dapur gelap, karena listrik hampir diputus. Kini ibunya tersenyum lagi. Dengan pria lain. Pria yang katanya baik. Tapi Ardian tahu, kebaikan pria bisa jadi hanya topeng manis di awal. Dan anak perempuan itu… Suzy. Bukan salahnya. Tapi keberadaannya menjadi pengingat bahwa keluarga ini bukan lagi seperti dulu. “Paman, ya. Bukan Papa,” gumamnya. Dan Ardian tahu… dia belum siap memanggil siapa pun sebagai pengganti ayahnya.Udara pagi di Dusun Girilaya terasa lembap dan segar. Embun masih menempel di daun jati, menampakkan kilau halus ketika sinar matahari menembus sela pepohonan. Angin lembut berdesir membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Namun di antara barisan pohon jati yang berdiri kokoh di tepi jalan setapak, seseorang sedang memperhatikan dalam diam.Dia adalah Linda, sepupu Hellen yang serakah sekaligus istri kedua Pak Wisnu, ayah kandung Ardian. Wajahnya teduh tapi matanya tajam menyimpan sesuatu antara rasa ingin tau dan ambisi. Ia memegang ponsel di tangannya, memperbesar layar kamera, mengamati tiga orang di depan rumah besar milik Ana.“Jadi benar disini tempat tinggal Mira… dan kau... Hellen juga di sini, sudah mulai berkhianat kau ya sama saudarimu ini yang sudah membantumu, ku pastikan kali ini kamu berhutang budi sama aku”, gumamnya pelanSudah beberapa hari yang lalu, Linda menguntit Ardian dan Suzy diam-diam. Ia selalu ingin tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang berkaitan denga
Hujan baru saja reda ketika mobil Pak Tommy berhenti di depan rumah besar di Dusun Girilaya. Bangunannya berdiri anggun di antara pepohonan jati, terekspos dengan jendela kayu tinggi yang membuatnya tampak klasik dan tenang. “Ini rumah saya,” kata Ana sambil tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menolong saya tadi." Hellen turun lebih dulu, lalu membantu Ana keluar. “Ruma Mbak Ana besar juga ya, untuk tinggal sendiri." Ana tertawa ringan. “Iyaa... sepi sekali. Tapi saya sudah terbiasa kok" Hellen ikut tersenyum sopan. “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga lukanya cepat sembuh.” “Sebentar,” tahan Ana. “Hujan sebentar lagi turun lagi. Masuk dulu saja. Saya buatkan kopi. Tidak enak membiarkan tamu pergi tanpa jamuan.” Pak Tommy menatap Hellen, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, sebentar saja.” Di dalam rumah, suasana hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Dinding ruang tamu dipenuhi bingkai foto pemandangan laut dan ladang teh. Di meja kecil dari kayu jati,
Siang itu, matahari di Kabupaten Kiribaru bersinar redup, menembus tipis awan kelabu yang menggantung di langit. Jalanan berliku di antara perbukitan tampak sepi; hanya sesekali truk tua lewat membawa hasil panen dari desa sekitar. Sebuah mobil hitam melaju perlahan di jalur utama menuju kota kecil itu. Di balik kemudinya, Pak Tommy tampak tenang seperti biasa, sementara di kursi penumpang Hellen menatap peta di ponselnya. “Kata Kevin, Suzy dan Ardian sudah lebih dulu sampai di sini Om" Kata Hellen Baru saja Hellen memberi informasi, sesuatu melintas cepat di depan mobil sebuah sosok wanita yang menyeberang tanpa melihat. Pak Tommy membanting setir, tapi tetap brak!—benturan keras terdengar, mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hellen terlonjak, jantungnya berdebar. "Astaga! Om !” Mereka berdua segera keluar. Di depan mobil, seorang wanita tergeletak di aspal dengan lutut berdarah dan siku lecet. Wajahnya pucat tapi masih sadar. “Aduh… maaf, saya tidak lihat mobil
Langit sore menggantung kelabu ketika mobil yang dikendarai Ardian menembus jalan berliku menuju Kabupaten Kiribaru. Udara di luar jendela semakin dingin, pepohonan pinus berderet rapat di sisi jalan, seolah menutup setiap celah cahaya matahari yang tersisa. Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam dari Cendana Timur, dan jika diukur dari Kota Cemara, tempat semua kisah ini bermula, jaraknya mencapai sepuluh jam penuh. Suzy bersandar di kursi penumpang, menatap ke luar jendela tanpa suara. Rasa lelah bercampur dengan resah—ia merasa seperti sedang menuju sesuatu yang belum bisa ia definisikan, entah kebenaran atau bahaya baru. “Masih jauh?” tanyanya akhirnya. Ardian melirik jam tangan. “Sekitar tiga puluh menit lagi. Kita istirahat di penginapan dulu malam ini. Aku nggak mau nyetir dalam kabut begini.” Suzy mengangguk pelan. Ia tahu Ardian benar. Tapi entah kenapa, setiap kali mobil melintasi jalan yang kian sunyi, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—seperti ada sesuat
Rumah Kevin terasa terlalu hening sore itu. Jam dinding berdetak pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin yang menyusup lewat jendela terbuka. Di meja makan, secangkir teh yang sudah dingin masih mengepulkan aroma samar daun mint. Hellen duduk di kursi paling ujung, menatap kosong pada dinding tempat bayangan sore menempel seperti noda masa lalu yang tak bisa dihapus. Dia tahu waktunya hampir habis. Rumah ini bukan lagi tempat aman. Sejak malam terakhir ketika suara langkah-langkah asing terdengar di luar pagar, nalurinya berteriak keras: “tinggalkan semuanya sebelum terlambat.” Hellen menarik napas panjang, lalu menulis di selembar kertas putih, dengan pesan: "Pak Raymond dan Bu Karin, mohon maaf yaa Hellen harus meninggalkan rumah kalian karena Hellen merasa disini sudah tak aman. Maka dari itu saya akan mencari tempat aman saat ini juga. Mohon maaf sekali bila Hellen hanya bisa membantu sampai disini, bila Bapak dan Ibu memerlukan bantuan, silahkan kirim chat dinomor ini 08
Sore itu, langit di Dusun Merbabu mulai memudar. Matahari merayap turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit Cendana Barat. Suzy dan Ardian baru saja tiba di jalan sempit bernama Jalan Bata Merah, nomor 6 — alamat yang selama ini mereka buru dari data Hellen. Mereka berhenti di depan rumah sederhana bercat krem yang terlihat sepi. Dindingnya dipenuhi lumut tipis, dan pagar kayunya sedikit lapuk dimakan usia. Suzy menarik napas panjang. “Ini… seharusnya rumahnya, kan?” Ardian mengangguk, menatap papan nama kecil di depan pagar. “Entahlah, Kita lihat apakah benar orangnya.” Mereka melangkah perlahan ke arah rumah itu. Suara ayam berkokok dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya disanggul rapi, wajahnya ramah. “Iya, ada apa ya, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. “Permisi, Bu. Kami sedang mencari seseorang bernama Mira Desiana. Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ardian sopan. Wa












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires